close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Aksi solidaritas antihukuman mati oleh sejumlah aktivis pekerja migran pada 2016 lalu. /Migrant Care.
icon caption
Aksi solidaritas antihukuman mati oleh sejumlah aktivis pekerja migran pada 2016 lalu. /Migrant Care.
Nasional
Rabu, 31 Oktober 2018 19:08

Pekerja migran Indonesia, nasib miris para pahlawan devisa

Kasus eksekusi mati Tuti sudah yang keenam kalinya terjadi tanpa notifikasi resmi kepada pemerintah Indonesia, sepanjang 10 tahun.
swipe

Lagi, seorang pekerja migran Indonesia asal Majalengka, Jawa Barat, Tuti Tursilawati harus meregang nyawa di hadapan algojo pancung di Thaif, Arab Saudi pada Senin (29/10). Masih segar dalam ingatan, pekerja migran Indonesia asal Bangkalan, Madura, Muhammad Zaini Mistin Arsad menemui ajal setelah dieksekusi mati pada 18 Maret 2018 lalu.

Sepanjang 2011 hingga 2018, ada 103 WNI dijatuhi hukuman mati di Arab Saudi. Sebanyak 85 di antaranya berhasil dibebaskan dari ancaman hukuman mati. Lima pekerja migran sudah dieksekusi. Termasuk Tuti. Saat ini, ada 13 WNI terancam hukuman mati, dan masih diusahakan keringanan hukuman.

“Kita tentunya juga menyesalkan (eksekusi mati). Mengingat hubungan diplomatik yang begitu baik antara Indonesia dan Arab Saudi,” kata Ketua BNP2TKI Nusron Wahid, saat dihubungi, Rabu (31/10).

Mengecap manis di Singapura dan Hong Kong

Pekerja migran Indonesia asal Majalengka, Jawa Barat, Tuti Tursilawati dihukum mati setelah divonis bersalah atas tuduhan membunuh majikan. (www.facebook.com/migrantcare).

Berdasarkan data dari Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI), total pekerja migran Indonesia sejak Januari hingga September 2018 ada 204.836 orang. Mereka tersebar di 20 negara.

Arab Saudi merupakan negara nomor lima terbesar yang menjadi tempat mencari nafkah para pahlawan devisa. Tercatat, sepanjang Januari hingga September 2018, jumlah pekerja migran Indonesia di Arab Saudi sebanyak 4.524 orang.

Posisi pertama negara paling banyak menyumbang pekerja migran Indonesia diduduki Malaysia, Taiwan, Hongkong, dan Singapura.

Bertiana Hastuti merupakan salah seorang pekerja migran di Singapura. Dia bekerja di panti jompo Saint Luke’s di Bukit Timah, sebagai perawat. Sudah sejak 2014 Bertiana bekerja di sini.

“Saya bekerja sistem shift. Ada libur dua hari per minggu, lepas jaga malam,” kata Bertiana ketika dihubungi, Rabu (31/10).

Bertiana bekerja di Singapura melalui penyalur yayasan gereja di Indonesia. Perempuan asal Magelang, Jawa Tengah ini, mendapatkan kontrak kerja per dua tahun. Sebulan, Bertiana mendapatkan gaji pokok 1.200 dollar Singapura, atau sekitar Rp13 juta.

“Saya mendapat fasilitas tempat tinggal. Jika sakit, biaya berobat ditanggung panti,” ujarnya.

Di Singapura sendiri, dari data BNP2TKI per Januari hingga September 2018, jumlah pekerja migran kita ada 13.364 orang. Sementara itu, di Hong Kong, masih menurujuk data yang sama, sebanyak 48.159 pekerja migran kita mengadu nasib.

Rein merupakan salah seorang pekerja migran di Hong Kong. Dia bekerja sebagai pelaksana tata rumah tangga di keluarga yang berada di Kowloon. Rein menjadi pekerja migran Indonesia melalui jalur Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI).

