Pemerintah menyebut Rancangan Undang-undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RUU KUHP) mendesak untuk disahkan karena KUHP yang berlaku saat ini tidak memberikan kepastian. Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Edward Omar Sharif Hiariej, mengatakan demikian berkaca dari KUHP warisan Belanda terjemahan Moeljatno dan Soesilo.
Edward menyampaikan, ada perbedaan signifikan dari terjemahan dua orang tersebut. Dia menyontohkan, Pasal 110 KUHP terkait pemufakatan jahat. Dalam terjemahan Moeljatno hukuman untuk perbuatan itu pidana mati.
"Lalu coba buka Pasal 110 KUHP yang diterjemahkan Soesilo. Soesilo mengatakan, kejahatan pemufakatan jahat sebagaimana yang tercantum Pasal 104 sampai Pasal 108 KUHP dipidana dengan pidana maksimum 6 tahun," katanya saat diskusi, Jakarta, Senin (14/6).
Perbedaan tersebut, terang Edward, jelas signifikan dilihat dari hukuman pidana yang bisa menjerat pelaku. Dia menambahkan, perbedaan terjemahan juga terdapat dalam berbagai unsur dan elemen pasal yang dipakai.
"Jadi hal-hal seperti ini, itu menimbulkan ketidakpastian hukum," ucapnya. Oleh karena itu, RUU KUHP disebut penting untuk segera disahkan.
Lebih lanjut, imbuh Edward, yang ditempuh pemerintah dan DPR terkait RUU KUHP adalah rekodifikasi pasal-pasal yang sudah ada. Menurutnya, pasal-pasal yang sebelumnya dikeluarkan dari KUHP, saat ini ditarik lagi untuk masuk ke dalam RUU KUHP.
"Yang tadinya pasal-pasal itu ada dalam KUHP (yang berlaku), dikeluarkan dari KUHP, lalu kembali dihimpun, dikumpulkan kembali, dimasukkan kembali dalam satu rumah besar yang namanya (RUU) KUHP. Sehingga kita menggunakan istilah rekodifikasi," ujarnya.