Pelajar turun ke jalan: Ungkapan amarah dan kekecewaan
Di tengah aksi unjuk rasa mahasiswa menolak revisi UU KPK dan RUU KUHP yang terpusat di depan Gedung DPR-MPR, Jakarta pada Selasa (24/9), ada pemandangan tak biasa. Pelajar berseragam putih abu-abu dan pramuka, terpantau berkerumun di sekitar jembatan layang Slipi, Jakarta Barat pada sore hari hingga larut malam.
Keesokan harinya, ribuan pelajar SMA, SMK, dan SMP—yang mayoritas masih mengenakan seragam—menyerbu depan Gedung DPR. Mereka membawa bendera Merah-Putih dan poster bernada kritik. Salah satunya cukup menyentil: “Kite yang bolos, die yang bego. #DPRGoblok.”
Mereka meneriakkan yel-yel, menolak pengesahan RUU KUHP. Tagar #STMMelawan meramaikan media sosial.
Menjelang sore, para siswa yang unjuk rasa mulai melempari area Gedung DPR-MPR dan polisi dengan batu. Mereka pun melakukan aksi bakar-bakar di pinggiran dan belakang Gedung DPR-MPR. Aksi ini pun diwarnai bentrok antara petugas dan pelajar dari sore hingga larut malam di sekitar Palmerah dan Jalan Gatot Subroto.
Unjuk rasa yang dilakukan pelajar ini bukan hanya terjadi di Jakarta. Di Medan, Sumatera Utara, pada Jumat (27/9) siswa setingkat SMA pun menggelar aksi unjuk rasa di depan Gedung DPRD Sumatera Utara. Di sana pun polisi dan pelajar terlibat bentrokan. Aksi juga terjadi di beberapa kota, seperti Brebes, Palembang, Salatiga, dan Bandung.
Polisi mengatakan, para pelajar yang menggelar aksi ini sebelumnya mendapatkan ajakan demonstrasi dari pesan berantai yang disebar melalui WhatsApp.
Senin (30/9), ratusan para pelajar kembali demonstrasi di sekitar Gedung DPR-MPR. Selain dari Jakarta, mereka mengaku berasal Bekasi, Depok, Bogor, dan Banten.
Jalan Pejompongan Raya arah Palmerah, menjadi salah satu basis kerumunan pelajar. Mereka bergerak menuju Gedung DPR-MPR. Zidan dan Wildan—bukan nama sebenarnya—dua pelajar SMK asal Bogor, Jawa Barat sejak siang ikut dalam kerumunan.
Selesai ujian di sekolah, mereka berangkat dari Bogor pada pukul 10.00 WIB. Sebelumnya, pada 25 September 2019, mereka mengaku tak ikutan unjuk rasa.
“Sebelumnya ketangkep duluan di stasiun karena enggak ada surat izinnya,” ujar Zidan saat ditemui Alinea.id di Jalan Pejompongan Raya, Jakarta, Senin (30/9).
Pada 25 September 2019, Zidan bersama ratusan pelajar berseragam putih abu-abu digiring dan dikumpulkan petugas di depan Stasiun Bogor. Lalu, polisi membubarkan paksa rombongan pelajar yang ingin ke Jakarta itu.
Kali ini, Wildan dan Zidan tak ikut aksi hingga malam. Menjelang matahari terbenam, mereka memutuskan untuk pulang ke Bogor.
“Tadi sudah ikutan demo. Dapat gas air mata doang. Ini mau pulang, sudah lelah. Kalau STM mah seru-seruan doang tujuannya, enak ngumpul. Rame,” kata Zidan.
Selain Wildan dan Zidan, ada pula beberapa pelajar SMP yang ikut turun ke jalan. Salah satunya Adi. Bersama empat temannya dari sebuah SMP di Bekasi, ia mengaku ikut unjuk rasa sejak siang. Adi mengatakan, rombongannya sempat ditahan aparat kepolisian, ketika hendak berangkat dari Stasiun Kranji, Bekasi.
“Tapi, kita tetap berangkat pas aparat pergi. Dari Stasiun Kranji turun di Stasiun Cakung. Enggak ingin nonton doang, mau ikutan demo,” tutur Adi.