“Saya sudah tujuh tahun (bekerja) di Hong Kong,” kata Rein, ketika dihubungi, Rabu (31/10).

Perempuan asal Ponorogo, Jawa Timur ini, membanting tulang demi menghidupi anak semata wayangnya, yang kini duduk di bangku SMA. Sudah lama dia berpisah dengan suaminya.

Menurutnya, aturan kerja di Hong Kong untuk asisten rumah tangga, tergantung dari majikan. Biasanya, Rein menghabiskan waktu 10 jam bekerja setiap hari.

“Kalau ada anak sekolah, jam 6 pagi sudah mulai kerja. Ada juga (asisten rumah tangga) yang hingga larut malam, jam 11, jam 12, bahkan jam 1 dinihari,” katanya.

Di Hong Kong, kata Rein, pekerja migran mendapatkan libur setiap hari Minggu dan libur nasional. Di sana, pekerja migran pun memiliki kebebasan berekspresi. Menurutnya, pekerja migran bisa berorganisasi dan bersosialisasi.

“Bahkan ada yang nyambi kuliah,” ujar Rein.

Maka, tak heran, mereka pun pernah bergerak bersama saat ada kasus pekerja migran yang disiksa majikannya beberapa waktu lalu.

Kebijakan pemerintah Indonesia mengatur pekerja migran pun, sebut Rein, sudah cukup baik di Hong Kong. Misalnya, perpanjangan paspor dipermudah, dan soal kartu tanda kerja luar negeri dari BNP2TKI sudah tak lagi dipermasalahkan lagi.

Sama seperti Bertiana, Rein pun dikontrak per dua tahun. Dia mendapatkan gaji pokok 4.520 dollar Hong Kong, atau sekitar Rp8,7 juta per bulan.

Kondisi pekerja migran di Singapura dan Hong Kong, seperti yang dikisahkan Bertiana dan Rein, barangkali sangat berbeda dengan apa yang dialami pekerja migran di Arab Saudi.

Oh, Arab Saudi

Aksi aktivis pekerja migran di depan Monumen Nasional beberapa waktu lalu, menagih janji pemerintah terhadap kesejahteraan pekerja migran Indonesia. (www.facebook.com/migrantcare).

Aktivis International Domestic Workers Federation (IDWF) Niken Anjar Wulan mengatakan, kultur dan kebijakan di setiap negara penempatan pekerja migran Indonesia memiliki korelasi erat terhadap kesejahteraan mereka.

“Di Hong Kong, pekerja migran mendapat akses perlindungan hukum. Ada dalam undang-undang perburuhan Hong Kong. Ada standar upah minimum yang disesuaikan tiap tahun, dan jaminan kebebasan berserikat. Di Arab Saudi sama sekali tidak ada. Jikapun ada, sangat minim,” kata Niken, yang berposisi sebagai Program Officer for Asia di Hong Kong, ketika dihubungi, Rabu (31/10).

Niken mengatakan, setiap negara yang mengirim pekerja migran maupun negara tujuannya punya aturan berbeda-beda. Lazimnya, negara pengirim dan penerima akan membuat nota kesepahaman. Menurut Niken, standar yang diatur antarnegara bisa berbeda, sesuai nota kesepahaman yang disepakati.

“Tapi sudah ada konvensi international yang memuat standar perlindungan pekerja migran dan keluarganya,” ujar Niken.

Konvensi internasional yang dimaksud Niken adalah sebuah traktat multilateral yang memerintahkan perlindungan pekerja migran dan keluarganya. Konvensi ini ditandatangani pada 18 Desember 1990, dan diterapkan pada 1 Juli 2003, usai sejumlah negara meratifikasi mencapai 20 negara pada Maret 2003. Konvensi ini merupakan salah satu dari tujuh badan traktat hak asasi manusia terkait PBB.

