Pemerkosaan massal 1998, pil pahit perempuan Tionghoa
Kejadian pemerkosaan massal menjelang reformasi 1998 tak hanya meninggalkan luka bagi para penyintas. Sejumlah saksi mata pun juga dilanda trauma mendalam. Salah satu saksi Ita F. Nadia, mengaku sangat trauma hingga menolak membagi cerita pada Alinea. Padahal mantan Direktur Kalyanamitra—organisasi nonpemerintah yang bergiat di isu kesetaraan perempuan—tersebut andil mendampingi sederet peristiwa pemerkosaan pada 12 hingga 15 Mei 1998.
Ita F. Nadia bukan satu-satunya orang yang mengaku trauma. Saksi mata yang berhasil dihimpun oleh Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) dengan inisial “Saksi Mata Angke” (SMA) mengisahkan, pemerkosaan yang ia lihat pada 1998, membuatnya nyaris tak bisa tidur, cemas, dan terganggu. Hari-harinya penuh tekanan, karena bayangan gadis Tionghoa yang diperkosa lalu dibuang mayatnya, terus menghantui.
Hari itu, 14 Mei 1998, sekitar pukul 11.30, ia melihat sejumlah orang dari kerumunan massa mencegat mobil yang tengah melaju. Penumpang dipaksa turun. Dua gadis yang berada di dalam mobil ditarik paksa keluar, sempat melawan, namun sia-sia. Massa kesetanan melucuti pakaian dua perempuan ini, lantas memerkosa beramai-ramai.
Saat berhasil melepaskan diri dari pemerkosa, SMA mendekati kedua perempuan itu lalu mencarikan jalan yang aman untuk pulang. “Karena saya tinggal di daerah itu, saya hapal jalan pintas menuju jalan raya,” kenangnya.
Naas, sesampainya di perempatan Cengkareng, ia menyaksikan mayat perempuan begelimpangan dalam keadaan tak berbusana, dan muka ditutup koran lusuh. Ia menduga perempuan itu telah diperkosa, sebab dari kemaluan mereka terlihat leleran darah yang mengering dan dikerubungi lalat. Sesaat kemudian, mayat-mayat tersebut lenyap. Kemana mayat itu dipindahkan, siapa yang membawa, ia tak tahu.
Kesaksian senada disampaikan keluarga penyintas, “R”, yang adiknya menjadi sasaran brutal penjarahan dan pemerkosaan. Tim Relawan untuk Kemanusiaan yang menerima cerita menguraikan, pada hari tersebut, sekelompok orang tak dikenal memasuki ruko korban dan menjarah barang-barangnya. Sebagian lainnya menelanjangi R dan memaksanya menyaksikan kedua adiknya diperkosa.
Usai diperkosa, kedua adiknya dilempar ke lantai bawah yang sudah mulai terbakar. Kedua gadis itu mati, sedang R berhasil selamat karena ada yang menolong.
Kejadian tersebut fakta
Kesaksian sejumlah orang yang berhasil dirangkum TGPF mengafirmasi insiden pemerkosaan massal, yang sempat disanggah dan diragukan kebenarannya oleh publik. Pasalnya pemerkosaan ini sendiri menyisakan jejak sunyi dan trauma, yang tak ingin dikorek lagi oleh penyintas maupun saksi.
TGPF menuturkan, dilansir dari komnasperempuan.go.id, tidak adanya laporan mengenai peristiwa pemerkosaan itu kepada pemerintah, lantaran beberapa alasan. Pertama, di negeri ini, dan dimanapun juga, ‘diperkosa’ adalah kondisi yang dianggap sebagai aib atau cacat yang sangat besar. Oleh karenanya, para penyintas dan keluarganya memilih merahasiakan peristiwa yang menimpa dirinya. Apalagi bagi adat Tionghoa, orang tua tak ragu menyerahkan sebilah pisau pada anak perempuannya yang diperkosa, daripada hidup berkalang malu.
Kedua, pemerkosaan telah melahirkan penderitaan fisik dan batin yang berat, sehingga membuat para penyintas dan saksi mata hanya akan bercerita kepada yang dipercaya, dengan susah payah. Sementara, ketiadaan laporan pada instansi-instansi pemerintah, jadi indikasi terang instansi tersebut tidak mengantongi kepercayaan, dari orang-orang yang mengalami peristiwa itu.
Ketiga, pada banyak kasus pemerkosaan di seputar kerusuhan, para pelaku juga mengancam dan mengambil KTP para korban. “Dengan demikian memperkecil kemungkinan pengaduan atau laporan dari para korban. Rasa ‘aib’ makin ditekan oleh teror dan ancaman. Jadilah kebisuan,” tulis TGPF.
Keempat, anggota tim relawan yang sering dihubungi oleh para penyintas dan saksi mata telah berulangkali menerima teror dan diancam, agar menghentikan aktivitasnya, membantu para penyintas.
Keempat sebab inilah yang membuat pemerkosaan 1998, yang mayoritas menimpa perempuan Tionghoa menemui jejak sunyi. Padahal peristiwa ini menyebar merata di wilayah Jakarta Barat, Jakarta Utara, dan beberapa kawasan lain, yang selama ini dikenal sebagai konsentrasi pemukiman warga Tionghoa.
Komisioner Komnas Perempuan Yuniyanti Chuzaifah menjelaskan, sejak krisis ekonomi yang bermula pada 1996, lalu melebar jadi krisis politik, yang berpuncak pada kerusuhan 13-14 Mei 1998, perempuan kerap menjadi penyintas. Sebagian memilih bungkam, namun sebagian yang lain bergerak, sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan.
