close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi pembelajaran jarak jauh. Alinea.id/Firgie Saputra
icon caption
Ilustrasi pembelajaran jarak jauh. Alinea.id/Firgie Saputra
Nasional
Sabtu, 21 Agustus 2021 18:30

Nasib PAUD di tengah pandemi: Saat pendidikan anak jadi nomor dua

Lembaga penyelenggara pendidikan anak usia dini (PAUD) megap-megap digebuk pagebluk Covid-19.
swipe

Kening Kahayu Unnihaya, 27 tahun, berkerut ketika menceritakan kondisi sekolah pendidikan anak usia dini (PAUD) tempat ia bekerja saat ini. Menurut guru di Taman Kanak-Kanak Islam Terpadu (IT) Sahabat Qur'an di Tangerang, Banten itu, jumlah peserta didik di TK dia terus turun sejak pandemi Covid-19. 

"Kami sempat sebar formulir kami kasih diskon 50% buat SPP (sumbangan pembinaan pendidikan). Uang pendaftaran juga bisa dicicil semampunya. Tapi, ternyata peminatnya masih rendah juga," ucap Ayu saat berbincang dengan Alinea.id di kediamannya di Semanan, Kalideres, Jakarta Barat, Senin (16/8). 

Sebelum pandemi, TK tempatnya mengajar bisa menjaring lima belas sampai dua puluh siswa baru setiap tahun ajaran baru. Tahun ini, hanya empat siswa yang diterima. Dari total 35 siswa, kini hanya tinggal 18 siswa yang diajar Ayu di TK itu. 

Menurut Ayu, banyak orang tua siswa yang menarik anak-anak mereka lantaran kondisi perekonomian keluarga mereka memburuk saat pandemi. Ia mencontohkan salah satu siswa yang ia asuh yang tak lagi melanjutkan sekolah lantaran orang tuanya dirumahkan. "Kita sudah tawari pemotongan SPP, tapi masih berat bagi mereka," imbuh dia.

Orang tua lainnya, kata Ayu, memutuskan untuk tidak menyekolahkan anaknya di PAUD karena menganggap proses belajar-mengajar secara online yang diberlakukan selama pandemi tidak efektif. "Dan, untuk anak-anak itu lebih senang interaksi langsung. Jadi, orang tua mikir sayang duitnya," jelas Ayu. 

Untuk mendongkrak minat orang tua menyekolahkan anaknya di PAUD, Ayu mengatakan, pihak sekolah berencana kembali membuka pembelajaran tatap muka dengan tetap menaati protokol kesehatan. Selain itu, waktu belajar dipersingkat untuk meminimalisasi potensi penularan Covid-19 di sekolah. 

"Biasanya (murid-murid di kelas) sampai jam setengah satu siang. Tetapi, sekarang kegiatan belajar cuma sampai jam sepuluh pagi," kata perempuan yang mengaku honor mengajarnya dipangkas hingga 30% selama pandemi itu.

Nor Latifatun Nisa, 26 tahun, mengisahkan persoalan serupa. Sehari-hari, Nisa bekerja sebagai pengajar di salah satu PAUD di Semarang, Jawa Tengah. Menurut Nisa, jumlah siswa yang sekolah di PAUD tempat dia bekerja turun hingga kisaran 40-50% selama pandemi. 

"Biasanya per tahun bisa nerima kurang lebih dua puluh lima sampai tiga puluh siswa. Jadi, total kelompok (TK) A dan B sekitar enam puluh siswa. Tapi, jumlahnya sekarang hanya sekitar empat puluh kalau di total kelompok A dan B," kata Nisa kepada Alinea.id, Senin (16/8).

Nisa menuturkan pihak sekolah sudah melancarkan beragam strategi untuk mendongkrak jumlah siswa. Meski begitu, menurut dia, tak banyak orang tua yang "rela" menyekolahkan anak-anaknya di PAUD saat kondisi perekonomian keluarga sedang memburuk. 

"Mereka menganggap sekolah masih daring jadi kayak mubazir. Biaya sekolah mahal, tapi enggak bisa masuk sekolah. Bahkan, mereka juga berpikir tidak apa-apa masuk TK telat. Nanti langsung ke kelas B," kata Nisa.

Anggapan bahwa PAUD bakalan mubazir selama skema masih menggunakan skema belajar online dibenarkan Malika, 39 tahun. Warga Cipondoh, Tangerang, Banten, itu mengaku enggan menyekolahkan anak bungsunya yang berusia 3,5 tahun di PAUD.

"Sayang banget untuk biayanya karena masih daring dan usia PAUD. Kami bisa handle sendiri di rumah. Kami juga cari literasi untuk meng-handle kebutuhan pendidikan seusianya," kata Malika kepada Alinea.id, Rabu (18/8). 

Malika punya tiga anak. Yang tertua berusia 9 tahun dan kini bersekolah secara daring. Demi mendampingi anak-anaknya belajar di rumah, Malika mengatakan ia memutuskan mundur dari pekerjaannya sebagai akuntan di sebuah perusahaan swasta. 