Pada Mei 2015, ada 28 negara yang meratifikasi. Indonesia termasuk di dalamnya. Namun, Arab Saudi tak ada dalam jajaran negara yang meratifikasi konvensi tersebut.

Menurut Niken, bila Arab Saudi tak meratifikasi, artinya negara ini tak punya keterikatan untuk membuat kebijakan di tingkat nasional, terkait hal tersebut.

“Kalau sudah ratifikasi, harus diadopsi dalam undang-undang tingkat nasional,” kata Niken.

Di sisi lain, seorang aktivis tenaga kerja Indonesia di Jeddah, Arab Saudi, yang tak mau disebutkan namanya mengungkapkan, pekerja migran Indonesia di Arab Saudi rentan diskriminasi, terutama pekerja perempuan. Pekerja migran perempuan, yang informal tak ada aturan jam kerja yang jelas.

Pekerja migran informal yang dimaksudnya merupakan pekerja yang bekerja sebagai asisten rumah tangga dan sopir pribadi. Sedangkan pekerja formal, mereka yang bekerja di sebuah perusahaan tertentu. Hal ini, katanya, diperparah dengan permainan para mafia tenaga kerja.

“Visa formal, tapi dipekerjakan ke informal oleh mafia,” katanya, saat dihubungi, Rabu (31/10).

Lebih lanjut, dia menuturkan, warga Arab Saudi tak pernah mau mengikuti aturan, bila sudah menyangkut urusan pekerja Indonesia. Nyaris seluruh kejadian terkait pekerja migran Indonesia, kata dia, adalah usaha membela diri.

“Pemerintah Arab Saudi 100% membela warganya, entah itu masalah pembunuhan ataupun pemerkosaan, meski warganya jelas-jelas salah,” kata dia.

Aktivis yang juga menjadi desainer sebuah perusahaan di Jeddah sejak 1997 ini melanjutkan, pendampingan terhadap pekerja migran oleh pemerintah Indonesia juga lemah.

Di pengadilan, katanya, pengacara-pengacara yang disewa pihak Indonesia kurang maksimal. Belum lagi, perwakilan Indonesia maupun pemerintah Arab Saudi sama-sama tertutup.

Menurut Aktivis Migrant Care Anis Hidayah, kultur di Arab Saudi memang berbeda. Di negara padang pasir itu ada sejarah panjang tentang budaya perbudakan, perlakuan perempuan, dan sistem monarki yang berlaku hingga detik ini.

“Sehingga demokrasi belum terbangun di sana, itu juga mempengaruhi bagaimana perlakukan mereka terhadap pekerja-pekerja kita, yang kurang layak atau kurang manusiawi,” kata Anis, saat dihubungi, Rabu (31/10).

Pemerintah harus apa?

Kepala BNP2TKI Nusron Wahid (kiri) memberikan keterangan pers seusai melakukan pertemuan tertutup dengan Calon Wakil Presiden nomor urut 01 Ma'ruf Amin di kawasan Menteng, Jakarta, Senin (24/9). (Antara Foto).

Pemerintah memang bereaksi cepat, setelah mendengar kabar Tuti dieksekusi mati di Arab Saudi. Direktur Perlindungan WNI dan Badan Hukum Kementerian Luar Negeri Lalu Muhammad Iqbal dalam jumpa pers di kantor Kementerian Luar Negeri, Selasa (30/10) mengatakan, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi langsung menelepon Menteri Luar Negeri Arab Saudi Adel Al Jubeir untuk melontarkan protes.

Menlu, yang saat itu tengah menghadiri Our Ocean Conference (OCC) di Bali pun memanggil Duta Besar Arab Saudi untuk Indonesia, agar bisa melayangkan protes secara langsung.

Di lain kesempatan, Aktivis Migrant Care Anis Hidayah mengatakan, Tuti sesungguhnya adalah korban terhadap perilaku majikan yang akan melakukan pemerkosaan. Dia melakukan pembelaan diri, hingga majikannya terbunuh.

