close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi Unit PPA Polri. Alinea.id/Dwi Setiawan
icon caption
Ilustrasi Unit PPA Polri. Alinea.id/Dwi Setiawan
Nasional
Sabtu, 19 September 2020 12:52

Para perempuan pemberani di balik lahirnya unit PPA Polri

Gagasan mendirikan unit PPA hadir di kalangan polwan usai kasus-kasus pemerkosaan massal pada 1998 terungkap.
swipe

Beberapa hari sebelum lengsernya Soeharto pada 21 Mei 1998, Jakarta porak-poranda. Di tengah kerusuhan yang melanda berbagai titik di Ibu Kota, aksi-aksi pemerkosaan yang target utamanya perempuan beretnis Tionghoa terjadi. 

Data kasus-kasus pemerkosaan itu dikumpulkan oleh sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM). Jumlahnya ditaksir mencapai ratusan kasus. Meskipun bukti-buktinya cukup kuat, kasus-kasus itu tak kunjung diusut. Dalam beberapa kesempatan, para petinggi Polri justru cenderung tak mengindahkannya. 

"Karena tak seorang pun korban mendapat pelayanan sistem peradilan sementara Polri bersikap defensif dan menyalahkan para korban yang tidak mau melaporkan kekerasan yang dialaminya," tulis Anny S. Tarigan dalam buku "Derap Warapsari: Bakti Dwi Dasa Warsa" yang terbit pada 2019. 

Buku itu mengisahkan perjuangan enam polisi wanita (polwan) senior pendiri Lembaga Bantuan Perlindungan Perempuan (LBPP) Derap Warapsari. Mereka ialah Letkol Jajuk Raimah Tjambang, Kolonel Soedjani S. Tarigan, Kolonel Endang Yudhana, Kolonel Hanny Soenaryo, Kolonel Retno Gayatri Nasrun, dan Kolonel Pol. Irawati Harsono.

Derap Warapsari didirikan tak lama setelah kasus-kasus pemerkosaan pada Mei 1998 diungkap ke publik. Sebagaimana lembaga swadaya masyarakat lainnya, Derap Warasari dibentuk dengan niatan membantu para korban pemerkosaan dan kasus-kasus kekerasan ketika itu. 

Irawati, salah satu pendiri, mengatakan gagasan membentuk Derap Warapsari menyeruak di tengah kegelisahan para srikandi Polri pada masa transisi kekuasaan. Ketika itu, tekanan publik agar kasus kekerasan terhadap perempuan diusut tuntas tengah kencang-kencangnya. 

"Sebagai polwan dan sebagai perempuan, kami juga merasa terpengaruh oleh kritik kepada Polri. Kami merasa bahwa kasus-kasus kekerasan terhadap (perempuan) pada 1998 itu seharusnya ditangani dengan benar," kata Irawati kepada Alinea.id di Jakarta, Senin (14/9).

Gagasan mengenai perlunya sebuah lembaga bantuan hukum pun muncul saat Irawati telah purnatugas sebagai polisi aktif dan berstatus sebagai pembantu rektor satu di Universitas Bhayangkara, Jakarta. Ia kemudian mengajak lima polwan lain yang masih satu angkatan dengannya. 

"Ada tiga yang sudah pensiun, ada tiga yang aktif. Jadi, anggotanya campuranlah. Tapi, itu juga belum lama sekali pensiun. Hanya baru beberapa bulan saja," ujar perempuan yang kini berusia 77 tahun tersebut.

Gagasan itu terus dimatangkan. Dalam sebuah kesempatan, Irawati kemudian mengudang tiga puluh polwan senior untuk mengutarakan niat mereka mendirikan Derap Warapsari. Di antara polwan senior itu, hadir Brigjen Jeanne Mandagi dan Brigjen (Purn) Paula Maria Renyaan Bataona. 

Tak semua langsung sepakat. Beberapa polwan yang diundang dalam rapat mempertanyakan tujuan Irawati dan rekan-rekannya mendirikan LSM. Brigjen Jeanne menjadi penengah perdebatan. "Lho kenapa? Yang penting tujuannya dong. Kalau tujuannya membantu Polri, justru malah bagus," kata Irawati menirukan ucapan Jeanne ketika itu. 

Pada peringatan Hari Polwan 1 September 1998, Derap Warapsari pun resmi dibentuk. Setelah terbentuk, jumlah anggotanya langsung bertambah. Empat mantan polwan kemudian bergabung, yakni Kolonel (purn) Kartini Pudjo, Letkol (purn) Titien Pramudji, dan Letkol (purn) Ida Ayu Suntono dan Kombes (purn) Sundari.

