Tiga ahli hukum tata negara yang menjadi narasumber utama dalam film Dirty Vote, yakni Zainal Arifin Mochtar, Feri Amsari, dan Bivitri Susanti, dilaporkan ke Mabes Polri, Selasa (13/2). Pun demikian dengan sang sutradara film, Dandhy Laksono.
DPP Forum Komunikasi Santri Indonesia (Foksi) mengadukan film tersebut kepada kepolisian dengan dalih kecurangan Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 yang dibahas merugikan salah satu pasangan calon (paslon). Jika disimak, Dirty Vote menyinggung seluruh kontestan pemilihan presiden (pilpres), yakni Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar (Amin), Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, dan Ganjar Pranowo-Mahfud MD.
Menurut Ketua Umum Foksi, M. Natsir Sahib, keempatnya dinilai melakukan pelanggaran pemilu. Apalagi, Dirty Vote ditayangkan pada masa tenang.
"Kita sudah melaporkan, namun berkas masih kurang. Hari ini, kita akan lengkapi sekaligus mem-follow up laporan kita ke Gakumdu," katanya saat dikonfirmasi, Selasa (13/2).
Natsir melanjutkan, Foksi, yang merupakan pendukung Partai Solidaritas Indonesia (PSI), akan melaporkan ketiga akademisi dengan Pasal 287 ayat (5) Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Sebab, dianggap memenuhi unsur niat permufakatan jahat dengan membuat isu yang tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Apalagi, sambungnya, Uceng, sapaan Zainal Mochtar, dan kedua ahli hukum tata negara lainnya merupakan anggota tim reformasi hukum Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenko Polhukam), yang dibentuk di bawah kepemimpinan Mahfud MD. Berdasarkan pengakuan Mahfud MD kala itu, pembentukan tim reformasi hukum sesuai perintah Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Dengan begitu, bagi Natsir, pesan yang disampaikan ketiganya sarat politik selain efek yang ditimbulkan. "[Film Dirty Vote] ini daya rusaknya luar biasa di tengah masyarakat," klaimnya.
Dirty Vote memuat data
Terpisah, Direktur Eksekutif Kajian Politik Nasional (KPN), Adib Miftahul, berpandangan, tidak ada yang salah dari film Dirty Vote. Pun demikian dengan unsur kampanye hitam atau negatif lantaran narasi yang dimunculkan dalam film hanya mengungkap data dan bersifat edukatif.
Adib juga berpendapat tidak ada unsur penyerangan secara khusus terhadap salah satu paslon. Dirty Vote justru mengkritik pemerintahan Jokowi secara umum dan kritis terhadap semua kontestan pilpres.
"Dirty Vote bukan kampanye negatif ataupun black campaign," jelasnya kepada Alinea.id.
Adib menilai, kekeliruannya hanya waktu peluncuran pada masa tenang kampanye. Imbasnya, Dirty Vote bisa disebut sebagai film yang diatur sedemikian rupa (setting).
Menurutnya, Dirty Vote mestinya tayang saat masa kampanye atau ketika para akademisi dari berbagai kampus menyesalkan menurunnya kualitas demokrasi di bawah rezim Jokowi.
Salah alamat
Sementara itu, ahli hukum pidana Universitas Nasional (Unas), Ismail Rumadan, menilai, langkah Foksi melaporkan akademisi dan sutradara Dirty Vote kepada kepolisian patut dihargai. Pangkalnya, setiap warga negara memiliki kedudukan yang sama di mata hukum.
"Namun, apakah laporan tersebut serta merta dapat diterima dan kemudian diproses oleh pihak kepolisian? Jawabannya belum tentu juga. Sebab, polisi sudah pasti melakukan kajian dan telaah atas setiap laporan yang masuk, apakah tepat dan sesuai dengan delik yang diadukan," ujarnya kepada Alinea.id.
Ia berpandangan, dugaan pelanggaran Pasal 287 ayat (5) UU Pemilu yang dituduhkan Foksi kepada Uceng cs tidak tepat dan salah alamat. Alasannya, ketentuan tersebut berisi larangan terhadap media massa yang menyiarkan berita, iklan, hingga rekam jejak peserta pemilu yang berkaitan dengan kepentingan kampanye.
"Ketiga akademisi [dan] sutradara dalam membuat film Dirty Vote tersebut tidak bertujuan untuk kampanye pasangan calon tertentu dalam kontestasi Pemilu 2024 ini. Namun, ketiganya memiliki tanggun jawab moral akademik untuk menyuguhkan informasi yang objektif sebagai bagian dari pembelajaran demokrasi, politik, dan hukum untuk kepentingan bangsa dan negara," tutur Ketua Umum Pemuda Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) itu.