“Jadi tidak ada kesengajaan untuk melakukan pembunuhan, seperti yang didakwakan dalam proses pengadilan yang menyatakan dia melakukan pembunuhan secara berencana,” kata Anis.

Anis pun menyesalkan pihak Arab Saudi yang kembali melakukan eksekusi mati. Kasus eksekusi Tuti, menurut catatan Anis, sudah yang keenam kalinya tanpa notifikasi resmi kepada pemerintah Indonesia, sepanjang 10 tahun terakhir.

Sementara itu, Kepala BNP2TKI Nusron Wahid berharap, semua pekerja migran yang sedang mengalami masalah di Arab Saudi mendapat standar perlakuan yang baik. Nusron menampik segala kelemahan perlindungan terhadap pekerja migran. Menurut dia, perlindungan pekerja migran sudah sangat baik dan kuat.

Jika memang ada pekerja migran yang melakukan tindak pidana, kata Nusron, akan diproses sesuai dengan hukum yang berlaku di negara penempatan pekerja migran.

“Di semua negara pasti ada masalah. Hanya derajat dan kadar masalah yang berbeda, di samping memang masing-masing negara mempunyai tradisi dan hukum yang berbeda,” kata Nusron.

Menurutnya, di Hong Kong karena tidak mengenal hukum kisas—hukuman bagi orang yang membunuh dibalas dengan membunuh lagi—jadi tak ada yang dihukum mati. Namun, persoalan tidak sesederhana itu.

Anis mengatakan, eksekusi mati Tuti dan pekerja migran sebelumnya, menodai hubungan baik antara pemerintah Indonesia dengan Arab Saudi. Anis pun meminta, pemerintah harus meninjau ulang, bila perlu membatalkan, rencana 30.000 pekerja migran ke Arab Saudi pasca-ditandatangani nota kesepahaman antara pemerintah Indonesia dan Arab Saudi pada 11 Oktober 2017 lalu.

“Apa jaminan bagi Arab Saudi kalau tidak ada persoalan-persoalan lagi bagi penempatan baru pekerja migran kita di sana?” ujar Anis.

Indonesia sendiri sebenarnya memiliki aturan perlindungan pekerja migran, yakni Undang-undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia. Namun, undang-undang ini, kata Anis, belum berlaku efektif, karena aturan turunannya belum ada satupun.

Bagi Anis, yang bisa dilakukan pemerintah sekarang adalah memastikan kesiapan daerah, sebagai salah satu ujung tombak yang menyediakan layanan publik bagi perlindungan pekerja migran. Sebab, kata dia, ke depan daerah menjadi ujung tombak bagaimana layanan migrasi disediakan oleh negara melalui layanan di tingkat desa, terpadu satu atap, termasuk balai latihan kerja milik pemerintah.

Sedangkan menurut Nusron, yang perlu dilakukan adalah menyiapkan para calon pekerja migran agar mengerti undang-undang yang berlaku di negara penempatan.

“Sehingga, tidak terkena ancaman hukuman apapun, termasuk hukuman mati,” kata Nusron.

Selanjutnya, Anis mengatakan, dari 13 pekerja migran yang terancam hukuman mati, satu orang tinggal menunggu eksekusi. Anis berharap, upaya diplomatik dilakukan antarkepala negara. Bisa pula melalui pendekatan alternatif, seperti pertemuan antarulama kedua negara.

“Untuk 12 pekerja migran yang masih proses hukum, saya kira pemerintah Indonesia mesti all out melakukan pembelaan untuk menghindarkan mereka dari hukuman mati,” kata dia.

Saat ditanya, Nusron tidak memberitahu nama-nama pekerja migran yang masih terancam hukuman pancung di Arab Saudi. “Semua ter-report dan sedang dalam penanganan. Minta doanya saja,” ujar Nusron.

img
Fandy Hutari
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan