Pemakzulan Jokowi dinilai sulit, adakah langkah alternatifnya?
Ratusan tokoh masyarakat yang tergabung dalam Petisi 100 Penegak Daulat Rakyat mendorong pemakzulan (impeachment) terhadap Presiden Joko Widodo (Jokowi). Setidaknya ada 10 alasan mereka mendorong demikian, di antaranya melakukan nepotisme dalam Mahkamah Konstitusi (MK) dan mengintervensi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Menurut Petisi 100, Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 juga berpotensi diwarnai kecurangan. Sekitar 22 perwakilan Petisi 100 pun sempat menemui Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud MD, untuk menyampaikan aspirasinya.
"Mereka menyampaikan, ... pemilu ini berjalan curang. Oleh sebab itu, nampaknya sudah berjalan kecurangan-kecurangan. Sehingga, mereka minta ke Menko Polhukam untuk melakukan tindakan," kata Mahfud tentang "isi kepala" Petisi 100 saat bertemu dengannya.
Sementara itu, Koordinator Staf Khusus Presiden, Ari Dwipayana, menyatakan, Istana tidak mempersoalkan seruan itu. Dalihnya, membebaskan masyarakat untuk menyampaikan kritik hingga mimpi politiknya.
"Dalam negara demokrasi, menyampaikan pendapat, kritik, atau bahkan punya mimpi-mimpi politik adalah sah-sah saja," kilahnya.
Kendati begitu, ia sesumbar bahwa narasi pemakzulan presiden kerap dimanfaatkan sejumlah pihak pada tahun politik. Namun, ada aturan tentangnya di dalam konstitusi.
"Harus melibatkan lembaga-lembaga negara dengan syarat-syarat yang ketat. Di luar itu adalah tindakan inkonstitusional," tegasnya.
Langkah darurat pemakzulan presiden
Pengamat hukum Universitas Nasional (Unas) Jakarta, Ismail Rumadan, menyampaikan, mekanisme pemakzulan tertuang dalam UUD 1945. Pada intinya, perlu pelibatan lembaga-lembaga negara: DPR, MK, dan MPR.
Mulanya, DPR menggunakan hak angket untuk menyelidiki kabijakan yang diduga melanggar konstitusi dan melampui batas kewenangan seperti isi Pasal 7A UUD 1945: mengkhianati negara; melakukan korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; hingga tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan/atau wakil presiden. Lalu, mengajukan hak menyatakan pendapat (HMP) agar bisa membawa kepala pemerintahan ke MK.
MK selanjutnya mengadili dan memutuskan dugaan pelanggaran presiden tersebut. Jika putusannya terjadi pelanggaran konstitusi, maka MPR mengadakan sidang paripurna dengan agenda pemakzulan.
"Namun, upaya ini tidak mendapat tanggapan dari wakil rakyat (DPR, red) utuk menguji secara faktual melalui penggunaan hak angket yang melekat pada DPR, apakah dugaan [yang dituduhkan kepada Jokowi oleh Petisi 100] tersebut terbukti atau tidak," jelasnya kepada Alinea.id. "DPR malah mendiamkan dengan membiarkan dugaan pelanggaran presiden menjadi kontroversi di tengah masyarakat."
Ia berpandangan, kondisi tersebut seperti sebuah bus yang mengalami rem blong saat kendaran melaju cepat di jalan tol. Maka, sopir semestinya mengarahkan kendaraan ke jalur darurat demi keselamatan para penumpang.
"Tidak mungkin sang sopir tetap mengarahkan arah bus pada jalan normal. Akibatnya, bisa terjadi tabrakan beruntun yang membahayakan banyak orang dan memakan banyak korban," ucap Ketua Umum Pemuda Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) ini.
"Analogi sederhana di atas menegaskan sebuah pemahaman bahwa isu pemakzulan presiden saat ini tidak bisa dipahami dalam pemahaman yang formalistik. Sebab, ada kondisi di mana mekanisme konstitusi yang tersedia secara formal tidak memungkinkan untuk diterapkan secara normal lantaran terlalu berbelit dan sangat rumit. Di saat yang sama, instrumen dan kelembagaan negara yang tersedia secara formal tidak berfungsi lantaran tersandera dengan berbagai kepentingan politik pragmatis. Sementara, laju kerusakan negara akibat berbagai dugaan pelanggaran Presiden Jokowi semakin parah sehingga perlu mengambil langkah darurat untuk menghentikan gerak laju sang presiden agar daya rusak negara yang ditimbulkan tidak menjadi besar," imbuhnya.
Karenanya, Ismail mendorong adanya langkah darurat di luar jalur formal untuk memproses dorongan pemakzulan lantaran instrumen negara yang berwenang tidak berfungsi sebagaimana mestinya. "Langkah-langkah darurat seperti konsolidasi berbagai elemen masyarakat, sebagaimana langkah yang dilakukan oleh Petisi 100 dan Poros Transisi Indonesia berdialog dengan Kementerian Polhukam, dan rencana akan melakukan dialog dengan Wakil Presiden yang membuka ruang diskusi dengan kelompok tersebut serta elemen dan komponen bangsa yang lain yang memiliki kesamaan persepsi dan pandangan."
Ia mengingatkan, Indonesia memiliki cukup pengalaman dalam proses pemakzulan dengan mengunakan langkah-lngkah darurat. Dicontohkan dengan era Orde Lama, di mana Presiden Sukarno diturunkan paksa setelah menjabat presiden selama 20 tahun.
"Pemakzulan ini tidak sesuai dengan UUD 1945 meskipun MPR yang menurunkannya secara resmi. Kondisi ini terjadi karena secara de facto, Soeharto memegang kekuasaan negara. Sehingga, pemakzulan terhadap presiden pertama ini dilakukan dengan cara 'kudeta secara halus'. Selanjutnya, Presiden Soeharto yang dimakzulkan dengan paksaan setelah secara de facto rakyat sudah tidak lagi mendukungnya. Demikian halnya juga dengan proses pemakzulan Presiden Abdurrahman Wahid," ulasnya.
Ismail menegaskan, secara substansial, rakyatlah yang memiliki daulat atas negara ini. Dengan demikian, sistem yang tersedia hanyalah alat untuk mewujudkan daulat rakyat tersebut. Saat sistem sebagai alat tidak lagi berfungsi, maka sang pemilik daulat harus berteriak dengan suara lantang agar kedaulatan rakyat tidak dikhianati dan segera dikembalikan kepada pemilik daulat sesungguhnya," urainya.
Silang pendapat antarpakar
Di sisi lain, sejumlah pakar hukum pidana memiliki pandangan beragam atas dorongan pemakzulan tersebut. Ada yang menganggap sah-sah saja mengusulkan Jokowi didongkelkan dari tampuk kekuasaan, sedangkan lainnya menyebut sebagai tindakan inkonstitusional lantaran bertentangan dengan Pasal 7B UUD 1945 bahkan gerakan itu dianggap perbuatan makar.
Ismail menyayangkan adanya silang pendapat di antara para pakar tersebut. Baginya, ini menunjukkan terjadinya "pemurtadan konstitusi".
"Konstitusi telah dipaksa keluar dari tujuannya hanya karena mengikuti tafsir yang kabur dan kurang tepat dalam memahami konteks aspirasi warga negara yang menyuarakan pemakzulan presiden lantaran hati dan logika telah terhalang oleh gelapnya tabir materialisme. Sehingga, tidak objektif dalam melakukan penilaian terhadap isu pemakzulan presiden," tuturnya.
Bagi Ismail, pemikiran para pakar hukum yang mendeskreditkan aspirasi publik tentang pemakzulan Jokowi layaknya mesin fotokopi. Ia hanya bertugas mengopi teks bacaan dokumen yang dikopi. Semestinya, lanjutnya harus dibaca lebih dalam tentang alasan para tokoh masyarakat tersebut mendorong pemakzulkan Jokowi.