Forest Watch Indonesia (FWI) dan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mendesak pemerintah agar membuka data pemegang Hak Guna Usaha (HGU). Ketertutupan pemegang HGU dapat menimbulkan persoalan pemanfaatan hutan dan lahan seperti tumbang tindih perizinan, dan konflik berkepanjangan.
Manajer Kampanye dan Advokasi Kebijakan FWI Mufti Barri, berpendapat data kepemilikan HGU harus dibuka, agar masyarakat mengetahui apa yang direncanakan di wilayah mereka.
"Sudah banyak contoh kasus yang terjadi akibat penyalahgunaan hutan HGU tidak terbuka. Sehingga kami mendesak agar Kementerian ATR dan Badan Pertanahan Nasional untuk membuka data pemegang HGU itu," kata Mufti, dalam diskusi bertajuk "Menuntut Komitmen Presiden Jokowi: Keterbukaan Dokumentasi HGU," di Almindtree Cakes, Cikini, Jakarta, pada Senin (4/3).
Temuan FWI mengindikasikan, dari sekitar 4,3 juta hektare luas HGU perkebunan, hanya 2,8 juta hektare yang dikelola untuk ditanami dengan tanaman perkebunan. Artinya, sekitar 1,5 juta hektare lahan HGU tidak digunakan sesuai peruntukannya.
"Kajian sementara ini juga menemukan indikasi adanya lahan dalam HGU yang masih berfungsi sebagai hutan dengan luas sekitar 344 ribu hektare, yang terancam terdeforestasi," ucapnya.
Terbukanya data pemilik HGU, dapat menjadi salah satu solusi dalam memperbaiki tata kelola hutan dan lahan di Indonesia.
Hal itu senada dengan yang disampaikan Direktorat Hukum dan HAM Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Arman Moehammad. Arman mengatakan keterbukaan data pemilik HGU berguna untuk mengatasi resolusi konflik sosial.
"Jadi selama ini kan banyak problem di masyarakat adat, mereka tidak pernah tahu proses penetapan wilayah adat menjadi kawasan hutan negara atau diberikan untuk izin konsesi," kata Arman.
AMAN mencatat dari 9,6 juta hektare wilayah adat yang terpetakan dan terdaftar di pemerintah, hanya sekitar 313 ribu hektare wilayah adat yang tumpang tindih dengan izin konsesi HGU yang tersebar di 307 komunitas masyarakat adat.
"Artinya ada jutaan warga masyarakat adat yang tidak hanya kehilangan mata pencaharian, tetapi seluruh aspek kehidupan dan penghidupannya," katanya.
Selain itu, Arman berpendapat, keterbukaan data pemilik HGU dapat menguntungkan pemerintah. Sebab, pemerintah dapat mengetahui perusahaaan legal dan ilegal.
"Kalau dia ilegal kan ada kerugian negara. Menurut saya yang diuntungkan para mafia-mafia yang menutup data HGU itu.
Kendati demikian, Mufti mendesak agar Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR) dan Badan Pertanahan Nasional dapat membuka data pemilik HGU. Selain itu, pihaknya berencana untuk melakukan tindakan lebih lanjut jika kedua lembaga tersebut tidak membuka data pemilik HGU.
"Pertama kita akan adukan ke PTUN, bagaimana caranya PTUN bisa mengekseskusi data HGU di Kementerian ATR. Kedua, kita akan melaporkan ke Kepolisian bahwa ada badan publik yang tidak mematuhi keputusan MA," katanya.