Peliknya vaksinasi Covid-19 di Papua: Sentimen politik hingga merebaknya hoaks
Sudah beragam cara dilakukan Ketua Tim Vaksinasi Puskesmas Ninati, Kabupaten Boven Digoel, Papua, Yulius Sondok meyakinkan warga di wilayah tugasnya agar mau ikut vaksinasi Covid-19. Ia rajin keluar-masuk kampung di Ninati, melakukan pendekatan.
Usaha lainnya, Yulius berupaya merangkul tokoh masyarakat dan pemuka agama yang ada di Ninati dan Boven Digoel untuk membantunya meluluhkan hati warga agar mau divaksin.
“Tapi tetap masih banyak orang yang enggak mau divaksin,” kata Yulius kepada Alinea.id, Senin (27/9). “Padahal kami sudah jemput bola.”
Sejauh ini, menurut Yulius, 99% warga asli Ninati menolak divaksin, dari total kurang lebih 1.000 jiwa. “Bahkan, ada kampung yang tidak ada satu pun penduduknya (mau) divaksin, yaitu Kampung Kawaktembut, Yetetkun, dan Timka,” ujarnya.
Yulis mengatakan, hingga kini hanya bisa melakukan vaksinasi terhadap warga pendatang yang ada di Ninati, seperti pekerja dari luar Papua dan tenaga kesehatan. Imbasnya, banyak stok vaksin yang tertahan di Puskesmas Ninati.
“Jumlah yang sudah kami vaksin sekitar 160-an orang,” ucap Yulius.
Hoaks dan sentimen politik
Capaian vaksinasi Covid-19 di Provinsi Papua dan Papua Barat memang masih terbilang rendah. Di Papua, sasaran vaksinasi Covid-19 sebanyak 2.583.771 orang. Akan tetapi per 1 Oktober 2021, merujuk data Kementerian Kesehatan (Kemenkes), penerima dosis pertama baru 587.588 (22,74%). Sedangkan penerima dosis kedua hanya 382.666 (14, 81%).
Sementara di Papua Barat, dengan sasaran 797.402 orang, penerima dosis pertama baru 245.200 (30,94%) dan penerima dosis kedua hanya 151.920 (19,17%). Melihat data ini, penyelenggaraan Pekan Olahraga Nasional (PON) yang dihelat pada 2 hingga 15 Oktober 2021 di Bumi Cenderawasih pun menjadi kekhawatiran tersendiri beberapa pihak akan timbul klaster Covid-19.
Persoalan pandemi di Papua, diakui Yulius, sangat pelik. Selain harus menempuh medan yang berat dan fasilitas kesehatan yang kurang memadai, petugas kesehatan pun berhadapan dengan masyarakat yang antipati terhadap program pemerintah. Termasuk program vaksinasi Covid-19.
Yulius menjelaskan, penolakan masyarakat terhadap vaksinasi, khususnya di daerah Boven Digoel, karena warga percaya bahwa vaksin sengaja dilancarkan untuk membuhuh orang Papua. Prasangka itu timbul lantaran adanya sentimen politik yang menguat belakangan, seiring konflik bersenjata antara TNI dengan kelompok kriminal bersenjata (KKB) di Papua.
“Semenjak ada isu Papua merdeka, maka pemerintah (Indonesia dianggap) berusaha menghabisi masyarakat Papua. Itu kata mereka,” kata Yulius.
Kabar bohong alias hoaks pun memengaruhi warga di Bovel Digoel enggan disuntik vaksin Covid-19. “(Mereka percaya) bahwa setelah lima tahun disuntik, mereka akan meninggal,” ujar Yulius.
Yulius mengaku tak tahu dari mana sumber hoaks itu. Namun, ia merasa, hoaks tersebut erat kaitannya dengan KKB yang antipemerintah.
Aris, tenaga kesehatan yang bertugas di Distrik Firiwage, Boven Digoel bahkan mengaku sering menerima caci maki warga ketika hendak melakukan vaksinasi, meski sudah melakukan sosialisasi terlebih dahulu. Ironisnya, Aris menyebut, tenaga kesehatan yang berasal dari Papua juga menunjukkan sikap antivaksin karena alasan serupa dengan warga.
“Mereka (tenaga kesehatan) masih tidak menerima vaksin Covid-19,” ujar Aris dihubungi pada Senin (27/9).
Kepala Dinas Kesehatan Mimika, Papua, Reynold Ubra juga mengatakan, sikap masyarakat di Mimika tak jauh berbeda dengan kebanyakan warga di daerah Papua lainnya, yang masih tak percaya vaksin Covid-19.
“Tantangannya sama dengan daerah lain, yaitu kepercayaan masyarakat terhadap khasiat dan efek samping vaksin,” ujar Reynold, Senin (27/9).
Di samping menyebarnya hoaks, Reynold menuturkan, situasi keamanan di papua yang memanas turut menjadi biang keladi sulitnya vaksinasi di Mimika. “Terutama di wilayah pegunungan, membuat tenaga kesehatan, termasuk kami di Dinkes Mimika, sangat mempertimbangkan penempatan petugas,” ucap Reynold.
Menurut aktivis asal Papua yang kini menjadi juru bicara Partai Rakyat Adil Makmur (PRIMA) Arkilaus Baho, penolakan vaksin Covid-19 di Papua dilatarbelakangi sikap curiga warga terhadap pemerintah.