Hingga malam, banyak pelajar yang masih bertahan menyaksikan hilir mudik ambulans di sekitar Pejompongan Raya. Sejumlah petugas medis turun membantu beberapa mahasiswa yang pingsan. Bentrokan dengan aparat kepolisian pun tak terhindari pada malam hari.
Fenomena lama
Guru Besar Psikologi Universitas Gadjah Mada (UGM) Prof. Koentjoro mengatakan, pelajar ikut unjuk rasa bukan fenomena baru. Menurutnya, pada awal 1966, pelajar yang tergabung di dalam Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI) bersama Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) menggelar aksi Tri Tuntutan Rakyat (Tritura)—tiga tuntutan kepada pemerintah.
Tiga tuntutan kepada pemerintahan Sukarno ketika itu, antara lain pembubaran PKI beserta ormas-ormasnya, perombakan Kabinet Dwikora, dan menurunkan harga pangan.
“Di Yogyakarta saat itu ada dua yang meninggal dunia, yakni Arismunandar pelajar SMP Muhammadiyah X Yogyakarta dan Margono pelajar SPG Muhammadiyah I Yogyakarta. Saya masih ingat betul karena saya juga ikut melayat dan mengikuti kegiatan aksi,” tutur Koentjoro saat dihubungi, Minggu (29/9).
Koentjoro memandang, saat ini terlibatnya pelajar dalam aksi unjuk rasa situasinya berbeda dibandingkan pada 1960-an. Ketika itu, sebut Koentjoro, pengaruh partai politik di akar rumput sangat kuat karena diizinkan mendirikan cabang di kampung-kampung.
“Sekarang ini, partai politik terbelenggu floating mass (massa mengambang),” katanya.
Di dalam tulisannya “Rehearsals for Employment: Indonesian School Kids on Strike in the 1990s” yang terbit di Jurnal Indonesia edisi Oktober 1995, Douglas Kammen menulis, pada masa Orde Baru, pelajar melakukan aksi unjuk rasa untuk menanggapi situasi politik nasional atau permasalahan di sekolah.
Siswa SMA, sebut Douglas, merupakan bagian dari kategori pemuda yang bermuatan politis. Namun, di masa Orde Baru, istilah “pemuda” disingkirkan rezim.
“Sebagai gantinya, siswa sekolah lebih cenderung disebut ‘pelajar’ dan ‘remaja’ daripada ‘pemuda’, lebih mungkin disalahkan karena kenakalan daripada dipuji karena kepedulian, apalagi aktivisme,” tulis Douglas.
Douglas menyebutkan, antara 1987 dan 1994, pemogokan siswa sekolah menengah mengalami peningkatan. Sebagian besar terjadi di Jawa Timur dan wilayah Jabodetabek. Ada enam alasan utama mengapa siswa melakukan aksi mogok, sebut Douglas.
Pertama, protes kualitas pendidikan sekolah mereka. Kedua, protes peraturan sekolah dari larangan parfum hingga peraturan tentang rambut gondrong.
Ketiga, protes biaya tak terhitung yang dipungut sekolah. Keempat, protes penggelapan uang sekolah dan korupsi pejabat sekolah. Kelima, protes pemindahan guru. Keenam, menuntut kepala sekolah mundur.
“Di luar permasalahan sekolah, siswa juga menaruh perhatian terhadap isu intervensi militer dalam urusan sekolah dan protes pemilihan kepala desa. Sayangnya, tuntutan siswa yang konkret cenderung dianggap sebelah mata, alih-alih kritik membangun,” tulis Douglas.
Pejabat sekolah dan pemerintah, sebut Douglas, meremehkan mereka dengan menyebut gerakan pelajar hanya meniru demonstrasi mahasiswa. Bahkan, aksi protes siswa dituding ada yang menunggangi.
Herman Sitorus, seorang pelajar STM asal Desa Patane, Sumatera Utara mungkin merupakan salah satu contoh kasus bagaimana siswa turun ke jalan, memprotes sebuah perusahaan pencemar lingkungan, dan tewas.
