Puluhan massa dari berbagai organisasi kemasyarakatan menyampaikan aspirasinya di depan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada Rabu (18/12). Aksi tersebut dilakukan menuntut agar Lutfi Alfiandi, pedemo yang membawa merah putih pada saat unjuk rasa di kawasan DPR, Senayan, Jakarta, dibebaskan. Termasuk demonstran lainnya yang sampai saat ini masih ditahan.
Erwin Suwarno, dalam orasinya mengatakan, Luthfi Alfiandi yang kini duduk di kursi pesakitan sebagai terdakwa merupakan sosok yang perlu dicontoh bagi generasi muda. “Luthfi Alfiandi adalah sosok anak muda, aset bangsa, putra terbaik bangsa, yang memang harus dibebaskan,” kata Erwin di depan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu (18/12).
Menurut Erwin, sosok Luthfi yang menuntut hak konstitusionalnya oleh negara seharusnya diakomodir. Bukan sebaliknya malah dipenjarakan. “Oleh karenanya, kami dari Elemen Pemuda Utara, Komando Barisan Rakyat, (dan) Emak-emak menuntut segera dibebaskan Luthfi dan kawan-kawannya," kata dia.
Salah satu kuasa hukum Luthfi Alfiandi, Sutra Dewi, mengatakan sidang lanjutan perkara terhadap kliennya yang digelar hari ini (18/12) agendannya yakni mendengarkan keterangan saksi dari pihak jaksa penuntut umum (JPU).
Oleh JPU Andri Saputra, Luthfi dan para pengunjuk rasa yang diduga melakukan kerusuhan dan melawan petugas kepolisian diancam pidana dengan Pasal 212 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Jo. Pasal 214 ayat (1) KUHP atau kedua Pasal 170 ayat (1) KUHP atau ketiga Pasal 218 KUHP.
Sebelumnya juga penangguhan penahanan terhadap Luthfi Alfiandi sudah dilayangkan pada sidang perdana pada 12 Desember 2019. Wakil Ketua DPR, Sufmi Dasco Ahmad dan dua anggota DPR dari Komisi III yaitu Habiburokhman dan Didik Mukrianto bersedia menjaminkan dirinya untuk Luthfi.
Selain itu, Luthfi juga dianggap kooperatif dan berkelakuan baik selama pemeriksaan. Juga faktor lainnya yakni karena terdakwa yang masih berusia muda dan menjadi harapan keluarga.
Seperti diketahui, Luthfi Alfianfi ditangkap polisi saat melakukan unjuk rasa menyampaikan pendapatnya pada 30 September 2019. Saat itu, mahasiswa dan masyarakat sipil tergerak untuk menolak regulasi yang dianggap kontroversial seperti RUU KUHP, revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan beleid lainnya.