Guru Besar IPDN Djohermansyah Djohan mengatakan bahwa keputusan KPU, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), dan DPR RI yang menetapkan pelaksanaan pilkada serentak pada 9 Desember 2020 menabrak tiga teori kontestasi politik.
Teori pertama adalah kontestasi di tengah bencana. Pasalnya, hingga sekarang Indonesia masih memerangi pandemik Covid-19 dan kurva persebaran virus belum menurun.
"Teori pertama (yang ditabrak) adalah tidak ada pilkada bila ada bencana," kata Djohan dalam sebuah diskusi daring, Sabtu (13/6).
Mantan Dirjen Otda Kemendagri ini merasa heran mengapa pelaksanaan pilkada di tengah pandemik terlalu dipaksakan. Terlebih, ahli epidemiologi tidak dilibatkan dalam menyepakati keputusan tersebut.
Teori kedua yang ditabrak adalah bahwa masyarakat harus merayakan pilkada sebagai pesta demokrasi di tengah situasi yang gembira, nyaman, dan aman. Sebaliknya, hari ini masyarakat masih kesulitan dalam menghadapi pandemik, termasuk memikirkan perekonomian sehari-hari dan sebagainya.
Adapun teori terakhir yaitu keberadaan penjabat (pj) kepala daerah. Djohan menilai jika pilkada ditunda hingga 2021 tidak akan ada soal dari sisi kepemimpinan. Pasalnya, dalam konsep pemerintahan daerah, terdapat mekanisme pengangkatan pj kepala daerah.
"Jadi, kalau habis masa jabatan, belum terpilih atau belum dilantik kepala daerah karena pilkada belum bisa kita laksanakan, tidak ada soal," tutur Djohan.
Lebih jauh, Djohan menyoroti soal kemampuan anggaran daerah. Banyak daerah yang disebut Djohan mengeluh tidak memiliki uang untuk pilkada lantaran program yang sudah mereka dapat dari skema NPHD (Naskah Perjanjian Hibah Daerah) sebagian sudah digunakan untuk memerangi Covid-19.
"Kota Solo sebagai contoh. Itu tidak ada uang untuk bayar listrik yang menjadi tanggung jawab kota. Lampu kota suka mati pada akhirnya," imbuhnya.