Selain keempat anggota baru itu, menurut Irawati, Kolonel Kusbandiah Benjamin juga berperan besar dalam pendirian Derap Warapsari. Saat itu, Kusbandiah menjabat sebagai kepala sekolah Sespolwan. Kusbandiah pula yang mengatur acara peresmian dengan sempurna. Saat memasuki masa pensiun, Kusbandiah pun bergabung dalam Derap Warapsari.

Berbeda dengan LSM perempuan di luar institusi Polri, Derap Warapsari tak serta-merta turun mengadvokasi para korban kekerasan dan pelecehan seksual. Irawati dan rekan-rekannya lebih banyak bergerak di belakang layar. 

Hal pertama yang dilakukan Derap Warapsari ialah merancang konsep untuk mewujudkan ruang pelayanan khusus (RPK) bagi perempuan dan anak-anak di kepolisian. 

Menurut Ira, konsep RPK yang diusulkan Derap Warapsari ketika itu mengadopsi police women desk (PWD) Filipina. Dalam desain Derap Warapsari, RPK dilengkapi konseling serta pemeriksaan oleh polwan yang terlatih, profesional, ramah, dan penuh empati.

Konsep pembentukan RPK yang ditawarkan Ira cs disambut baik oleh para petinggi Mabes Polri kala itu. Tak butuh lama, gagasan Derap Warapsari diwujudkan dengan pembentukan RPK di sembilan polres di Jakarta. 

Penggagas LBPP Derap Warapsari, Irawati Harsono. Foto dok jurnalperempuan.org

Jalan panjang pembentukan unit PPA 

Pada 1999, Derap Warapsari kembali bergerak. Sebagai percontohan, Irawati cs menggelar pelatihan terhadap 50 polwan di lingkugan Polda Metro Jaya. Pelatihan serupa dilanjutkan ke polda-polda lainya selama lima tahun berikutnya. 

Pada 2004, menggandeng sejumlah LSM, Irawati--yang saat itu sudah bertugas di Komnas Perempuan--kemudian menggelar sebuah work shop. Tujuannya untuk mengevaluasi kinerja RPK. Dari Polri, Brigjen Pol Soetanto yang ketika itu menjabat sebagai Wakil Kapolda Metro Jaya hadir. 

"Di dalam evaluasi, kelihatan bahwa karena tidak terstruktur dan tidak masuk bagian dari organisasi Polri, maka beda-beda pengelolaannya. Kan ada yang on call polwannya. Ada kasus baru diundang dan sebagainyalah," kata Irawati. 

Dari hasil evaluasi, muncul wacana agar RPK masuk menjadi salah satu unit di Polri. Untuk mengisi unit itu, pelatihan terhadap 7.000 polwan mesti digelar secara paralel. Usulan itu kemudian disodorkan ke Kompolnas dan disepakati Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada 2006.

Namun, konsep pelatihan ribuan polwan mengendap di meja Kapolri selama satu tahun. Pada 2007, Irawati kemudian menghadap Irjen Pol Soetanto yang telah menjabat Kapolri. "Perjuangan kita itu sejak beliau (Soetanto) jadi Wakapolda Metro, ya. Pertama kali mengujikan RPK, lalu pergulatan kita, dan seterusnya," tutur Irawati. 

Konsep yang ditawarkan Irawati segera disetujui Soetanto lewat Peraturan Kapolri Nomor 10 tahun 2007 tentang Organisasi Tata Kerja Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (Unit PPA) di lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia tertanggal 6 Juli 2007. Unit PPA pun lahir di bawah Bareskrim. 

Untuk menyokong eksistensi unit PPA, Derap Warapsari kemudian mendorong terbentuknya sekolah spesialis bagi para polwan. Untuk merealisasikannya, Ira dan kawan-kawan melobi Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Anak (PPA) Khofifah Indar Parawansa. 

Ide sekolah spesialis itu, kata Irawati, sempat ditentang Bappenas. Pasalnya, sekolah spesialis itu digelar oleh institusi di luar Polri. Namun, berkat lobi-lobi, pendidikan sekolah spesialis akhirnya digelar di Bandung, Jawa Barat serta Padang, Sumatera Barat. 

"Nah, setelah kementerian bicara dengan Bappenas, pendidikan spesialis unit PPA sekarang selalu ada. (Pelatihan petugas unit PPA) masuk anggaran Polri sampai sekarang," kata Irawati.

