Para pekerja yang bertaruh nyawa dan minimnya jaminan keselamatan
Kekhawatiran kerap menghantui Muhammad Iqbal—nama samaran—seorang staf ahli keselamatan dan kesehatan kerja (K3) di sebuah perusahaan konstruksi, ketika akan bertugas. Musababnya, ia memikirkan keamanan para pekerja bangunan yang berada di bawah pengawasannya.
Ia mengakui alat pelindung keselamatan kerja yang disediakan perusahaannya tak memenuhi standar. Berkali-kali ia menyarankan hak keselamatan dalam bekerja, tetapi atasannya selalu mengelak.
“Saya yang jadi kambing hitam ketika ada kecelakaan kerja,” ujar Iqbal saat berbincang dengan Alinea.id, Minggu (10/10).
Sanksi menanti
Menurut Iqbal, tahun ini saja ada lima orang pekerja bagian interior yang meninggal karena kecelakaan kerja. Di samping tak memenuhi standar, alat keamanan kerja yang disediakan perusahaan tak lengkap. Misalnya, para pekerja bagian instalasi listrik hanya diberikan helm dan rompi.
“Buat apa? Seharusnya (diberikan) sarung tangan,” kata pria berusia 24 tahun itu.
Para pekerja proyek bangunan, diakui Iqbal juga tak mendapat jaminan sosial, seperti BPJS Kesehatan, BPJS Ketenagakerjaan, maupun asuransi lainnya. Lantaran hanya berstatus honorer, para pekerja pun tak mendapat upah bila tengah sakit.
“Saya inginnya semua bisa bekerja aman. Masalahnya, ini nyawa. Cuma saya enggak bisa apa-apa,” ujarnya.
Pekerja proyek infrastruktur dan konstruksi kerap dibayangi dengan taruhan nyawa kala melaksanakan tugas. Terakhir, kejadian miris menimpa tiga pekerja outsourcing atau alih daya PT Telkom Akses, yang merupakan anak perusahaan PT Telkom indonesia.
Bersama dua warga, tiga pekerja pemeliharaan jaringan kabel telekomunikasi itu meregang nyawa di gorong-gorong Jalan Taman Royal, Cipondoh, Kota Tangerang, Banten pada Kamis (7/10). Diduga, mereka tewas karena menghirup gas beracun di gorong-gorong yang dipenuhi kabel dan air itu.
Menurut catatan Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) pada triwulan II 2020, setidaknya ada 3.174 kecelakaan kerja yang dihimpun dari seluruh provinsi. Dari jumlah itu, sebanyak 2.164 pekerja harus kehilangan nyawa dan 46 lainnya mengalami penyakit akibat kerja. Dalam periode yang sama, Kemenaker juga mencatat, ada 4.052 pelanggaran norma K3, yang merupakan akumulasi dari 14 jenis pelanggaran.
Meski begitu, tak semua pekerja alih daya punya nasib serupa Iqbal. Seorang teknisi alih daya di sebuah perusahaan instalasi perangkat sinyal, Andi Pratama mengatakan, perusahaannya selalu memperhatikan keselamatan kerja.
Pria berusia 24 tahun itu selalu difasilitasi helm, sabuk pengaman tubuh, dan sepatu bot ketika memperbaiki jaringan menara telekomunikasi.
“Jaminan kesehatan sama tunjangan kematian juga ada,” kata Andi saat dihubungi, Minggu (10/10).
Namun, Andi seringkali keberatan dengan perusahaan mitra yang memberikan instruksi tak mengindahkan kondisi di lapangan. Semisal, ia pernah mendapat tugas memperbaiki jaringan di pucuk menara telekomunikasi, saat hari sudah mulai gelap.
Ia juga pernah memiliki pengalaman pahit ketika hendak memperbaiki jaringan di tiang pemancar di kaki Gunung Agung, Bali pada akhir 2017. Bersama seorang rekannya, Andi terjebak badai di ujung menara setinggi 50 meter.
“Jadi, ya kalau bisa sih lebih diperhatiin lagi orang lapangan,” tuturnya.
Terkait dengan segala persoalan ini, pihak Kemenaker mengultimatum perusahaan, terutama penyalur tenaga kerja, agar menjamin hak keselamatan pekerjanya.
“Bagi yang tidak patuh, dapat dikenakan sanksi pidana kurungan ataupun denda,” ujar tim biro humas Kemenaker dalam jawaban atas pertanyaan yang diajukan kepada Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah, Selasa (12/10).
Adapun sanksi yang diberikan terhadap perusahaan yang lalai dalam menjamin hak keselamatan dan kesehatan kerja mengacu pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja.
“Hukumannya kurungan tiga bulan atau denda Rp100.000,” katanya.
