Deputi Bidang Jasa Ilmiah Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) 2006-2011 Jan Sopaheluwakan menyebut, saat ini lanskap ilmu pengetahuan dan teknologi atau iptek di Indonesia semakin tidak jelas.
Ironisnya, proyek iptek pasca reformasi diputuskan politisi, bukan masyarakat. Dampaknya, terjadi ketidaksinkronan dalam arah kebijakan iptek. Bahkan ada potensi tumpang tindih kewenangan antara Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) yang level kementerian dengan Badan Riset dan Inovasi Nasional atau BRIN yang hanyalah sebuah badan.
"Sekarang ada dualisme antara Kemendikbudristek dengan BRIN," ucap Jan Sopaheluwakan dalam Forum Alinea.id bertajuk ‘Dampak Peleburan LPNK IPTEK dan Litbang K/L ke BRIN’, Kamis (19/8).
Menurut dia, telah terjadi pergeseran persepsi tentang iptek, dari menjadi bagian dari kedaulatan dan ketahanan nasional di era kepresidenan Sukarno menjadi hanya sekadar bersifat transaksional (suatu hal yang diperdagangkan) pasca reformasi 1998.
Akibatnya, kata Sopaheluwakan, merusak hubungan antara iptek, ekonomi, dan masyarakat. Menurut Sopaheluwakan, dualisme tersebut berdampak pada proses pengambilan kebijakan ilmu pengetahuan, teknologi, riset, dan inovasi.
Padahal, antara ilmu pengetahuan, teknologi, riset, dan inovasi saling berkait tetapi berbeda satu sama lain. Ia kemudian me-review kasus-kasus yang pernah terjadi di LIPI, yang bisa merefleksikan gaya kepemimpinan kepala BRIN sekarang: Laksana Tri Handoko. "Yang terjadi sekarang adalah upscaling dari katakanlah success story yang diklaim secara sepihak," tuturnya.
Berkaca dari pengalaman LIPI di bawah Laksana Tri Handoko, kata dia, banyak kasus tidak terselesaikan hingga saat ini. Peleburan ke BRIN hanya memperparah wajah buram LIPI yang sampai saat ini sebagian besar pejabatnya masih Plt (pelaksana tugas).
"Bukan berarti tidak tersedia pejabat yang memenuhi syarat, tetapi ini masalah-masalah subjektif yang tidak berdasar pada meritokrasi (sistem yang memberi kesempatan seseorang untuk memimpin bukan berdasarkan senioritas atau kekayaan, tetapi kemampuan atau prestasi)," ujar Sopaheluwakan.
Maka, kata dia, tidak mengherankan saat ini pemikiran pragmatis dan tidak bervisi di LIPI cukup ramai diperbincangkan. Ia mengaku mengoleksi puluhan berita media meanstrem dari tajuk rencana Kompas hingga liputan khusus Tempo terkait kasus gonjang-ganjing di LIPI.
Padahal, koleksi tersebut tentu berguna untuk penelitian dan pengembangan ke depannya. "Kalau ngomong ini gunanya untuk apa dan sebagainya, barangkali itu bukan pertanyaannya yang tepat, apalagi ditanyakan politikus pada ilmuwan, sehingga jawabannya mungkin bisa saja mengada-ngada," ucapnya.