Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro mengatakan, rencana pemindahan ibu kota telah masuk dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024. Namun, pemerintah belum menetapkan waktu pemindahannya.
Menurut Bambang, pemerintah akan memasukkan ke dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) jika waktu pemindahan ibu kota telah ditentukan.
"Sudah masuk dalam RPJMN, nanti ketika sudah jelas kapan pelaksanaannya, kami akan sesuaikan untuk masuk pada RKP tahun bersangkutan," ujar Bambang saat ditemui di Hotel Shangri-La, Jakarta, Kamis (9/3).
Dia menjelaskan, pemindahan ibu kota merupakan strategi panjang agar Jakarta tak semakin terbebani. Selain itu, pemindahan ibu kota juga diharapkan dapat memberikan pemerataan pembangunan.
Namun demikian, pemerintah akan terlebih dahulu mempelajari pengelolaan berbagai kota di dalam negeri. Selain itu, pemerintah pun akan mengkaji keberhasilan dan kegagalan negara-negara yang telah melakukan pemindahan ibu kota.
"Kita sudah belajar dari kesalahan, kekurangan mengelola kota di Indonesia. Termasuk juga mempelajari keberhasilan maupu kegagalan pemindahan ibu kota di luar negeri," ucapnya.
Menurutnya, rencana pemindahan ibu kota dari Jakarta ke tempat baru bukanlah cerita anyar. Pada masa Soekarno, wacana Palangkaraya sebagai ibu kota sudah didengungkan.
Di masa Orde Baru, timbul wacana menjadikan Jonggol, Bogor, sebagai ibu kota. Adapun di era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, pemerintah telah membentuk tim khusus untuk mengkaji pemindahan ibu kota.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) menginginkan ibu kota dipindahkan ke luar Pulau Jawa. Namun, Jokowi enggan mengungkap nama kandidat ibu kota baru. Ia hanya menegaskan Pulau Jawa tidak punya wilayah yang dapat mendukung pendirian ibu kota baru.
Meskipun tak mau mengungkap kandidat ibu kota baru yang sudah ia kantongi, Jokowi mengindikasikan calon ibu kota baru bakal dipilih dari salah satu kota di Kalimantan Tengah.
Menanggapi hal ini, Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Muhammad Diheim Biru mengatakan wacana pemindahan ibu kota ke Kalimantan Tengah memerlukan banyak pertimbangan. Salah satunya adalah mengenai faktor lingkungan.
Pemindahan ibu kota diharapkan tidak mengganggu keseimbangan keberadaan hutan lindung dan hutan konservasi di sana. Terganggunya keseimbangan, dikhawatirkan dapat menimbulkan munculnya potensi konflik lahan.
"Berkaca pada periode pemerintahan daerah sebelumnya, dimana periode tahun 2003-2015 banyak menguras lahan hutan secara cuma-cuma karena pembatasan lahan tidak terencana dengan baik. Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah perlu sangat berhati-hati dalam menentukan tata batas wilayah tersebut," kata Diheim dalam siaran pers yang diterima Alinea.id.
Pasalnya, kawasan hutan tersebut juga berfungsi sebagai kawasan penyangga yang berfungsi untuk mencegah bencana alam seperti tanah longsor, sedimentasi sungai, dan banjir ketika curah hujan tinggi.
"Faktor kedua adalah tumpang tindihnya lahan masyarakat dan hutan produksi yang bisa dikonversi (HPK) yang perlu dimaksimalkan. Revisi perda perlu memperhatikan kedua faktor ini, karena data lahan semuanya harus disesuaikan dengan agenda reforma agraria," ucapnya.
Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah juga diharapkan segera merevisi Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi karena perda nomor 5 tahun 2015 yang merupakan revisi dari perda nomor 3 tahun 2008, sudah tidak selaras dengan kondisi eksisting. Urgensi revisi perda ini juga diperlukan setelah memasuki wacana pemindahan ibu kota oleh Presiden Joko Widodo yang mulai dibahas pada awal Mei 2019.