Khusus untuk si bungsu, ia bahkan tekun mempelajari materi pendidikan PAUD yang dapat diakses di Google dan YouTube. "Googling untuk jadwal keseharian anak PAUD itu apa saja, seperti mewarnai, menempel dan bercerita. Lalu, YouTube pun jalan setiap hari untuk kasih mereka pengetahuan," ujar Malika.

Menurut Malika, si bungsu tak akan selamanya sekolah di rumah. Tahun depan, Malika sudah berencana memasukkan anaknya itu ke PAUD incaran dia. "Informasi dari sekolah yang anak kami pengin belajar di sana, sudah ada tatap muka meskipun hanya beberapa hari dalam seminggu," kata dia. 

Ilustrasi ruang belajar-mengajar di PAUD yang kosong saat pandemi Covid-19. /Foto Unsplash

Dari home visit hingga gratis biaya pendidikan 

Ketua Himpunan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Anak Usia Dini Indonesia (Himpaudi) cabang Tigaraksa, Tangerang, Banten, Julaeha membenarkan terjadi penurunan drastis jumlah anak didik di PAUD karena pandemi. Di Tigaraksa, misalnya, rata-rata PAUD kehilangan hingga 40% anak didik. 

"Bahkan, ada lima lembaga yang tutup dari lima puluh PAUD yang  ada di Tigaraksa. Selain itu, karena pembelajaran daring, banyak orang tua yang enggak bisa mendampingi. Kemudian, daripada beli pulsa buat pembelajaran daring, mereka mikir mending untuk makan," kata Julaeha kepada Alinea.id, Senin (16/8). 

Penurunan jumlah siswa di PAUD, kata Julaeha, berbuntut panjang. Supaya bisa tetap beroperasi, misalnya, banyak PAUD terpaksa memangkas upah para pengajarnya.  "Karena memang honor guru itu dari swadaya orang tua," imbuh dia. 

Di lain sisi, PAUD di wilayahnya juga kesulitan mendaftarkan siswa ke data pokok pendidikan (Dapodik) Ditjen PAUD lantaran jumlah siswa tak sampai 10 orang sebagaimana syarat dari Kemendikbud-Ristek. "PAUD daerah saya paling ada lima sampai tujuh siswa. Jadi, mau masukin ke Dapodik aja bingung," kata Julaeha. 

Untuk mengatasi keterpurukan dan tetap bisa beroperasi dengan jumlah siswa minimal, menurut Julaeha, sejumlah cara dilakukan PAUD di Tigaraksa, mulai dari menggelar kunjungan ke rumah siswa (home visit) hingga menggratiskan semua biaya pendidikan. 

"Jadi, enggak bayar SPP. Yang penting lembaga bisa tetap berjalan. Terus tetap bisa masuk ke Dapodik. Salah satu syarat dari Dapodik itu meminimalkan sepuluh orang. Kalau kami, misalkan, masuk ke Dapodik, kan otomatis dapat manfaat BOP (bantuan operasional pendidikan) dari pemerintah," kata Julaeha. 

Pengamat pendidikan dari Komnas Pendidikan Andreas Tambah memaparkan setidaknya ada tiga faktor yang membuat jumlah siswa PAUD menurun. Pertama, banyak PAUD yang tidak mampu beralih ke sistem 
pembelajaran jarak jauh sehingga proses pembelajaran menjadi tidak menarik bagi peserta didik.

Kedua, banyak orang tua tidak memiliki waktu untuk mendampingi siswa selama proses pembelajaran jarak jauh. "Rata-rata ini terjadi pada pasangan muda yang suami-istri bekerja. Mereka kesulitan mendampingi anaknya. Jadi, masuk PAUD ditunda atau akhirnya mundur," kata Andreas kepada Alinea.id

Terakhir, banyak orang tua yang perekonomiannya terpuruk karena dipecat dari tempat kerja mereka saat pandemi. Kelompok orang tua semacam itu lebih memprioritaskan kebutuhan sehari-hari ketimbang pendidikan anak-anak. "Ini banyak sekali terjadi," kata dia.

Menurut Andreas, terjadi peningkatan jumlah peserta didik hingga 75% di PAUD-PAUD pada tahun kedua pandemi. Pada tahun pertama, ia menemukan, kebanyakan PAUD hanya mengajar 15-20% peserta didik dari total kapasitas murid di PAUD. 

Meski begitu, Andreas mengakui, banyak PAUD masih kesulitan beroperasi atau bahkan tutup total karena dampak pandemi. "Mungkin, pangkalnya, sekolah yang tidak menyiasati situasi dengan baik sehingga jumlah peserta didiknya relatif sangat rendah sekali," ucap Andreas.

Andreas mengatakan ada berbagai cara untuk mengatasi menurunnya jumlah siswa PAUD. Ia menyarankan agar lembaga PAUD dan TK mengoptimalisasi pembelajaran jarak jauh, semisal dengan membuat materi seunik mungkin sehingga bisa menggantikan suasana tatap muka.