Pihak Kemenaker pun mengingatkan agar perusahaan bersikap adil memberikan hak pekerja, khususnya tenaga alih daya.
“Semua memiliki hak perlindungan yang sama, termasuk dalam hal perlindungan K3 dan jaminan sosial,” ujar tim biro humas Kemenaker.
Kemenaker mengklaim selalu memberikan edukasi, pembinaan, serta pelibatan pengusaha dan pekerja dalam menerapkan K3 di lingkungan kerja. Para pekerja yang tak mendapat hak dari perusahaan pun diimbau melapor ke Kemenaker.
Pentingnya pengawasan
Dihubungi terpisah, anggota Komisi IX DPR dari fraksi PKS Kurniasih Mufidayati meminta pemerintah bisa melakukan pengawasan ketat terhadap pelaksanaan ketentuan tentang pekerja alih daya, terutama jenis pekerjaan dengan risiko tinggi.
“Pengawasan dapat dilakukan dengan memperhatikan aspek keselamatan kerja yang diberikan perusahaan,” ujar Kurniasih, Selasa (11/10).
“Jangan sampai perlindungan keselamatan kurang mendapat perhatian dari pemberi kerja hanya karena statusnya sebagai pekerja alih daya, bukan pekerja tetap.”
Kurniasih meminta pula kepada Kemenaker untuk tak segan memberikan sanksi terhadap perusahaan yang lalai, seperti mengabaikan pemberian jaminan keselamatan bagi pekerja.
“Karena jaminan perlindungan keselamatannya sudah diatur dalam peraturan perundang-undangan,” ucapnya.
Sekjen Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) Timboel Siregar menerangkan, perihal keselamatan kerja dari perusahaan terdapat dalam Pasal 86 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja, serta Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
“Kalau ada perusahaan, khususnya outsourcing yang melanggar, ini kan terjadi karena perusahaan itu menganggap K3 sebagai beban yang mengurangi profit, sehingga tidak menjadi prioritas bagi mereka,” kata dia ketika dihubungi, Senin (11/10).
“Nah, ini salah. Jadi, kalau dari sisi regulasi, (jaminan keselamatan kerja) itu wajib.”
Jika ada kecelakaan kerja yang menyebabkan buruh meninggal, menurut Timboel, sanksi pidana bisa diberikan pada perusahaan. Sebab, hal itu termasuk dalam kelalaian perusahaan menjamin hak pekerja.
“Kalau kelalaian itu bisa dihukum, pidana maupun perdata,” ucap Timboel.
Koordinator Advokasi BPJS Watch ini mengatakan, edukasi dan pengawasan pelaksanaan keselamatan kerja penting untuk menjamin perusahaan menaati hukum. Namun, ia menilai, peran tersebut masih minim dilakukan pemerintah.
“Pengawas ketenagakerjaan, kita harus akui memang lemah dalam mengawasi pelaksanaan di tempat kerja yang berisiko tinggi,” kata dia.
Sementara itu, juru bicara Gerakan Serikat Buruh Indonesia (GSBI) Kokom Komalawati menganggap, adanya kelalaian perusahaan dalam menjamin keselamatan karena pekerja tak memiliki serikat. Menurut dia, keberadaan serikat pekerja amat vital untuk mendesak pengusaha menjamin K3.
“Persoalannya, banyak buruh konstruksi tak berserikat. Jadi, penekanan ke perusahaan untuk menyediakan K3 berkualitas itu agak susah,” tuturnya, Rabu (13/10).
Keberadaan serikat pekerja, dinilai Kokom amat penting guna mengadvokasi segala hak pekerja pada perusahaan dan pemerintah. Kokom berpendapat, tak diberikannya hak keselamatan pekerja merupakan jenis pelanggaran hukum pidana. Apalagi bila ada yang meninggal dunia. Oleh karenanya, aparat penegak hukum harus menindak pihak perusahaan yang “bandel”.
Selain itu, menurut Kokom, Kemenaker perlu membuat lembaga pengawas independen yang fokus mengurusi penerapan K3.
“Melibatkan buruh dan unsur dari pemerintah pusat hingga daerah,” ucapnya.
Ia percaya, keberadaan lembaga tersebut akan menekan jumlah kecelakaan kerja akibat kelalaian penerapan K3. Kokom merasa, pengawas ketenagakerjaan yang ada saat ini tak maksimal dalam melaksanakan tugasnya.
Ia memiliki pengalaman saat mengadakan audensi dengan Kemenaker. Para pengawas ketenagakerjaan, kata dia, kerap mengeluh dan minta dimaklumi bila kinerjanya belum memuaskan.
“Pemerintah perlu aksi yang jelas karena satgas K3 itu enggak jelas. Perlu terobosan baru (membentuk lembaga independen pengawas K3) yang melibatkan serikat buruh,” ujar Kokom.