Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menilai perlu ada wadah bagi anak-anak untuk menyampaikan aspirasi. Hal ini merespons keterlibatan anak dalam sejumlah aksi demonstrasi di beberapa daerah di Indonesia belakangan ini.
Komisioner Bidang Trafficking dan Eksploitasi KPAI Ai Maryati Solihah memandang pentingnya penyediaan wadah baru yang mendorong partisipasi anak untuk bertumbuh-kembang. Namun, kata dia, harus tetap berlandaskan perlindungan dan pemenuhan hak bagi anak.
“Jangan-jangan kelompok kegiatan seperti OSIS, Remaja Masjid, atau Karang Taruna, sudah dianggap jadul. Sehingga mereka mengharapkan ada pola pengembangan ekspresi baru,” kata Ai di kantor KPAI, Jakarta, Selasa (1/10).
Dalam Pasal 24 UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, disebutkan bahwa negara dan pemerintah menjamin anak untuk mempergunakan haknya dalam menyampaikan pendapatnya. Namun pemenuhan hak tersebut harus dilihat sesuai dengan usia dan tingkat kecerdasan anak.
Karena itu, Ai mengatakan KPAI mendorong Kementerian Komunikasi dan Informatika dan Divisi Cyber Crime Mabes POlri, untuk mendalami dugaan adanya pengerahan anak dalam aksi unjuk rasa beberapa waktu lalu.
Dari data KPAI, ada sejumlah dugaan yang mengarah pada tindak eksploitasi anak. Di antaranya adalah ada sekelompok anak yang dibayar sekian ratus ribu untuk ikut dalam unjuk rasa. Adapula rekening bank yang ditujukan untuk membiayai demonstrasi dengan melibatkan anak-anak.
Dari rekam jejak data digital yang dihimpun KPAI, Ai mengatakan, sejumlah akun media sosial juga menyebarkan ajakan dan merekrut anak agar ikut dalam unjuk rasa.
“Bila dugaan itu bisa diungkap, Kepolisian dan Kominfo harus membongkar, siapa sebenarnya yang diuntungkan dalam kondisi ini?” kata dia.
Dalam Pasal 15 UU Nomor 35 Tahun 2014, disebutkan bahwa anak memiliki hak untuk memperoleh perlindungan dari sejumlah kondisi, antara lain penyalahgunaan dalam kegiatan politik, pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan, dan pelibatan dalam kerusuhan sosial.
“Ini tantangan terbesar dalam perlindungan anak. Mengapa partisipasi anak-anak muncul dalam pelibatan peristiwa berkategori kekerasan, kerusuhan, juga terkait kepentingan politik,” ujar Ai Maryati.
Dia menyayangkan keterlibatan anak dan pelajar dalam peristiwa unjuk rasa yang dipelopori mahasiswa di Jakarta, 23, 24, dan 30 September lalu. Keadaan itu memperpanjang catatan pengerahan anak dalam peristiwa unjuk rasa.
Sebelumnya, kata dia, telah terjadi dua aksi lain yang melibatkan anak-anak. Pertama, pada peringatan Hari Buruh 1 Mei 2019 di Bandung, yang diikuti sekitar 400 anak dengan mengenakan penutup wajah dan pakaian hitam-hitam. Aksi serupa terjadi di Yogyakarta dan kota besar lainnya.
Kedua, saat aksi rusuh massa pascapenetapan hasil pemilu 21–22 Mei lalu. Ai Maryati menegaskan, kala itu anak-anak secara jelas tergabung dalam kelompok demonstrasi.
“Sebagian mereka telah kami amankan untuk didampingi dalam proses rehabilitasi,” ucapnya.