Wajah baru Partai Buruh: Bisakah kelas pekerja jadi kekuatan politik baru?
Sekretaris Jenderal (Sekjen) Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (KSBSI) Dedi Hardionto mengaku heran saat mendengar organisasinya disebut turut mendukung kelahiran kembali Partai Buruh. Menurut Dedi, KSBSI tak pernah diajak bicara oleh koleganya di serikat-serikat buruh lainnya terkait rencana tersebut.
"Dalam hal perjalanan teknis, memang kami juga tidak dilibatkan. Karena posisinya tidak dilibatkan, enggak mungkin kami kemudian menawarkan diri (untuk mendukung Partai Buruh)," kata Dedi saat dihubungi Alinea.id, Selasa (19/10).
Partai Buruh dideklarasikan dalam sebuah kongres buruh yang digelar di kawasan Cempaka Putih, Jakarta, 5 Oktober lalu. Dalam kongres tersebut, pemimpin Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal didapuk menjadi Presiden Partai Buruh periode 2021-2026.
Dalam konferensi pers jelang kongres, Said sempat menyebut Partai Buruh merupakan kelanjutan dari partai bentukan Muchtar Pakpahan. Muchtar ialah tokoh buruh nasional pendiri KSBSI dan Partai Buruh Nasional (PBN).
Bedanya dengan yang lama, kata Said, Partai Buruh yang baru didukung lebih banyak organisasi buruh. "Partai Buruh yang baru didukung Serikat Petani Indonesia, empat konfederasi serikat buruh di tingkat nasional, 50 federasi serikat buruh di tingkat nasional, forum guru," kata Said.
Di bawah pimpinan Muchtar, PBN sempat ikut Pemilu 1999 dan 2004. Pada 2005, PBN berganti nama menjadi Partai Buruh Sosial Demokrat (PBSD) sebelum akhirnya berganti nama lagi menjadi Partai Buruh pada 2009 dan ikut Pemilu 2009.
Dedi mengaku sudah tahu Said dan sejumlah aktivis serikat buruh punya rencana bikin partai. Wacana itu sudah santer terdengar sejak beberapa tahun lalu. Namun, Said tak pernah melibatkan perwakilan KSBSI dalam pembahasan itu. Padahal, KSBSI merupakan cikal bakal Partai Buruh.
"Sampai hari ini, kami, secara kelembagaan dan organisasi, tidak menyatakan terlibat atau melibatkan diri dalam pembahasan Partai Buruh yang sudah dideklarasikan Said Iqbal," ucap pria yang juga pernah aktif sebagai pengurus Partai Buruh era Muchtar Pakpahan itu.
Usai didapuk menjadi Presiden Partai Buruh, Said mengatakan siap membawa partai anyar itu bertarung di Pemilu 2024. Ia mengklaim Partai Buruh sudah punya cabang di 34 provinsi, 409 kabupaten dan kota, serta 1.500 kecamatan.
Ditanya soal peluang Partai Buruh yang baru, Dedi mengaku pesimistis Partai Buruh bakal sukses di pentas pemilu. Apalagi, sejarah mencatat partai berbasis serikat pekerja itu tak pernah lolos ke parlemen sejak 1998. Padahal, ambang batas parlemen ketika itu tidak setinggi sekarang.
Dedi memaparkan sejumlah kendala yang potensial mengganjal performa Partai Buruh. Pertama, soal pendanaan. Menurut dia, butuh modal yang besar untuk membangun infrastruktur parpol hingga ke daerah. "Dari struktur yang sudah dirilis, saya tidak melihat ada tokoh atau pemilik modal di situ," kata Dedi.
Persoalan kedua, ialah ketokohan. Menurut Dedi, Partai Buruh saat ini kebanyakan hanya beranggotakan aktivis serikat buruh. Padahal, isu-isu yang dikelola partai politik jelang pemilu bukan hanya soal perburuhan saja.
"Kita harus berbicara lebih luas, bicara soal investasi dan regulasinya. Bicara tentang kebijakan negara tentu dibutuhkan tokoh-tokoh yang memang mumpuni bicara soal itu," jelas dia.
Kendala lainnya, kata Dedi, ialah rendahnya aktivisme politik kaum buruh. "Jadi modal, tokoh, dan lemahnya kesadaran buruh dalam berpartai. Itu merupakan tiga hal yang membuat saya pesimistis Partai Buruh bisa lolos ambang batas parlemen," imbuhnya.
