close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi penghapusan status pegawai honorer di instansi pemerintahan. Alinea.id/Aisya Kurnia.
icon caption
Ilustrasi penghapusan status pegawai honorer di instansi pemerintahan. Alinea.id/Aisya Kurnia.
Nasional
Kamis, 27 Januari 2022 06:14

Pegawai honorer: Penopang kerja PNS yang bakal tiada

Pada 2023, status pegawai honorer bakal hilang dari lingkungan instansi pemerintahan.
swipe

Sore itu, setelah melepas sang istri pulang kampung ke Semarang, Jawa Tengah, menggunakan kereta, Edo—nama samaran—belum mau beranjak dari Stasiun Gambir, Jakarta Pusat. Ia termenung, sembari menarik napas. Matanya memandang gedung-gedung di sekitar Monumen Nasional (Monas).

Edo gundah lantaran pekan lalu mendapat kabar pemerintah melalui Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan RB), bakal menghapus status pegawai honorer di lingkungan instansi pemerintahan pada 2023.

Pegawai honorer di Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) itu tengah berpikir langkah apa yang diambil kelak, sebelum terpaksa angkat kaki. Ia sadar, bukan perkara gampang mencari pekerjaan di Ibu Kota, apalagi dalam situasi pandemi.

“Sudah nyaman bekerja di kementerian,” ujar Edo kepada Alinea.id, Minggu (23/1).

Tenaga pendukung PNS

Beberapa waktu lalu, Menpan RB Tjahjo Kumolo menyatakan, status tenaga honorer di instansi pemerintahan dihapus pada 2023. Penghapusan itu berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 49 Tahun 2018 tentang Manajemen Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK).

Dengan begitu, nantinya hanya ada dua jenis status pegawai pemerintah, yakni pegawai negeri sipil (PNS) dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK). Keduanya disebut aparatur sipil negara (ASN).

Hingga kini, jumlah pegawai honorer lebih dari 400.00 orang. Sebesar 35,84% di antaranya adalah guru.

Di Kemendikbudristek, Edo telah bekerja sekitar dua tahun. Ia bertugas membuat konten video edukasi. Ia mengatakan, tak banyak PNS di Kemendikbudristek yang mampu membuat konten video menarik.

“Karena yang PNS itu (kebanyakan) kerjanya administrasi,” tuturnya.

Presiden Jokowi bersama peserta Rakernas Korpri 2019 di Istana Merdeka, Jakarta, Selasa (26/22019). Foto Agung/Humas/setkab.go.id.

“Tidak semua tugas di kementerian bisa ditangani PNS.”

Apalagi di tangan Nadiem Makarim, Kemendikbudristek cenderung menggunakan pendekatan digital dan kreativitas anak muda. Atas dasar itu, menurutnya, dibutuhkan peran pegawai honorer profesioal untuk menggarap tugas-tugas kementerian, yang tak semua kemampuan itu dikuasai PNS.

Bukan hanya dirinya yang sudah ancang-ancang mencari pekerjaan baru. Hal itu juga dilakukan semua pegawai honorer di Kemendikbudristek.

“Ya saya pikir memang harus cari kerja baru,” ucapnya.

Namun, ia masih berharap bakal ada solusi untuk mengakomodir pegawai honorer, agar tak kehilangan mata pencaharian. Misalnya mengubah status pegawai honorer menjadi PPPK, dengan mekanisme seleksi.

“Kalau jadi PPPK status dan jaminannya lebih jelas. Pegawai honorer itu kerja dan gajinya sangat jauh dengan yang PNS,” tuturnya.

Walau punya keahlian khusus, Edo mengaku pegawai honorer masih belum mendapatkan upah yang layak.

Oki Setiawan, yang menjadi pegawai honorer di Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), punya kekhawatiran serupa. Ia menyebut, seluruh pegawai honorer di lingkungan KKP sudah diberi kabar soal penghapusan status mereka sejak Januari 2022.

Sejak itu, pihak KKP menganjurkan pegawai honorer untuk ikut seleksi calon pegawai negeri sipil (CPNS) atau PPPK. “Namun tentu itu tidak mudah,” kata Oki, Senin (24/1).

Di KKP, Oki bertugas dalam tim verifikasi kesehatan ikan dari residu berbahaya. Ia mengatakan, tak semua kerja di kementerian bisa ditangani PNS. Sehingga perlu kolaborasi dengan pegawai honorer, yang punya keahlian di bidang perikanan.

“Tenaga honorer ini banyak mengisi hal yang memang tidak di-cover kementerian. Ada beberapa hal yang harus di-back up sarjana di luar perikanan,” ucap Oki.

Keputusan menghapus status honorer, kata dia, sama sekali tak bijak lantaran banyak kontribusi pegawai honorer. “Padahal bayarannya tidak semaksimal PNS, tapi pekerjaannya sebanding dengan yang PNS,” kata dia.

Peran tenaga honorer berbasis keahlian, menurut Oki, sudah diakui pimpinan di KKP. “Pak Dirjen Perikanan Budidaya (Haeru Rahayu) sangat mengapresiasi tenaga honorer karena memudahkan kerja mereka,” ujarnya.

Jika nanti benar-benar harus terdepak dari KKP, Oki mengaku belum mempersiapkan skenario terburuk. Ia masih menimbang keputusan pahit dari pemerintah itu hingga akhir 2022. Namun, ia berharap bisa diangkat menjadi PPPK.

"Kalau enggak bisa ya saya daftar perusahaan swasta," ucap Oki.

Ratih—bukan nama sebenarnya—yang saat ini menjadi tenaga honorer di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) bagian rehabilitasi gambut juga ketar-ketir.

