Pemerintah diminta membentuk kembali badan-badan riset yang telah dibubarkan dan dilebur ke dalam Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Jika tidak segera ada pembenahan serius, berbagai program riset strategis nasional beserta aset-asetnya akan mandek, tak terurus, dan terbengkalai.
Anggota Komisi VII DPR, Mulyanto, menegaskan, hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang telah diserahkan kepada DPR kian memperkuat bahwa konsolidasi organisasi, SDM, program dan anggaran, koordinasi, mekanisme kerja, aset, dan yang lain belum berjalan baik sejak BRIN dibentuk pada September 2021.
"Temuan BPK hanyalah puncak gunung es dari berbagai masalah di BRIN. Sementara, yang tidak diungkap BPK tentu masih banyak lagi. Ini semua akan menjadi barang rongsokan dan kontribusi sektor riset dan teknologi bagi pembangunan kesejahteraan rakyat akan semakin minim," kata Mulyanto kepada Alinea.id, Sabtu (24/6).
Politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu menjelaskan, keluhan para tokoh iptek dan para peneliti sudah amat banyak. Beberapa di antaranya bahkan mengadukan langsung kepada Komisi VII DPR. Sejak awal, Mulyanto yakin lembaga riset yang superbodi dan sentralistik seperti BRIN ini akan susah bergerak.
Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 78 Tahun 2021 tentang BRIN mengamanahkan integrasi seluruh lembaga riset yang ada di Indonesia, termasuk litbang kementerian/lembaga (K/L). Tidak hanya itu, BRIN juga membawahi BRIN daerah (Brida).
BRIN menyatukan 5 lembaga pemerintah nonkementerian bidang iptek, yakni Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), dan Kementerian Ristek, serta litbang K/L.
Lewat pengintegrasian itu, kini BRIN mengelola tidak kurang 70.000-an aset dari 5 entitas. BRIN juga menampung sekitar 15.000-an periset. Di sisi lain, tatkala periset semakin banyak anggaran, riset justru kian mengecil.
Mulyanto pernah menjelaskan bahwa anggaran riset pada 2017 mencapai Rp24,9 triliun atau 0,2% dari PDB (produk domestik bruto). Saat ini, anggaran itu merosot tinggal Rp2,2 triliun atau hanya 0,01% terhadap PDB. "Menciut lebih dari satu per dua puluh kalinya," kata Mulyanto dalam keterangannya, Rabu (15/2).
Temuan BPK
Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) II-2022 oleh BPK menemukan berbagai masalah, seperti banyak proyek strategis nasional (PSN) yang digarap BRIN berantakan, berpotensi melanggar hukum, bahkan mendorong bencana kemanusiaan. Salah satunya, program penguatan sistem peringatan dini bencana tsunami.
BRIN menghentikan proyek tersebut. Akibat penghentian itu, menurut BPK, BRIN melanggar PP Nomor 93 Tahun 2019 tentang penguatan dan pengembangan sistem informasi gempa bumi serta peringatan dini tsunami.
Selain itu, PSN pengembangan pesawat udara nirawak tipe medium altitude long endurance (PUNA-MALE) kombatan dan pengembangan garam industri terintegrasi juga terhenti.
BPK menemukan BRIN tidak dapat mengelola aset negara dari lembaga-lembaga riset yang dilebur. Salah satunya, pengelolaan peralatan dan mesin yang dulu dioperasikan Lembaga Biologi Molekuler Eijkman. Secara umum, BPK RI mengungkap 24 temuan dan 46 buah permasalahan pengelolaan anggaran dan aset di BRIN.
Pembenahan serius
Tanpa pembenahan serius, kata Mulyanto, berbagai program unggulan riset nasional bakal mandek dan terbengkalai. Situasi ini akan makin memburuk di tengah anggaran riset yang kecil dan terus dipangkas pemerintah.
Mulyanto menyontohkan beberapa hal krusial yang terjadi di badan riset pascapenggabungan ke BRIN. Di antaranya, fungsi BATAN dan LAPAN. Tidak mungkin BATAN dan LAPAN, yang masing-masing merupakan badan penyelenggara di bidang ketenaganukliran dan keantariksaan, dapat menjalankan tugas dengan baik jika dilebur dan disempitkan sekadar menjadi organisasi riset atau beberapa pusat riset.
Begitupula BPPT, yang sebelumnya merupakan badan pengkajian dan penerapan teknologi, kata Mulyanto, saat ini sekadar organisasi riset. Ia yakin banyak tugas pokok dan fungsi (tupoksi) badan-badan riset itu yang hilang dan tidak dapat dijalankan.
"Temuan BPK ini semakin menegaskan bahwa berbagai langkah yang dilakukan BRIN pascapeleburan berbagai lembaga riset menjadi blunder. Pemerintah perlu menata ulang BRIN dan mengembalikan badan-badan riset yang sebelumnya dilebur ke dalam BRIN," tegas Mulyanto.
Ihwal temuan BPK, kata Mulyanto, bakal ada pembahasan di Komisi VII DPR dalam waktu dekat. Namun, ia tidak menjelaskan kapan waktunya.