Politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Charles Honoris, mengkritik kebijakan pemerintah dalam menangani polusi udara. Pangkalnya, Jakarta menjadi kota besar paling berpolusi di dunia pada Selasa (19/9) pagi.
"Presiden jangan terlihat pasrah dalam menghadapi masalah polusi udara. Tetapi, harus memegang komando utama dengan membuat roadmap dan memimpin semua pemangku kebijakan untuk menjalankannya," katanya dalam keterangannya.
Berdasarkan data IQAir pukul 09.30 WIB tadi, indeks kualitas udara Jakarta pada angka 165. Ibu kota Indonesia ini pun terburuk di dunia, disusul Dubai, Kuching, Riyadh, dan Ho Chi Minh.
Menurut Charles, polusi udara di Jakarta tersebut menunjukkan program pemerintah belum efektif. "Ini tidak bisa diselesaikan hanya dengan cara sporadis, seperti aturan WFH (bekerja dari rumah) dan imbauan penanaman pohon saja!"
Ia melanjutkan, sukses atau gagalnya penanganan polusi udara dapat dirasakan langsung oleh masyarakat. "Kalau masih banyak orang Jakarta batuk-batuk, berarti penanganan polusi udara oleh pemerintah masih jauh dari sukses," ucapnya.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves), Luhut Binsar Pandjaitan, mengklaim, indeks standar pencemar udara (ISPU) di hampir semua wilayah di Jabodetabek dalam kategori baik dan sedang. Yang tidak sehat hanya di Bantar Gebang, Bekasi, Jawa Barat (Jabar) lantaran adanya pembakaran sampah.
Di sisi lain, polusi udara mengakibatkan penyakit gangguan pernapasan di Indonesia meningkat. Misalnya, pneumonia (infeksi paru), infeksi saluran pernapasan atas (ISPA), asma, tuberkulosis (TBC), kanker paru, dan penyakit paru obstruksi kronis (PPOK).
"Salah satu penyebab [naiknya penyakit gangguan pernapasan] yang paling dominan adalah polusi udara. Itu antara 24-34% dari 3 penyakit utama tadi: pneumonia, kemudian ISPA, dan asma," ungkap Menteri Kesehatan (Menkes), Budi Gunadi Sadikin, di Istana Kepresidenan Jakarta, Senin (28/8).
Beban BPJS Kesehatan akibat 6 penyakit gangguan pernapasan tersebut pada 2022 mencapai Rp10 triliun. Bebannya menunjukkan tren peningkatan pada 2023.
"Ini beban BPJS-nya tahun lalu Rp10 triliun dan kalau melihat trennya di 2023, naik, terutama ISPA dan pneumonia. Ini kemungkinan juga akan naik," ujarnya.