“Banyak yang menganggap, segala program dari kolonialisme itu untuk membunuh orang Papua,” ujar Arkilaus saat dihubungi, Rabu (29/9).
Sikap antivaksin, ujar Arkilaus, juga tak bisa dilepaskan dari praktik program vaksinasi yang terlalu melibatkan aparat keamanan, ketimbang sipil. Pendekatan militeristik yang diterapkan sejak lama di Papua, menurut Arkilaus, telah melahirkan persepsi buruk aparat di mata orang Papua.
“Kalau lihat praktiknya, program vaksin itu kan dilaksanakan kodam atau polda. Nah, itu mencurigakan sebenarnya. Rata-rata orang Papua antipati terhadap militer,” tuturnya.
Di sisi lain, para pejabat di Papua tak berani memaksakan orang Papua untuk divaksin. "Orang Papua selalu bilang, kalau saya habis vaksin lalu meninggal, kamu bisa bayar nyawa kami? Jadi, enggak berani pemerintah sipil," ucap Arkilaus.
Isu terkait rasialisme dan konflik keamanan yang berkecamuk di Papua, ikut pula mempersulit program vaksinasi. Tak sedikit orang Papua yang mengaitkan vaksinasi dengna konflik yang tengah berlangsung.
“Persoalan saling curiga adalah problem umum yang tidak pernah diselesaikan. Dampaknya, sulit memvaksinasi populasi di Papua,” kata dia.
“Orang Papua curiga dengan pemerintah Jakarta. Pemerintah Jakarta curiga sama orang Papua sebagai separatis.”
Butuh pendekatan
Arkilaus menyarankan agar pemerintah jangan menggunakan militer dalam melaksanakan program vaksinasi di Papua. Menurutnya, hal itu malah akan menambah rasa saling curiga.
“Selain itu, sosialisasi harus gencar karena orang Papua belum begitu banyak melek teknologi,” kata Arkilaus.
Lebih lanjut, Arkilaus mengingatkan pemerintah untuk serius melakukan integrasi sosial terhadap masyarakat Papua. Sebab, belakangan banyak orang Papua yang merasa bukan bagian dari NKRI dalam konteks keadilan sosial.
"Orang Papua itu dalam hati kecilnya merasa bukan bagian dari NKRI. Jadi merembet ke masalah vaksinasi," katanya.
Sementara itu, juru bicara vaksinasi Covid-19 sekaligus Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung Kemenkes, Siti Nadia Tarmizi mengaku sudah memahami penolakan vaksin yang terjadi di Papua. Saat ini, Kemenkes berupaya mendekati tokoh adat dan pemuka agama di Papua untuk membujuk masyarakat Papua agar mau divaksin.
“Jadi, orang asli (Papua) yang melakukan pendekatan,” kata Nadia saat dihubungi, Rabu (29/9).
Salah satu usaha yang dilakukan Kemenkes dan pemerintah daerah di Papua, dengan cara melakukan vaksinasi bersamaan pembagian bantuan sosial. “Tapi itu lebih ke inovasi pemda untuk pemberian bansos, bersamaan dengan vaksinasi,” ucap dia.
Kemenkes pun berupaya memperluas kerja sama dengan organisasi kemasyarakatan dan organisasi keagamaan yang ada di Papua untuk mengikis antipati warga terhadap vaksin.
Dihubungi terpisah, pakar ilmu kesehatan dari Pusat Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Hermawan Saputra melihat, situasi keamanan ikut memperburuk kepercayaan masyarakat terhadap penanganan pandemi.
"Situasi ini pada akhirnya dimanfaatkan berbagai pihak. Apalagi diarahkan ke sentimen politik,” kata Hermawan, Rabu (29/9).
“Boleh jadi, banyak orang yang akhirnya termakan berita hoaks karena akses informasi yang terbatas dari sumber-sumber resmi pemerintah.”
Dengan kondisi seperti ini, Hermawan mengingatkan pemerintah agar hati-hati menyikapinya. Ia menilai, saat ini di Papua terdapat kelompok yang berupaya menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.
“Ada orang-orang yang memang sengaja memanfaatkan isu vaksinasi ini sebagai sebuah propaganda,” ucap dia.
“Akhirnya timbul hoaks-hoaks yang berkaitan dengan isu sengaja membunuh dan lain-lain.”
Senada dengan Arkilaus, Hermawan juga menyarankan pemerintah tak terlalu melibatkan personel TNI dan Polri dalam melakukan vaksinasi di Papua. Pelibatan aparat keamanan, kata dia, justru akan menambah sensitivitas warga Papua terhadap pemerintah.
"Maka, ketimbang menggunakan institusi formal lebih baik betul-betul mengaktifkan dan mendorong pelibatan tokoh-tokoh adat, agama, dan kepemudaan yang memang dihormati di daerah tertentu," kata Hermawan.
Merangkul sebanyak-banyaknya tokoh lokal yang berpengaruh di Papua, disebut Hermawan, bisa meyakinkan warga agar mau divaksin. Ia mengatakan, tokoh lokal jauh lebih didengar masyarakat ketimbang institusi formal.
“Harus dilihat betul, siapa di daerah situ yang sekiranya bisa didengar,” ucap Hermawan.