"Aktivis-aktivis perempuan pada saat itu juga hadir sebagai relawan salah satunya melakukan pendampingan terhadap korban pemerkosaan, karena memang jelas ketakutan dan trauma mereka. Intimidasi itu nyata, salah satu di antaranya (dialami) penyintas pemerkosaan Ita Martadinata, yang diintimidasi hingga terbunuh saat ingin menjadi saksi di PBB pada Oktober 1998," katanya kepada Alinea.
Ita (18) kala itu diminta PBB memberi kesaksian ke Amerika Serikat. Sepekan sebelum berangkat, siswa kelas 2 Sekolah Menengah Atas (SMA) menjalani aktivitas seperti biasa. Usai jam sekolah, ia pulang ke rumah dan langsung menuju ke kamarnya di lantai 2. Sampai di kamar, ia justru dihunus benda tajam oleh pria tak dikenal, hingga tewas. Sayangnya, oleh dokter di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Mun’im Idris, alih-alih diungkap luka yang dideritanya, Ita justru dituduh mengidap kelainan seksual. Hasil otopsi ini sendiri membuat tim relawan geram, hingga menggugatnya ke pengadilan.
Sulit terungkap
Ilustrasi perempuan Tionghoa./ Pixabay
Sejarawan Anhar Gongong menyatakan, tidak mudah dalam menuntaskan kasus yang terjadi pada Mei 1998 tersebut, apalagi jika melihat kondisi traumatis saat itu. Hal inilah yang menghambat pemerintah mengungkap peristiwa sadis 1998.
“Jadi, hal-hal yang berkaitan dengan hal tersebut tidak mudah untuk diselesaikan, termasuk kesulitan untuk membuktikan siapa yang melakukannya. Ini sama saja seperti kerumitan peristiwa Trisakti,” jelasnya.
Ketua Solidaritas Perempuan Puspa Dewi menambahkan, pemerintah masih tak konkrit mendorong penyelesaian kasus-kasus tersebut, sehingga pemerkosaan 1998 masih gelap hingga sekarang.
“Sebenarnya ini yang sangat kita sayangkan, setelah 20 tahun reformasi, (kasus ini) belum terselesaikan,” katanya.
Dewi sama dengan Ita yang mengaku mendengarkan langsung bagaimana perlakuan yang dialami penyintas pemerkosaan. “Saya merasa perih dan tersayat terhadap apa yang pernah dialami oleh korban. Namun saya tidak bisa cerita lebih jauh, karena belum memiliki izin dari korban,” tuturnya.
Padahal, laporan TGPF kerusuhan Mei 1998 menyebutkan, setidaknya ada 85 kasus kekerasan seksual di Jakarta, Medan, dan Surabaya. Korbannya mayoritas etnis Tionghoa. Dari 85 kasus, 52 di antaranya adalah pemerkosaan secara beramai-ramai. Lalu, 14 di antaranya dilakukan dengan penganiayaan, 10 kasus penganiayaan seksual, dan 9 pelecehan seksual. Lebih lanjut, dari 52 kasus yang diafirmasi, hanya 3 yang kesaksiannya langsung diperoleh dari penyintas. Sisanya dari dokter, rohaniawan, dan pihak keluarga.
Politik SARA
Perempuan Tionghoa sendiri kerap dijadikan sasaran amuk massa, karena tiga sebab. Oleh Ita F. Nadia, dilansir dari komunitas www.tionghoa.info, mereka menempati posisi triple minority, yakni perempuan, beretnis minoritas, dan umumnya bukan beragama Islam.
Terlebih, Tionghoa sejak era kolonialisme Belanda kerap dijadikan sasaran amuk, karena kecemburuan ekonomi. Menurut Anhar, penderitaan yang dialami etnis Tionghoa adalah buah dari warisan keistimewaan yang diperoleh sejak kolonialisme. Tak hanya akses lebih pada bidang ekonomi, masyarakat Tionghoa juga kerap dipercaya mengerjakan proyek dan pekerjaan strategis.
Perpaduan sentimen dan minimnya kesadaran akan penghargaan pada minoritas yang dilegitimasi rezim Soeharto, membuat sejumlah pihak menggunakan kesempatan untuk melakukan kejahatan.
“Sehingga ada kelompok penjahat yang mencari keuntungan pada saat itu, memang sasarannya orang Tionghoa, karena pandangan orang Tionghoa kaya dan segala macam,” jelas Anhar.
Hingga kini, politik SARA pun masih saja dimainkan. Penjarahan dan pemerkosaan etnis Tionghoa adalah luka masa lalu. Namun luka ini menurut Puspa Dewi sengaja kembali dimainkan oleh kelompok-kelompok tertentu.
“Beberapa kali kita melihat politik identitas kembali dimainkan, tidak hanya persoalan agama, akan tetapi juga soal etnis,” ujar Puspa dewi.
Puspa menilai, sebagai generasi beradab, masyarakat kini bisa terlibat dalam aksi pencegahan politisasi isu SARA. Tujuannya, agar pil pahit yang ditelah orang Tionghoa di masa lalu, tak kembali terulang.
“Kita tentu juga tidak ingin isu itu dimainkan lagi, harus dicegah, agar tidak ada perpecahan di Indonesia,” pungkasnya.