Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi mengadukan upaya pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi, ke organisasi internasional United Nations atau Perserikatan Bangsa-Bangsa. Aduan tersebut disampaikan dalam surat melalui perwakilan United Nations Office in Drugs and Crime (UNODC) di Indonesia.
Wakil Koalisi dari Transparency International Indonesia, Wayan Suyatmiko mengatakan, revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 merupakan bentuk pelemahan terhadap KPK. Pengaduan kepada PBB, dilakukan agar upaya pelemahan ini menjadi perhatian dunia.
"Tentunya yang kami harapkan statement support untuk KPK dapat menjadi global, lebih universal. Kami ingin dunia internasional tahu bahwa saat ini terjadi pelemahan gerakan antikorupsi di Indonesia," kata Wawan ditemui di depan Kantor Perwakilan PBB di Indonesia, Jakarta Pusat, Kamis (19/9).
Menurutnya, PBB mempunyai tugas untuk menyuarakan penguatan KPK kepada dunia. Alasannya, pemerintah dan DPR RI dianggap tidak memenuhi hasil Konvensi PBB Antikorupsi tahun 2003, yang telah diratifikasi Indonesia pada 2007.
Wawan mengaku pihaknya telah diterima perwakilan PBB. Namun ia tak dapat memastikan tindak lanjut PBB terhadap surat yang disampaikan Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi.
"Kita mintanya (statement dikeluarkan) secepat mungkin, tetapi kita enggak tahu dengan mekanisme di dalam. UN akan menganalisis dulu Undang-Undang (KPK) yang sudah disahkan, kemudian akan menyampaikan ke kantor pusat mereka di Viena, dan selanjutnya hasil analisisnya baru bisa keluarkan statement," kata dia menerangkan.
Terkait rencana pengajuan judicial review UU KPK ke Mahkamah Konstitusi, Wawan mengatakan Koalisi belum dapat memastikannya. Hal ini lantaran belum ada draf resmi UU yang disahkan DPR RI pada Selasa (17/9).
Koalisi akan terlebih dahulu mempelajari persoalan yang ada dalam UU KPK yang baru. Jika judicial review diperlukan, langkah tersebut akan dilakukan.
"Sampai detik ini pun kita belum menerima. Nomornya berapa juga belum keluar, tanda tangan Presiden juga masih 30 hari, draf yang sudah disahkan kita juga enggak tahu mana saja yang sudah diubah dan tidak," tutup Wawan.
Untuk diketahui, DPR RI bersama pemerintah telah mengesahkan RUU KPK yang sempat menimbulkan penolakan di masyarakat, karena dinilai mencantumkan sejumlah pasal bermasalah. Proses revisi berjalan singkat, karena hanya memakan waktu 12 hari bagi DPR untuk mengesahkannya, setelah usulan revisi disampaikan dalam rapat paripurna pada 6 September 2019.
Banyak pihak menilai UU KPK yang baru dapat melemahkan kinerja KPK. Alasannya, dalam draf revisi tercantum sejumlah aturan bermasalah yang berpotensi mengancam independesi KPK. Aturan yang dimaksud, di antaranya ihwal pembentukan dewan pengawas KPK yang berpotensi tumpang tindih dengan jabatan fungsional lain, penyadapan dipersulit dan dibatasi, serta kewenangan SP3 untuk perkara yang tak rampung dibawa ke penuntutan dalam jangka waktu satu tahun.