Selain KSBSI, Konfederasi Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI) juga tidak ikut menjadi organisasi pendukung Partai Buruh. Meski begitu, Ketua Umum KASBI Nining Elitos mengaku pernah diajak Said Iqbal untuk terlibat dalam partai tersebut sekitar tiga bulan silam.
"Pertanyaannya kenapa KASBI tidak bergabung ke dalam Partai Buruh? Itu karena memang konfederasi KASBI tidak bisa mengambil keputusan sepihak. Semua harus berdasarkan keputusan bersama, mulai dari level paling bawah sampai ke level nasional," kata Nining kepada Alinea.id, Selasa (19/10).
Nining menyebut pihaknya juga sempat berniat membentuk partai berbasis kelas pekerja. Berkaca dari lolosnya UU Cipta Kerja yang cenderung merugikan kaum buruh, menurut dia, kelompok buruh butuh perwakilan parlemen.
Meski begitu, Nining berpendapat, peluang Partai Buruh untuk meloloskan kadernya ke parlemen tergolong kecil. Apalagi, UU Pemilu masih mensyaratkan ambang batas parlemen sebesar 4%. Di sisi lain, kesadaran berpolitik kaum buruh juga masih terbilang lemah.
"Hal terpenting lainnya adalah bagaimana mempersiapkan partai dari sejak awal secara bersama, transparansi, terbuka, dan kemudian melibatkan sektor-sektor secara terbuka yang memang punya tujuan yang sama," kata Nining.
Terfragmentasi dan minim kapital politik
Peneliti Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Moch. Nurhasim menilai Partai Buruh tidak akan mampu berbicara banyak di pentas Pemilu 2024. Mengambil referensi dari riset sosiolog Clifford Geertz, menurut Nurhasim, segmen pemilih di Indonesia masih cenderung didominasi pemilih abangan dan santri.
"Segmentasi politiknya lebih ke identitas keagamaan dan ideologis. Dalam pengertian nasionalisme yang lebih ke arah model basis politik yang dibangun seperti tipologi Clifford Geertz. Jadi, masih dalam kategori abangan dan santri. Itu yang paling tinggi segmentasi politiknya," kata Nurhasim kepada Alinea.id, Senin (18/10).
Menurut Nurhasim, partai berbasis kelas sangat sulit bersaing di kancah politik nasional. Ia mencontohkan kegagalan Partai Buruh dalam sejumlah pemilu. Itu menunjukkan kaum buruh terfragmentasi dan sulit dimobilisasi untuk kepentingan politik elektoral.
"Lihat saja dalam sejarah gerakan organisasi-organisasi buruh di Tanah Air ini pasca-Reformasi. Saya kira banyak dari mereka yang berafiliasi ke partai-partai politik tertentu. Bahkan, beberapa menjadi bagian penting dari organisasi partai politik dalam pengertian informal," ucap Nurhasim.
Fragmentasi kelompok buruh, kata Nurhasim, juga terlihat saat pembahasan UU Cipta Kerja hingga disahkan. Kelompok buruh dinilai tak satu suara menolak isi beleid itu. "Mereka terfragmentasi dan bentuk afiliasi politiknya berbeda-beda," ucap Nurhasim.
Jika dibandingkan dengan partai-partai anyar yang baru berdiri jelang Pemilu 2024, menurut Nurhasim, Partai Buruh diuntungkan dengan target pemilihnya yang cenderung lebih jelas, yakni kelas pekerja. Namun demikian, ia menilai, keuntungan itu tidak akan berarti apa-apa jika tidak dibarengi kerja keras mendongkrak elektabilitas.
"Politik itu harus mempertimbangkan banyak faktor, semisal ideologi, basis massa, pendanaan. Kemudian penataan struktur organisasi, pengisian sumber daya manusia. Hubungan dengan pihak-pihak kapital semisal pengusaha dan lain-lain itu juga memiliki tingkat kerumitan yang berbeda-beda," ucap Nurhasim.
Selain bakal terganjal modal yang minim untuk operasional partai, Nurhasim menilai Partai Buruh juga belum punya tokoh politik mumpuni yang bisa jadi magnet bagi pemilih. "Tokoh masih menjadi pertimbangan pemilih untuk menempatkan pilihan politiknya dan pola dukungan terhadap partai. Itu saya kira tantangan yang bakal di hadapi partai buruh," jelas dia.
Direktur Riset Indonesian Presidential Studies (IPS) Arman Salam sepakat Partai Buruh bakal sulit berbicara banyak dalam perhelatan Pemilu 2024. Berdasarkan hasil survei IPS yang dirilis pada Mei 2021, diprediksi hanya akan ada tujuh partai besar yang berhasil lolos ke Senayan.
