Feminis sekaligus Assistant Professor di bidang Pendidikan Antar-Agama di Claremont School of Theology, California, Amerika Serikat, Laily Fitry mengkritisi keputusan pemerintah menghilangkan data kematian dalam laporan perkembangan penanggulangan Covid-19.
Menurut dia, langkah tersebut bukan hanya membuktikan pemerintah lari dari tanggung jawab atas rakyatnya, melainkan juga mencerminkan sistem politik ekstrem neoliberal telah menjadi prinsip utama yang dipegang oleh pemerintahan saat ini.
"Apa maknanya? Maknanya adalah, bagi pemerintah sekarang, melestarikan sistem ekonomi kapitalistik adalah tujuan utama mereka. Bukan untuk melindungi rakyat, melainkan untuk berserah kepada sistem ekonomi itu sendiri, yang tentunya hanya menguntungkan mereka yang memiliki modal dan kuasa," kata Laily saat dihubungi Alinea.id, Jumat (13/8).
Laily mengaku, tidak terkejut ketika pemerintah tidak lagi mempertimbangkan jumlah kematian rakyat. Kata dia, setiap pemerintahan yang berserah kepada sistem ekonomi-politik neoliberal harus menjalankan apa yang oleh filsuf ternama Achille Mbembe disebut sebagai "politik kematian".
Dia menjelaskan, politik kematian ini berarti bahwa memang ada segmen-segmen masyarakat tertentu seperti kaum miskin, petani kecil, nelayan kecil, kaum minoritas seksual dan jender, kaum disabilitas, perempuan, anak-anak, serta lain-lain yang memang telah 'disiapkan' untuk mati.
"Kematian mereka dirubah menjadi sumber daya untuk melestarikan sistem neolib itu sendiri. Maka, ketika jumlah kematian tidak lagi dipandang penting oleh pemerintah, mereka sedang menjalankan 'politik kematian' ini," jelasnya.
Sehari sebelumnya, lembaga survei Charta Politika menyebut, penanganan pandemi Covid-19 di Indonesia sangat baik dan baik berdasarkan survei nasional terbaru periode Juli 2021. Dalam survei ditemukan, sebanyak 51.4% responden menilai penanganan pandemi Covid-19 di Indonesia sangat baik dan baik, berada di atas yang menyatakan buruk dan sangat buruk atau 45.6%.
Laily mengaku, secara pribadi dirinya jarang percaya pada survei. Alasannya, ia tidak tahu mana yang pesanan dan mana yang ilmiah. Kendati demikian, dalam konteks politik, katanya, kebangkitan politik yang penting untuk didukung dan dipahami adalah kebangkitan politik dari tataran akar rumput.
"Contohnya seperti perjuangan warga Wadas, Purworejo, Jawa Tengah melawan gubernur itu (Ganjar Pranowo). Untuk politik jalur utama, saya sudah tidak percaya lagi. Tidak ada parpol yang benar-benar memperjuangkan rakyat," beber Laily.
Sementara itu, anggota Komisi IX DPR, Saleh Partaonan Daulay, mengatakan, data kematian menjadi indikator penting dalam evaluasi PPKM dan kebijakan penanganan Covid-19 secara keseluruhan.
Alasannya, data kematian yang ada menampilkan banyak informasi. Termasuk di antaranya efektivitas kebijakan yang ada, tingkat hunian rumah sakit, penurunan orang yang terpapar, kesiapan tenaga pemulsaraan jenazah, tenaga pemakaman, ketersediaan lahan, dan lain-lain.
"Sedehananya, kalau orang yang terpapar sedikit yang meninggal atau turun tajam, berarti kebijakan yang diterapkan efektif. Sebaliknya, kalau jumlah yang meninggal banyak atau semakin meningkat, maka kebijakannya perlu dievaluasi. Dicari titik lemahnya untuk diperbaiki," kata Saleh kepada Alinea.id, Jumat (13/8).
Saleh menyatakan, apabila yang dimiliki pemerintah dinilai tidak akurat, berarti bukan harus dikeluarkan dari indikator evaluasi. Menurutnya, perlu dilakukan adalah memperbaiki datanya.
"Di Indonesia, data memang selalu bermasalah. Tidak hanya soal data kematian akibat covid, data-data lain pun sering bermasalah. Lihatlah misalnya, data penerima bantuan sosial, penerima BSU, data BPJS kesehatan (katanya kemarin bocor), bahkan data DPT (daftar pemilih tetap) pun selalu bermasalah setiap kali akan dilaksanakan pemilu," jelasnya.
"Kalau angka kematian nanti dikeluarkan dari indikator evaluasi, malah orang nanti akan menyoal. Dikhawatirkan orang akan berpikir ada sesuatu yang disembunyikan. Menurut saya, lebih baik tetap dimasukkan sebagai indikator," pungkas politisi PAN ini.