Ia mengatakan, kabar penghapusan status honorer sudah lama berembus di KLHK. Akan tetapi, ia mendengar kabar pula, penghapusan itu bakal diikuti dengan perekrutan PPPK untuk pegawai honorer.

"Tapi saya belum jelas pastinya nanti bakal bagaimana," ucap Ratih, Senin (24/1).

Senada dengan Edo dan Oki, Ratih menuturkan banyak tugas yang bersifat teknis tak bisa ditangani PNS. “Makanya kami direkrut untuk menutup apa yang tidak bisa dikerjakan PNS di KLHK,” katanya.

Nasib Erinaldi lebih apes lagi. Akibat integrasi Badan Penerapan dan Pengkajian Teknologi (BPPT) ke dalam Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), ia harus kehilangan pekerjaannya sebagai tenaga honorer. Sebelumnya, ia menjadi pilot yang bertugas membantu kerja peneliti BPPT dalam memodifikasi cuaca untuk keperluan industri dan pertanian.

“Sejak akhir Desember kemarin, saya tidak lagi di BPPT karena sudah berganti menjadi BRIN,” kata dia, yang sudah bekerja dua tahun di BPPT, Senin (24/1).

Erinaldi menyebut, ada empat pilot berstatus honorer eks BPPT yang kini menganggur. "Kami dengar, kami mau direkrut lagi. Tapi kami belum tahu kejelasannya seperti apa," ujarnya.

Peserta calon pegawai negeri sipil (CPNS) mengikuti simulasi tes berbasis computer assisted test (CAT) II di Kantor Regional III Badan Kepegawaian Negara (BKN), Kota Bandung, Jabar, Selasa (14/1/2020). Foto Antara/M. Agung Rajasa

Solusi: Diangkat jadi PPPK

Plt Kepala Biro Hukum, Komunikasi, dan Informasi Publik Kemenpan RB Mohammad Averrouce mengatakan, kebijakan penghapusan pegawai honorer merupakan upaya untuk menata ulang sumber daya manusia yang terlalu gemuk di instansi pemerintahan. Hal itu terjadi karena instansi pemerintahan semaunya merekrut tenaga honorer, tanpa menimbang fungsi dan kebutuhan.

“Padahal kita membuat SDM (sumber daya manusia) satu pintu, tapi kadang seorang direktur di kementerian merestruktur sendiri,” ucapnya, Rabu (26/1).

Di samping berdasarkan PP Nomor 49 Tahun 2018, ia menyebut, kebijakan ini merupakan tindak lanjut PP Nomor 48 Tahun 2005 Jo PP Nomor 43 Tahun 2007 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil.

Averrouce berujar, jumlah tenaga honorer yang terlalu gemuk membuat perekrutan aparatur negara sulit dihitung. Sebab, perekrutan pegawai honorer lebih banyak ketimbang perekrutan umum, imbas semua kementerian merekrut tenaga honorer.

"Perekrutan yang sembarangan itu mengacaukan perhitungan,” kata Averrouce.

Kendati demikian, Averrouce menuturkan, Kemenpan RB bakal memberi ruang bagi para pegawai honorer untuk mencoba peruntungan menjadi PPPK, agar tata kelola SDM ASN lebih terdata dan organisasi tak gemuk.

Bukan cuma itu. Averrouce juga menjelaskan, Kemenpan RB tak serta merta bakal menghapus pegawai honorer yang punya keahlian khusus.

"Semisal sineas di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Itu masih dimungkinkan mereka bekerja, sesuai dengan ketentuan tertentu,” ujarnya.

“Tapi kita harap mereka terintegrasi (PPPK) di 2023 karena PP 49 Tahun 2018 memberi waktu 5 tahun waktu pegawai honorer.”

Menanggapi masalah ini, pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti, Trubus Rahardiansyah menilai, kebijakan penghapusan pegawai honorer tak ideal. Sebab, masih banyak kerja PNS yang memerlukan dukungan pegawai honorer.

"Mereka mestinya diangkat menjadi PPPK. Sebab sebenarnya tenaga honorer yang ahli itu sangat dibutuhkan oleh kementerian dan lembaga," ucap Trubus, Selasa (25/1).

Infografik tenaga honorer. Alinea.id/Aisya Kurnia.

Meski demikian, di samping banyak tenaga honorer yang ahli, ia melihat ada pula pegawai honorer “titipan” yang sejak lama bekerja di instansi pemerintah. Hal ini mengakibatkan birokrasi pemerintah daerah terlalu gemuk.

“Tapi sebenarnya mereka enggak punya keahlian apa-apa," kata Trubus.

"Kalau di daerah itu paling banyak kepala daerah yang suka memberi janji kepada tim suksesnya. Sehingga banyak pegawai honorer di daerah."

Di sisi lain, ia memandang, kesejahteraan pegawai honorer profesional perlu ditingkatkan. Terutama soal gaji yang masih di bawah upah minimum provinsi (UMP). Padahal, menurut Trubus, mereka punya kontribusi besar menopang kerja PNS di instansi pemerintahan.

"(Mereka) lebih pintar dan lebih lincah dari yang PNS," ujar Trubus.

Performa lembaga negara, kata dia, bakal terseok-seok tanpa dukungan tenaga honorer karena tak semua bisa diselesaikan PNS. Lebih lanjut, Trubus mengatakan, seleksi PPPK merupakan satu-satunya cara untuk mengapresiasi para tenaga honorer.

"Seleksi PPPK itu jalan, jadi dites PPPK saja," ucap Trubus.

img
Kudus Purnomo Wahidin
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan