Ketua Badan Pengurus Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI), Julius Ibrani, meminta Komisi III DPR meninjau ulang pasal penghinaan kepada lembaga negara. Pasal ini masih dipertahankan pemerintah dalam draf final Rancanga Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP), yang diserahkan ke Senayan pada Rabu (9/11).
"Kami dari awal bersikap tegas dengan prinsip HAM, bahwa penghinaan tidak tepat kepada lembaga negara melalui pemidanaan dalam RKUHP, terlebih lagi ada embel-embel apabila menyebabkan kerusuhan dan yang lain," ujar Julius dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) Aliansi Reformasi KUHP dengan Komisi III DPR di Kompleks Parlemen, Jakarta, pada Senin (14/11).
Diketahui, alih-alih sebagai produk Indonesia, nyatanya RKUHP masih mempertahankan beberapa poin rumusan warisan penjajah Belanda. Misalnya, tetap mengatur ancaman penjara bagi setiap orang yang menghina pemerintah dan memicu kerusuhuan.
Hal tersebut diatur dalam Pasal 349 ayat (1) RKUHP. Isinya, setiap orang di muka umum dengan lisan atau tulisan menghina kekuasaan umum atau lembaga negara dapat dipidana hingga 1,5 tahun penjara. Ancaman pidananya bisa diperberat jika menyebabkan kerusuhan.
Padahal, menurut Julius, kerusuhan saat unjuk rasa atau demonstrasi seringkali muncul karena adanya penyusup. Menurutnya, kericuhan sengaja diciptakan untuk membubarkan kosentrasi massa.
"Seringkali ada penyusup yang masuk untuk membubarkan melakukan kerusuhan, yang bukan dari masyarakat yang kami dampingi, yang kemudian rusuh, dan dinyatakan pidana," tuturnya.
"Tahun 2015, kami sudah membuktikan itu, dua pengacara LBH [mendampingi] 25 buruh [yang menjadi tersangka] ketika kami menolak PP 78 Tahun 2015. Kerusuhan bukan dari kerumunan buruh. Itu sudah dibuktikan di pengadilan dan dinyatakan bebas," pungkasnya.