Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) Petrus Selestinus menilai pemerintah terlihat gamang menghadapi Front Pembela Islam (FPI).
Sikap gamang itu terlihat ketika pemerintah, dalam hal ini Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), mengaku masih mendalami visi dan misi FPI tentang penerapan syariat Islam secara kafah di bawah naungan Khilafah Islamiyyah.
Sikap gamang Kemendagri terhadap FPI justru bertolak belakang dengan semangat pembentukan UU No.16 Tahun 2017 tentang Ormas yang lahir melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2017. Saat itu terdapat kebutuhan mendesak untuk menjaga kehormatan dan kedaulatan negara yang ideologinya sedang terancam oleh ideologi khilafah.
"Sikap gamang dan terlalu dicari-cari. Sudah lima tahun visi dan misi FPI terdaftar di Kemendagri, namun tidak dilakukan pendalaman dan penindakan," kata Petrus kepada Alinea.id di Jakarta, Senin (2/12).
Melihat sepak terjang FPI yang intoleran selama 15 tahun terakhir, kata Petrus, mestinya tidak membuat sikap pemerintah melunak. Apalagi FPI telah melakukan tindakan anarkistis (persekusi dan sweeping) terhadap kelompok minoritas. Oleh karena itu, kata dia, pemerintah seharusnya langsung membubarkan FPI sesuai dengan tuntutan publik.
FPI melakukan pendaftaran pada 20 Juni 2014 di era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Di era SBY juga badan hukum HTI disahkan pada 2 Juli 2014.
Saat itu, pemerintah mencabut UU Nomor 8 Tahun 1985 tentang Ormas dan dibentuk UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang Ormas pada 22 Juli 2013.
SBY dianggap telah menanam bom waktu dan memberikan "karpet merah" bagi ormas-ormas yang memperjuangkan khilafah sebelum mengakhiri masa jabatannya.
"Sejumlah pasal di dalam UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang Ormas, membuat negara tidak berdaya ketika hendak menindak ormas radikal dan intoleran yang memperjuangkan khilafah. Karena itu Presiden Jokowi mengeluarkan Perpu Nomor 2 Tahun 2017 yang mengubah pasal-pasal "nakal" dari UU Nomor 17 Tahun 2013," kata Petrus.
Seiring dengan bubarnya HTI sejak 2017, kata Petrus, resistensi berbagai pihak yang menuntut FPI dibubarkan terus menggema. Realitas ini mestinya menjadi referensi bagi Menteri Agama Fachrul Razi untuk tidak merekomendasikan perpanjangan izin bagi FPI.
"Fachrul Razi justru tergoda dengan janji FPI mau mengubah visi dan misinya dan akan "setia kepada Pancasila dan NKRI" dengan sebuah "surat pernyataan". Pertanyaannya siapa yang sedang dikadali FPI? Pemerintah atau publik?" ujar Petrus.
Mestinya, kata Petrus, Fachrul Razi tahu mengubah ideologi sebuah ormas tidaklah mudah dan tidak mungkin hanya dengan surat pernyataan di atas materai Rp6000, tetapi perlu sosialisasi. Karena itu, sangat disayangkan ketika Menag Fachrul Razi menyatakan FPI sudah setia kepada Pancasila hanya karena surat pernyataan di atas materai.
"Ini tidak profesional dan pertanda Fachrul Razi dari lubuk hati yang paling dalam tidak serius menyelesaikan ancaman radikalisme dan intoeransi di negeri ini," kata dia.
Di tempat terpisah Ustaz Bachtiar Nasir (UBN) menampik upaya membangun negara khilafah yang dilakukan FPI.
UBN menuturkan pemerintah telah salah mengartikan mengenai upaya menjadikan NKRI bersyariah. Kesalahpahaman tersebut berkaitan dengan surat keterangan terdaftar (SKT) FPI.
"Kalau menurut saya tuduhan terhadap FPI itu tidak proporsional tentang adanya khilafah. Khilafah versi FPI tentu berbeda, termasuk NKRI syariah yang disalahpahami," ucap UBN di Monas, Senin (2/12).
Sebaiknya pemerintah berdialog langsung dengan FPI. Jika dialog tersebut terjadi, UBN meyakinkan tidak ada bukti mendirikan negara khilafah.
Lebih lanjut menurut UBN, FPI tidak akan melakukan upaya-upaya melawan konstitusi. Selain itu, FPI dipastikan tetap berpegang pada Pancasila.
"Saya pastikan itu salah dan saya harap pemerintah bisa berdialog langsung dengan FPI apa yang disebut khilafah dan NKRI syariah dalam AD/RT FPI," tuturnya.
Izin SKT FPI sudah habis sejak 20 Juni 2019. FPI sudah mengajukan perpanjangan izin, tetapi belum ada tindak lanjut dari pemerintah.