Selama 20 tahun berkiprah, Ira mengaku Derap Warapsari hampir tak pernah mengalami penolakan, baik dari lingkungan Polri maupun dari sesama LSM. Kerja mereka selama ini mulus lantaran petinggi-petinggi Polri juga terbantu dengan kehadiran unit PPA. 

Di sisi lain, kehadiran Derap juga penting sebagai penghubung bagi LSM yang kerap kesulitan berhadapan dengan polisi. "Kita hanya menginginkan jadi jembatan dan kemudian memperjuangkan unit PPA ini. Niat kita hanya satu, yakni karena kita cinta Polri," kata Ira.

Sejumlah polisi wanita (polwan) menuntun seorang nenek menyeberang jalan saat pembagian masker gratis di Kota Gorontalo, Gorontalo, Rabu (22/4/2020). /Foto Antara

Mendorong lahirnya payung hukum 

Penasihat LBPP Derap Warapsari, Pertiwi Roesmanhadi mengatakan, peran Derap Warapsari tak hanya terbatas pada pembentukan unit PPA saja. Derap Warapsari juga turut berkontribusi besar dalam mendorong lahirnya regulasi untuk melindungi perempuan dan anak. 

"Ya, ibu-ibu kita ini di Derap. Kemudian dengan Ibu Khofifah (saat menjabat Menteri PPA) waktu itu dan Ibu Saparinah Sadli (penggagas Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan). Sebelum aturan-aturan itu ada, kita dulu di kepolisian membuat satu ruangan khusus," kata dia kepada Alinea.id. 

Pertiwi merupakan istri dari Roesmanhadi, Kapolri periode 1998-2000. Saat meresmikan Derap Warapsari pada September 1998, Pertiwi juga menjabat sebagai Ketua Umum Bhayangkari dan kerap disebut sebagai ibu asuh para polwan.  

Pertiwi mengaku tertarik bergabung dalam Derap Warapsari karena menyaksikan kekerasan yang terjadi di Papua dan Timor-Timur atau yang sekarang bernama Timor Leste. Di internal Polri sendiri, Pertiwi menemukan realitas bahwa tak banyak polisi yang paham cara menangani kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. 

"Awalnya kayak, 'Polisi kok cari kerjaan?' Tapi, setelah kami menembus dari satu polda ke polda lainnya, akhirnya mereka mengerti bahwa kita membantu bagaimana perlindungan perempuan itu harus ditegakan. Ini untuk mengatasi diskriminasi terhadap perempuan," kata Pertiwi.

Infografik Alinea.id/Dwi Setiawan

Dari berbagai lawatan bersama Derap Warapsari, Pertiwi menemukan bahwa kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak kerap terjadi lantaran minimnya payung hukum. Di sisi lain, tak semua aparat penegak hukum juga punya pemahaman berperspektif gender. 

"Polisi sudah care bagaimana perlindungan itu secara kemanusiaan, tapi dengan jaksa susah. Jaksa bilang kita tidak ada dasarnya. Pemerkosaan tidak ada saksi. Itu kan alasan-alasan mereka. Jaksa saja demikian. Apalagi, hakim," kata Pertiwi.

Berbarengan dengan pelatihan para polwan, Pertiwi mengatakan, Derap Warapsari juga aktif mendorong lahirnya regulasi bertema perlindungan terhadap perempuan dan anak. Bersama Kementerian PPA dan Komnas Perempuan misalnya, Derap Warapsari menekan agar DPR membahas dan mengesahkan sejumlah UU terkait. 

"Jadi, kitalah yang bergerak ke DPR dan sebagainya sehingga terlahirlah UU. Bahwa supaya ada UU sehingga pelaku jera. Jadi, bagaimana agar laki-laki itu tidak seenaknya kepada perempuan. Awalnya, maju-mundur. Tapi setelah diterima, akhirnya kita maju terus," tutur dia. 

Selain UU Perlindungan Anak yang disahkan pada 2002, DPR juga telah mengesahkan UU No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) dan Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang (UU TPPO). 

Dengan didasari payung hukum itu, kini Polri tercatat telah membangun 427 unit PPA, baik di tingkat polres maupun polda. Namun demikian, menurut Komisioner Komnas Perempuan Siti Aminah Tardi, jumlah unit PPA belum cukup. 

"Pembentukan unit PPA merupakan langkah penting karena Polri adalah ujung tombak dan garda terdepan dalam sistem peradilan pidana, termasuk dalam penerapan konsep SPPT-PKKTP. Namun, masih minim dukungan terhadap unit ini. Baru ada 163 RPK dengan sumber daya terbatas," kata dia. 

img
Marselinus Gual
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan