Sejumlah organisasi mahasiswa memandang Rancangan Undang-undang (RUU) Omnibus Law terkait kesehatan belum memenuhi asas keterbukaan atau transparansi. Sementara, RUU ini bisa berdampak besar bagi masyarakat luas.
Salsabilla Syafa dari Aliansi Organisasi Mahasiswa Kesehatan Indonesia (AOMKI) mengatakan, kendati banyak risalah RUU yang beredar luas di masyarakat, sayangnya belum dapat dipastikan draf tersebut benar atau tidak. Maka dari itu, penundaan terhadap RUU ini perlu dilakukan untuk dapat dipelajari lebih dahulu sebelum disahkan.
“Sampai saat ini drafnya pun sulit diakses publik secara luas,” kata mahasiswi kedokteran gigi ini dalam siaran daring, Konferensi Pers Bersama: Penolakan RUU Omnibus Law Kesehatan, Rabu (5/7).
Baginya, kesehatan ada hak asasi manusia maka dari itu keterbukaan dalam pembahasan RUU ini perlu diketahui masyarakat luas tanpa ditutupi. Ia pun menemukan partisipasi masyarakat hanya sebatas sosialisasi dan formalitas.
“Masyarakat perlu mendapatkan penjelasan,” ujarnya.
Selain itu, Presiden Ikatan Senat Mahasiswa Kedokteran Indonesia (ISMKI) Febrian Rizky Arilya mengatakan, dirinya pun belum membaca risalah asli dari RUU tersebut. Tentunya, ia ingin mengetahui keberadaan aspirasinya dalam RUU tersebut diterima atau tidak.
“Jadi kita belum melihat suara kita itu sudah masuk apa belum,” ujarnya dalam kesempatan serupa.Baginya, mandatory spending untuk kesehatan baru dilakukan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam tiga tahun terakhir. Hal itu pun dianggap terpaksa karena tengah berada dalam wabah Covid-19.
Padahal Jokowi, telah memimpin selama 10 tahun hingga nanti berakhir pada 2024. Hal ini dianggap sangat disayangkan.
“Dari 10 tahun pemerintahan Pak Joko Widodo baru tiga tahun ada mandatory spending,” ucapnya.