Peliknya hidup saat pandemi dan haruskah bergantung pada bansos?
Sudah tujuh jam lebih, mata Asep Munandar memandang pelampung pancing yang mengapung di Situ Gintung—sebuah danau kecil buatan yang ada di Ciputat Timur, Tangerang Selatan. Sesekali, tangannya mengangkat joran yang berada di hadapannya.
Ia belum mau beranjak dari sehelai kain yang menjadi alas duduknya, meski matahari tepat berada di atas ubun-ubun kepala.
“Dari pagi baru dapat dua mujair,” tutur pria asal Garut, Jawa Barat itu saat berbincang dengan Alinea.id, Rabu (11/8).
“Lumayan, buat lauk.”
Ia mengatakan, pulang ke rumah harus membawa ikan untuk disantap keluarganya. Walau menunggu lama, ia bersyukur hari itu dapat dua ikan. Terkadang, menghabiskan waktu berjam-jam memancing, ia pulang dengan tangan hampa.
Kerja demi keluarga dan ragam bantuan
Belakangan, Asep rutin memancing di Situ Gintung. Selain karena hobi, kondisi keuangannya yang cekak akibat pandemi Covid-19, menjadi alasan pria berusia 43 tahun itu memancing ikan.
Sejak awal pandemi tahun lalu, kantor ayah dua anak itu mengeluarkan kebijakan mengurangi jam kerja bagi pegawainya. Dengan begitu, gaji Asep yang bekerja sebagai asisten fotografer di sebuah perusahaan agensi periklanan pun ikut terpangkas.
“Kerjaannya juga sepi. Sejak PPKM (pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat) enggak ada job foto,” tutur Asep.
Nasib Asep mungkin lebih beruntung ketimbang Yuli Andini—nama samaran. Ia harus menerima kenyataan, dipecat dari kantornya yang bergerak di bidang ritel di bilangan Tangerang Selatan, pada awal April 2020.
Demi bertahan hidup, perempuan berusia 28 tahun itu terpaksa terperosok ke lorong hitam, menjadi pekerja seks komersial.
“Gue udah cerai. Jadi, gue tulang punggung keluarga, nanggung beban anak sama orang tua. Kebutuhan banyak, jadi terpaksa begini,” kata Yuli saat ditemui, Kamis (12/8).
Dari dalam lubuk hatinya, sesungguhnya Yuli ingin berhenti dari pekerjaan yang ia jalani. Namun, ia pesimis mendapat kerja lain di tengah kebijakan PPKM dan situasi pandemi. Walau rentan tertular virus, tetapi Yuli tak punya pilihan lain demi bertahan hidup, serta menafkahi anak dan orang tuanya.
Baik Asep maupun Yuli mengaku belum pernah mendapatkan bantuan sosial (bansos) dari pemerintah selama pandemi. Menurut Asep, mengurus administrasi sebagai syarat penerima bansos terlalu rumit. Maka, ia pun tak pernah mengurusnya hingga kini.
Sedangkan Yuli mengatakan, tak ada satupun perangkat lingkungan yang bertandang ke kediamannya untuk mendata sebagai penerima bansos.
“Mungkin karena gue baru pindah juga ya. Data seperti KTP juga belum sempat diurus,” ucap Yuli.
Merespons hal ini, Kepala Dinas Sosial Kota Tangerang Selatan Wahyunoto Lukman mengatakan, pihaknya tengah fokus menyalurkan bansos untuk memenuhi kebutuhan dasar keluarga tak mampu.
Bantuan juga diberikan pemerintah pusat melalui Kementerian Sosial (Kemensos), berupa program keluarga harapan (PKH), bantuan pangan non-tunai (BPNT), hingga bantuan sosial tunai (BST).
Berdasarkan data yang dihimpun Dinas Sosial Kota Tangerang Selatan per 3 Agustus 2021, bansos PKH telah tersalurkan ke 9.830 dari sasaran 9.843 keluarga. Realisasinya sudah mencapai 99,87%.