Hal itu diangkat Saut Tumiur Situmorang dan kawan-kawan di dalam buku Orang-Orang yang Dipaksa Kalah: Penguasa dan Aparat Keamanan Milik Siapa? (2010). Menurut Saut dan kawan-kawan di dalam buku itu, pada 2000 Herman tertembak saat terjadi bentrok antara massa dan aparat kepolisian.
Ia ikut dalam aksi unjuk rasa menentang beroperasinya kembali pabrik Inti Indorayon Utama, yang mencemari lingkungan. Pabrik tersebut sebenarnya sudah ditutup pada Juni 1998.
Akumulasi kekecewaan
Koentjoro berpendapat, aksi unjuk rasa pelajar pada 24 dan 25 September 2019 merupakan mobilisasi massa karena tak ada pendidikan politik.
Ia mengatakan, mengacu teori psikologi konformitas, selain tersulut amarah, para pelajar yang ikut demonstrasi itu, lantas terbentuk komunitas out group dan in group. Lalu, mereka terbius suasana massa.
“Mereka merasa menjadi seorang pahlawan yang terlibat adanya gerakan aksi massa yang menghipnotis, akhirnya mereka menjadi sangat tidak terkontrol,” tutur Koentjoro.
Terlebih, kata Koentjoro, usia pelajar sekolah menengah masih punya hasrat yang begitu kuat, sehingga kemungkinan lebih nekat dibandingkan yang lebih dewasa.
Dihubungi terpisah, pengamat politik dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Ubedilah Badrun mengatakan, pelajar ikut unjuk rasa lantaran akumulasi dari ekspresi kekecewaan yang sudah menumpuk.
Di samping itu, selain kecewa karena jutaan lulusan SMK menanggur, para pelajar melihat performa elite politik yang buruk, seperti banyak pejabat melakukan korupsi dan terjaring operasi tangkap tangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
“Jadi anak STM demonstrasi itu lebih karena mau mengekspresikan kekecewaanya pada keadaan saat ini. Bukan karena dieksploitasi,” kata Ubedilah saat dihubungi, Minggu (29/9).
Ubedilah mengatakan, tidak tepat pemerintah membelenggu kebebasan berekspresi mereka. Selain itu, ia mengingatkan pemerintah agar tak menggunakan cara-cara represif menghadapi para siswa.
“Tentu, pendidikan politik bagi anak muda milenial penting untuk diberikan, khususnya terkait pembentukan karakter demokratis,” ujar Ubedilah.
Sementara itu, komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) bidang Pendidikan, Retno Listyarti menegaskan, pelajar setingkat SMA/SMK sebenarnya sudah punya hak politik karena mereka tergolong pemilih pemula.
Menurut Retno, mereka sudah dijamin hak untuk menyuarakan pendapat. Retno berpegang pada Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Kata dia, anak memiliki hak partisipasi dan harus didengar suaranya saat mengkritik kebijakan publik.
Namun, Retno sangat melarang pelibatan anak-anak dalam politik untuk kepentingan kelompok tertentu. Apalagi, bila yang dilibatkan masih menempuh jenjang pendidikan SMP dan SD.
Pernyataan Retno ini menyinggung Aksi Mujahid 212 Selamatkan NKRI pada Sabtu (28/9) di Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat. KPAI pun sebenarnya sudah menegur koordinator aksi, terkait pelibatan anak-anak di dalam aksi mereka. Akan tetapi, peringatan itu diabaikan.
“Ya bisa dugaan kuat eksploitasi anak," tutur Retno saat dihubungi, Minggu (29/9).
Menurutnya, penggunaan narasi jihad dalam mengajak anak mengikuti unjuk rasa kurang tepat dan perlu diluruskan. Sebab, anak perlu dilindungi dari segala bentuk potensi negatif, termasuk kerentanan menjadi korban saat unjuk rasa berlangsung.
“Pengawasan orang tua dan guru kuncinya. Buka ruang dialog agar membantu anak membuat keputusan yang tepat. Agar anak tahu risiko dan sadar bahaya,” ujar Retno.