Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengabulkan gugatan terkait Pasal 61 ayat (1) dan Pasal 64 ayat (1) Undang- Undang (UU) Administrasi Kependudukan. Dalam amar putusannya, MK menganggap pasal yang mengatur tentang kolom agama di e-KTP itu bertentangan dengan UUD Tahun 1945.
MK sepakat bahwa pasal tersebut diskriminatif dan bisa menimbulkan kerugian atas hak konstitusional para penganut penghayat kepercayaan sebagai warga negara Indonesia
Meski demikian, Kementerian Dalam Negeri masih mempertimbangkan saran dari sejumlah kelompok untuk memasukkan para penganut penghayat kepercayaan di kolom e-KTP.
Ketua Pengurus Besar Nahdatul Ulama (PBNU) Marsudi Syuhud menilai sebaiknya para penganut penghayat dibuatkan e-KTP khusus. Pertimbangan itu diambil lantaran jumlah mereka juga dianggap tidak terlalu banyak di Indonesia.
"Kepercayaan kan bukan agama, jadi lebih baik itu dipisah saja e-KTP. Sebab hanya ada sekitar 278.000 orang, sehingga sebaiknya dipikirkan," jelas Marsudi saat berbincang dengan Alinea, Kamis (1/2).
Selain itu, Marsudi menganggap akan muncul persoalan jika penganut penghayat kepercayaan tetap dipaksakan masuk pada kolom agama di e-KTP sekarang. Apalagi, PBNU menyebut para penghayat kepercayaan bukanlah penganut agama.
Salah satu masalah yang muncul ialah pemerintah dianggap perlu menarik e-KTP yang sudah jadi demi mengubah kolom agama yang kemungkinan diganti demi memfasilitasi para penghayat kepercayaan.
"Kalau sekarang yang sudah jadi, kok dirombak semua. Kalau itu ditarik, diganti kan enggak rasional," tegasnya.