Sementara BPNT telah tersalurkan 15.187 dari target 16.714 keluarga, atau mencapai 90,86%. Sedangkan BST tersalurkan 81.789 dari sasaran 84.142 keluarga, atau mencapai 97,20%.
“Pemerintah Kota Tangerang Selatan juga menyediakan dan menyalurkan bansos santunan kematian,” kata Wahyunoto saat dihubungi, Kamis (12/8).
“Selain bansos, tentunya banyak program jaring pengaman sosial dari sektor, kementerian, atau dinas terkait lainnya.”
Wahyunoto berharap warga aktif mendaftarkan diri untuk bisa menerima segala macam bantuan dari pemerintah.
Solusi selain bansos
Berdasarkan hasil survei Voxpopuli Research Center pada 26 Mei hingga 1 Juni 2020 yang melibatkan 1.200 responden, setidaknya 67,4% warga lebih takut tidak bekerja atau tak mendapat penghasilan ketimbang tertular virus.
Menyinggung hal itu, koordinator Jaringan Rakyat Miskin Kota (JRMK) Eny Rochyati berharap, pemerintah gencar menyalurkan dan menambah program bansos, terkait adanya warga yang berbuat apa saja demi bertahan hidup di masa pandemi.
Di sisi lain, ia mengatakan, program seperti BST senilai Rp300.000 tak mencukupi kebutuhan sehari-hari warga. Uang senilai itu, menurut perhitungan Eny, warga hanya mendapat jatah Rp2.500 per hari untuk satu keluarga yang terdiri dari empat orang.
“Sedangkan saat ini kondisi warga kita betul-betul tidak bekerja. Banyak banget yang kena dampak pandemi,” ujarnya saat dihubungi, Kamis (12/8).
“Harusnya pemerintah lebih peka dalam memberikan bantuan.”
Jika tak bisa memberikan bantuan yang cukup, kata Eny, pemerintah perlu meninjau kebijakan pembatasan sosial. Pasalnya, dengan kebijakan PPKM saat ini, ia merasa, warga kesulitan mencari nafkah. Terutama para pedagang kecil.
“Pemerintah boleh membuat aturan, tetapi harus dibarengi dengan solusi, yaitu pemenuhan hak, terutama hak pangan,” katanya.
“Kalau enggak, ya kayak gini keadaannya. Orang nekat. Urusan perut, enggak bisa ditawar.”
Lebih lanjut, Eny meminta pemerintah untuk membuat kebijakan yang dapat bermanfaat bagi publik dan berlandaskan rasa keadilan.
Sementara itu, Guru Besar Ilmu Sosiologi Universitas Gadjah Mada (UGM) Sunyoto Usman menyarankan pemerintah agar bisa mencari alternatif bantuan, selain kebutuhan pokok untuk warga bertahan hidup saat pagebluk. Ia merasa, bansos dari pemerintah hanya bersifat sementara.
“Dana stok untuk bansos kan terbatas. Enggak bisa itu diandalkan,” tutur Usman ketika dihubungi, Kamis (12/8).
Ia mengatakan, bantuan itu dapat dilakukan pemerintah dengan mendorong dan memperluas lapangan pekerjaan, yang tidak memerlukan keahlian khusus. Misalnya, petugas pemeliharaan gedung.
“Nah itu bisa jadi alternatif lapangan pekerjaan yang non-skill,” tuturnya.
Selain itu, Usman menilai, warga perlu mengubah cara pandang dalam melihat peluang kerja di sektor informal di perkotaan. Sebab, ruang gerak kerja di perkotaan saat pandemi terbilang sulit lantaran ketatnya kebijakan PPKM.
“Itu yang saya sebut perlu menghidupkan sektor penyangga. Kalau di Yogyakarta yang saya lihat, pertanian dan perikanan masih jalan,” ucapnya.
“Nah, sekarang bagaimana itu didorong agar masyarakat bekerja di sektor informal nonperkotaan.”