"Partai baru tentu lebih besar tantangannya dalam merebut simpati publik mengingat isi kepala publik sudah terisi dengan referensi partai lama. Perlu ada langkah yang extraordinary dari partai baru agar bisa merebut suara dan masuk dalam jajaran partai yang masuk di Senayan," ucap Arman kepada Alinea.id, Minggu (17/10).
Supaya tak hanya jadi penari latar di pentas pemilu, Arman menyarankan agar Partai Buruh menyiapkan instrumen parpol hingga ke tingkat kecamatan. Selain infrastruktur, Partai Buruh juga disarankan agar memperkuat jaringan politiknya hingga ke daerah.
"Mulai dari kekuatan jaringan grassroot, figur partai, ideologi, program yang seksi bahkan kesiapan finansial partai juga sangat penting. Selain instrumen tadi, kekuatan jaringan dalam birokrasi baik pemerintahan, penegak hukum, maupun penyelenggara pemilu perlu diperkuat," ucap Arman.
Sasar lumbung suara
Ketua Bidang Infokom dan Propaganda Partai Buruh Kahar S Cahyono membenarkan tak semua kelompok buruh mau bergabung menjadi bagian dari Partai Buruh. Ia menyebut hanya sebelas organisasi buruh yang mendukung lahirnya kembali Partai Buruh.
"Kami tidak tahu alasannya kenapa mereka menolak. Saat ingin dideklarasikan pada awal Oktober kemarin, kami mengundang semua elemen untuk bergabung. Ada yang berasal dari KSBSI juga," kata Kahar kepada Alinea.id, Selasa (19/10).
Menurut Kahar, wacana untuk membangkitkan Partai Buruh sudah bergulir sejak 2016, tepatnya setelah kelompok buruh sepakat mendirikan Rumah Rakyat Indonesia. Sejak itu, diskusi mengenai pentingnya kaum buruh memiliki perwakilan di parlemen rutin digelar.
"Kesadaran berpartai makin menguat saat omnibus law disahkan. Jadi, sebenarnya kawan-kawan buruh saat ini adalah kawan-kawan yang memiliki spirit yang sama. Punya pemahaman yang sama punya ide yang sama dan gagasan yang sama. Jadi, tidak banyak dinamika yang terjadi karena berangkat dari kesadaran yang sama," ujar Kahar.
Soal modal untuk mendanai operasional parpol yang disebut kerap jadi kendala, Kahar mengatakan, Partai Buruh tak akan kerepotan. Dari iuran para anggota, ia meyakini, parpolnya bisa menjalankan roda organisasi dan mendanai aktivitas politik jelang Pemilu 2024.
Serikat buruh, kata dia, sudah terbiasa membiayai segala aktivitas organisasi dengan sistem iuran. "Dalam tahap awal ini, kami bakal merekrut seratus ribu kader. Seratus ribu kader itu akan membayar iuran setiap bulan sebesar Rp50 ribu. Jadi, basisnya adalah iuran," kata Kahar.
Kahar optimistis Partai Buruh bisa mendudukkan kadernya di kursi parlemen. Selain disokong lebih banyak elemen buruh ketimbang Partai Buruh yang lama, menurut Kahar, publik kini kian tidak percaya dengan parpol penghuni parlemen.
"Kalau Pak Muchtar Pakpahan waktu dulu membangun Partai Buruh basisnya hanya kawan-kawan KSBSI saja. Tapi, kalau kita, saat ini sudah ada sebelas elemen yang tergabung dan ini tidak terkait dengan salah satu serikat pekerja saja," ucap pria yang kini masih menjabat sebagai Sekjen KSPI itu.
Untuk merealisasikan mimpi itu, Kahar memaparkan sejumlah strategi yang bakal dijalankan Partai Buruh. Selain melengkapi infrastruktur parpol di daerah sesuai syarat verifikasi faktual KPU, Partai Buruh akan fokus menjalankan kerja-kerja politik di daerah-daerah yang terkenal sebagai lumbung suara kelompok buruh.
"Kami hanya akan fokus pada daerah-daerah yang memang menjadi kantong industri, seperti di Jawa Barat di Banten, Jawa Timur, kemudian kota- kota industri seperti Batam. Daerah-daerah itu akan kami optimalkan untuk bisa meloloskan anggota kami ke DPR," jelas dia.