Pemisahan lahan parkir di Depok dan Perda Syariah
Selamat datang di Kota Depok, di mana Anda akan menemukan parkir yang terpisah berdasarkan gender: perempuan dan laki-laki.
Sebuah spanduk berwarna merah muda bertuliskan “Parkir Perempuan/Ladies Parking” terpampang di sudut sebuah lahan parkir Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Depok, Jawa Barat. Di rumah sakit ini, lahan parkir perempuan dan laki-laki dibuat terpisah.
Bila diperhatikan, sebenarnya tidak ada perubahan signifikan dari penerapan aturan yang membedakan gender tersebut. Lahannya tertata sebagaimana lahan parkir biasa.
Hanya saja, lahan parkir khusus perempuan berada dekat dengan akses keluar masuk gedung, sedangkan lahan parkir laki-laki letaknya agak lebih jauh dari gedung utama rumah sakit tersebut.
Di sudut lainnya, lahan parkir laki-laki dan perempuan digabung sejajar, namun dipisah dengan membaginya setengah-setengah. Lahan parkir perempuan di sebelah kiri, sedangkan laki-laki di sebelah kanan. Di atasnya terpampang spanduk bertuliskan “Ladies Parking” dan “Man Parking”.
Spanduk pemisahan parkir itu, sejak awal Juli 2019 sudah mengundang rasa heran beberapa orang yang datang ke RSUD Depok, dan sempat membuat ramai dunia maya.
“Agak kaget melihatnya. Sekarang parkiran pun sudah dipisah-pisah seperti ini,” kata seorang pengunjung rumah sakit, Fikri, saat ditemui Alinea.id di RSUD Depok, Jawa Barat, Senin (15/7).
Meski begitu, ia mengaku tak keberatan dengan aturan itu. Aturan parkir terpisah tersebut mendapat dukungan dari sebagian warga lainnya. Terutama kaum hawa.
"Saya senang sekali pemerintah punya perhatian lebih terhadap kaum wanita begini. Bagi kami yang kadang kesulitan mencari lahan parkir, sekarang jadi lebih mudah, kalau bisa di semua tempat bisa diterapkan seperti ini," ujar Tanti.
Menurut penjaga parkir RSUD Depok, Imam, tujuan pemisahan lahan parkir ini untuk memudahkan perempuan, terutama ibu-ibu memarkir sepeda motornya.
"Kadang kan mereka suka repot sendiri geser-geser motornya," ujar Imam.
Protes warga
Selain di RSUD Depok, sejumlah tempat lainnya di Depok juga memberlakukan aturan serupa, mulai dari gedung pemerintahan hingga pusat perbelanjaan. Menurut Kepala Dinas Perhubungan Kota Depok Dadang Wahana, aturan itu pun berlaku di Gedung Balaikota Depok dan beberapa mal, seperti Margo City dan Depok Town Square.
"Ini bukan aturan baru. Programnya sendiri sudah ada sejak 2004. Salah satunya dalam program itu ada di antaranya penyediaan parkir untuk perempuan, tidak hanya di gedung. Tapi juga di mal dan tempat-tempat publik lainnya," ucap Dadang saat dihubungi, Senin (15/7).
Lebih lanjut, ia menerangkan, pemberlakuan aturan tersebut ditujukan untuk memberi kemudahan akses bagi perempuan, disabilitas, dan lansia. Untuk itu, menurut Dadang, penerapannya pun ditarik dari program pengarusutamaan gender yang dibuat Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.
Pemberlakuan aturan secara masif di Depok, kata Dadang, dilakukan pertama kali pada 2017 di RSUD Depok, lalu di balaikota pada 2018, dan sekarang sudah umum ada di berbagai tempat di Depok.
"Sejauh ini, setahu saya Pemkot Depok belum menerima satu pun keluhan dari masyarakat," tuturnya.
Namun, kenyataannya ada warga Depok yang memprotes aturan itu. Salah satunya datang dari Masyarakat Cinta Depok.
Pada Jumat (26/7) tiga orang anggota Masyarakat Cinta Depok, yang mengaku mewakili 104 warga lainnya, mendatangi Kantor Ombudsman RI di Jalan HR Rasuna Said, Jakarta Selatan. Mereka mengadukan aturan yang dianggap diskriminatif itu.
"Minggu lalu, kami warga Depok sudah ke DPRD Depok untuk melaporkan bahwa pemisahan parkir di Depok ini bukan pelayanan publik yang berkualitas karena membeda-bedakan berdasarkan gender, dan dibuat cenderung berbasiskan aturan agama tertentu," ujar salah seorang warga Depok yang juga aktivis buruh, Anis Hidayah, saat ditemui di Kantor Ombudsman RI, Jalan HR Rasuna Said, Jakarta Selatan, Jumat (26/7).
Anis mengatakan, selain diskriminatif, alasan perlindungan terhadap perempuan sebagai tujuan aturan itu, ia nilai tak masuk akal.
"Jika pengelola parkir memang sungguh-sungguh ingin melindungi perempuan, maka yang harus dilakukan adalah menyediakan tempat khusus parkir perempuan sebagai tambahan saja dari tempat parkir umum, sehingga perempuan yang merasa ‘terancam’ bisa memilih menggunakan tempat parkir khusus itu," tuturnya.