Ia mencontohkan sejumlah lembaga PAUD dan TK yang membuat materi virtual untuk menggantikan suasana tatap muka. "Ada yang bikin dongeng virtual. Saat anak mau tidur, anak diceritakan dan dibawa menghayati ceritanya dan itu kena banget ke siswa," ucap Andreas.

PAUD-PAUD lainnya, lanjut Andreas, mengombinasikan pembelajaran jarak jauh dengan home visit. Itu dilakukan supaya murid mengenal guru dan merasakan langsung sentuhan dari pengajar. "Karena sentuhan fisik itu dibutuhkan oleh anak. Obrolan itu dibutuhkan. Itu penting untuk peserta didik," imbuhnya. 

Meskipun situasinya serba sulit, Andreas berharap orang tua tidak melupakan pendidikan usia dini untuk anak-anak mereka. Pasalnya, usia 0-6 tahun merupakan fase yang penting untuk pembangunan karakter seorang anak. "Usia emas itu sangat krusial untuk membantuk karakter siswa. Tapi, catatannya antara materi PAUD dan SD harus nyambung," kata dia. 

Ilustrasi murid-murid sekolah dasar di Indonesia. /Foto Unsplash

Tingkatkan akses 

Dirjen PAUD, Pendidikan Dasar, dan Pendidikan Menengah Kemendikbud-Ristek Muhammad Hasbi membenarkan jumlah peserta didik di PAUD merosot tajam pada tahun pertama. Namun, jumlahnya berangsur-angsur naik pada tahun kedua pandemi. 

"Tahun 2020 itu dari target 6,9 juta peserta didik yang mendaftar hanya sekitar 6,2 juta. Berarti ada penurunan sekitar 500 ribuan. Tapi untuk tahun 2021 angkanya kembali ke 6,7 juta jiwa," kata Hasbi kepada Alinea.id, Kamis (19/18).

Hasbi mengatakan Kemendikbud telah menggelar sejumlah upaya untuk memastikan PAUD bisa bertahan hidup melewati pagebluk. Sejak 16 Maret 2021, misalnya, Kemendikbud rutin menggelar sosialisasi mengenai pentingnya pendidikan usia dini demi mendongkrak jumlah siswa di PAUD. 

Terkait pemangkasan honor guru, Hasbi mengatakan, pihaknya sudah memberi keleluasaan bagi setiap PAUD yang terdata di Dapodik Kemendikbud untuk mengalokasikan sebagian dana BOP PAUD untuk menggaji guru. 

Sebelum pandemi, dana BOP PAUD lazimnya digunakan hanya untuk membeli keperluan penunjang PAUD. "Jadi, dibebaskan penggunaannya sehingga satuan pendidikan dapat merdeka untuk mengatur pennggunaan BOP PAUD itu untuk membiayai satuan PAUD-nya," kata Hasbi.

 Infografik Alinea.id/Firgie Saputra

Kemendikbud, jelas Hasbi, telah menggelontorkan dana sebesar Rp4 triliun untuk mendanai kebutuhan pendidikan 6,9 juta anak usia dini. Dana tersebut dapat diakses oleh semua lembaga PAUD, dengan syarat mendaftarkan minimal 9 peserta didik ke Dapodik Kemendikbud Ristek bagi daerah nonkhusus. 

Adapun untuk daerah khusus atau yang tergolong masih sulit mengakses pendidikan, menurut Hasbi, batasan peserta didik itu tidak berlaku. "Jadi, untuk daerah-daerah nonkhusus, syarat minimumnya hanya 9 peserta didik. Normalnya sebenarnya 13," terang dia. 

Kesulitan orang tua selama pembelajaran jarak jauh, kata Hasbi, juga menjadi perhatian Kemendikbud. Saat ini, Kemendikbud telah menyusun 30 pedoman materi pembelajaran anak bagi orang tua siswa saat mendampingi anak-anak mereka belajar secara daring. 

"Secara konsisten, kami terus membekali orang tua dengan kompetensi pedagogik dan kompetensi yang dibutuhkan agar mereka menjadi pendidik di rumah dan mampu menjalankan proses pembelajaran ketika kita harus belajar di rumah," kata Hasbi.

Diakui Hasbi, masih pekerjaan rumah yang mesti dibereskan untuk membenahi PAUD. Salah satu persoalan utama yang dihadapi pemerintah ialah terbatasnya akses PAUD. Dari 19 juta anak usia dini yang ada di Indonesia, baru sekitar 6,7 juta atau sekitar 40% anak yang disekolahkan di PAUD. 

"Saat ini kan ada 84.000 desa yang ada di seluruh indonesia. Nah, ada 22.000 desa yang belum punya akses PAUD sama sekali. Jadi, kami mencoba dari waktu ke waktu untuk menggencarkan ini dengan pemerintah daerah. Itu supaya semua desa di Indonesia bisa memiliki setidaknya satu PAUD," ucap Hasbi.

img
Kudus Purnomo Wahidin
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan