Perwakilan Jaminan Sosial Konfederasi Rakyat Pekerja Indonesia (KRPI) Timboel Siregar mendesak Presiden RI Joko Widodo untuk mengevaluasi kinerja Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).
"Tidak ada lembaga yang bisa memberikan sanksi atau menegur BPJS kecuali presiden, tetapi sayangnya sejauh ini belum ada evaluasi apa pun," tutur dia dalam diskusi "BPJS Salah Kelola, Pelayanan Publik Disandera" di Cikini, Jakarta, pada Minggu (13/10).
Senada dengan Timboel, perwakilan dari Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Seknas FITRA), Yanti Nurhidayat, meminta agar Jokowi mengevaluasi BPJS.
"Ada masalah di tiga level Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), salah satunya merupakan BPJS," ujarnya. "Seharusnya pemerintah memikirkan alternatif apa yang dapat diberikan untuk menghasilkan solusi."
Dalam kesempatan yang sama, perwakilan Perkumpulan Prakarsa, Eka Afrina, menyatakan bahwa evaluasi BPJS diperlukan jika pemerintah ingin merealisasikan target kepesertaan JKN 100% pada 2019.
Perkumpulan Prakarsa mencatat bahwa sejauh ini, kepesertaan JKN baru mencapai 82% dari jumlah penduduk Indonesia. Target 100%, terangnya, akan sulit dicapai karena masih ada sekitar 50 juta orang yang belum menjadi peserta.
Eka menyarankan agar pemerintah mengevaluasi dimensi pelayanan BPJS Kesehatan, terutama memastikan adanya program pembangunan infrastruktur bidang kesehatan.
Selain itu, pemerintah perlu membangun SDM di bidang kesehatan yang mencukupi sisi rasio jumlah penduduk.
"Peningkatan kualitas layanan pun harus dilakukan, dengan memastikan ketersediaan obat, perlengkapan alat kesehatan, hingga kepedulian tenaga kesehatan kepada pasien," jelas dia.
Lebih lanjut, Eka meminta agar penyelenggaraan JKN lebih transparan sehingga keberlanjutan pembiayaan dapat terjadi.
Pemerintah, tambah dia, mesti melakukan pemberantasan korupsi penyedia layanan kesehatan baik swasta maupun pemerintah, mengoptimalkan pajak dan cukai untuk pembiayaan kesehatan, serta melakukan audit keuangan yang terbuka atas BPJS Kesehatan sebagai acuan penalangan defisit.
Terkait permasalahan defisit keuangan BPJS Kesehatan, Eka menilai hal tersebut menandakan belum berhasilnya tata kelola JKN oleh pemerintah.
"Dari waktu ke waktu, persoalan yang dihadapi sama saja, seperti siklus masalah yang malah semakin membesar," tutur Eka.
Menurutnya, pemerintah perlu segera mencari solusi permasalahan defisit itu karena akan berdampak negatif terhadap banyak hal. Contoh implikasinya merupakan terhambatnya pembayaran ke rumah sakit serta mengurangi kepercayaan publik pada pemerintah dan pelayanan kesehatan.
"Status defisit keuangan BPJS Kesehatan seharusnya menjadi refleksi bagi BPJS dan pemerintah dalam melakukan keterbukaan pengelolaan keuangan dan pelayanan kesehatan," kata dia. "Masyarakat perlu diberi tahu bahwa belanja kesehatan adalah belanja untuk kepentingan publik dan bermanfaat bagi kita semua."