Menurut Anis, hal terpenting lainnya yang harus diperhatikan ialah pengelolaan parkirnya. Seharusnya, kata dia, jumlah petugas parkir diperbanyak dan kualitas penjaganya ditingkatkan, agar bisa mencegah ancaman kekerasan atau pelecehan terhadap perempuan.
Lagi pula, dengan dibenarkannya pemberlakuan aturan tersebut, Anis menilai, bakal merembet ke ruang-ruang publik lainnya, sehingga membuat semakin tak nyaman bagi sebagian warga di Depok.
"Misalnya saja nonton bioskop, laki-laki dan perempuannya nanti harus dipisah, pintu masuk mal pun dipisah juga, di sekolah juga begitu. Jadi, citra Depok sebagai kota multikultural lama-lama bisa hilang," ucapnya.
Merespons aduan beberapa warga Depok yang memprotes masalah pemisahan lahan parkir laki-laki dan perempuan, anggota Ombudsman Ninik Rahayu menjelaskan, pihaknya akan menindaktegas kasus ini bila terbukti adanya malaadministrasi.
"Kita melihat ada potensi malaadministrasi, tapi sebelum menyimpulkan ke arah sana. Lebih dulu kami harus melengkapi beberapa dokumen terkait," ujar Ninik ditermui di Kantor Ombudsman, Jakarta Selatan, Jumat (26/7).
Menurutnya, kebijakan-kebijakan daerah yang kerap memisahkan antara laki-laki dan perempuan tidak bisa dibiarkan karena justru dapat merugikan pihak perempuan. "Akhirnya malah menjadi diskriminasi terhadap kualitas layanan publik," tuturnya.
Setelah dokumen lengkap dan dinyatakan positif merupakan kasus malaadministrasi, maka Ombudsman akan memanggil pihak terkait untuk dimintai klarifikasi, sebelum ditindak tegas.
"Setelah data-data itu lengkap, kita akan lakukan proses klarifikasi dan investigasi terhadap pihak wali kota beserta jajarannya, dan juga Dinas Perhubungan Kota Depok. Baru setelah itu kita lakukan konsiliasi," ucapnya.
Selain masalah segregasi lahan parkir di Depok, sebelumnya Ombudsman juga telah menemukan kasus serupa yang dinyatakan sebagai kasus malaadministrasi.
"Kebetulan kami menemukan ada standar layanan di rumah sakit yang ada upaya pemisahan antara laki-laki dan perempuan begitu. Kemudian kita tegur, jadi sekarang kebijakan itu sudah tidak berlaku di sana," katanya.
Terkait Perda Syariah
Aturan pemisahan parkir itu lantas ada yang mengaitkannya dengan upaya membuat Depok menjadi “Kota Syariah”, dengan memberlakukan Peraturan Daerah Syariah di sana.
Wakil Ketua Mahkamah Kehormatan (MKD) DPR sekaligus politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) TB Soenmandjaja menegaskan, kehadiran Perda Syariah sesungguhnya bukan lagi untuk diperdebatkan. Sebab, kata dia, hal itu sudah disepakai bersama dalam pasal 7 ayat 1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
"Perda Syariah maupun perda sejenisnya, itu termasuk dalam peraturan daerah provinsi atau peraturan daerah kabupaten/kota. Keberadaannya sudah dibahas dan disetujui bersama, sebagaimana diatur dalam undang-undang," ujar Soenmandjaja ketika dihubungi, Selasa (16/7).
Bahkan, qanun yang diterapkan di Aceh, menurut Soenmadjaja pelaksanaannya sudah berlandaskan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.
"Qanun menjadi khas Aceh, dan tidak bertentangan dengan hukum nasional," katanya.
Oleh karena itu, menurut Soenmandjaja, meski Aceh mendapat keistimewaan terkait peraturan daerahnya itu, tetapi jika ada daerah-daerah lain yang hendak menerapkan aturan serupa, tak bisa disalahkan.
“Selama aturan yang diterapkan tidak bertentangan dengan hukum nasional,” ujarnya.
Dihubungi terpisah, pendakwah Felix Siauw pun sepakat dengan pernyataan Soenmandjaja. Bahkan, ia mengatakan, aturan-aturan publik yang mengadopsi aturan-aturan agama, sudah ada sejak Indonesia baru merdeka.
"Intinya sih saya tidak melihat ada suatu masalah secara konstitusional karena itu sudah dijamin bagian dari hak warga negara untuk menerapkan suatu aturan agama," ujar Felix saat dihubungi, Selasa (16/7).
Secara tegas, Felix membantah anggapan orang yang menyebut perda bermuatan aturan agama tertentu bersifat diskriminatif. Aturan itu, kata Felix, dibuat bukan untuk mengekang hak orang lain.
"Seperti kalau untuk perda yang melarang perempuan keluar pada jam malam, tentu tidak pukul rata begitu saja, pasti mempertimbangkan alasan-alasan lainnya contoh bagi perempuan yang berprofesi sebagai perawat atau dokter berjaga di malam hari," tuturnya.
Oleh karena itu, ia mengimbau kepada pihak-pihak yang masih mempermasalahkan kehadiran perda-perda berbasis aturan agama agar dapat memaknainya dengan bijak.
Sebenarnya, Rancangan Peraturan Daerah tentang Penyelenggaraan Kota Religius yang diusulkan Pemkot Depok sudah ditolak Badan Musyawarah DPRD Depok pada Mei 2019.
Saat itu, menurut Ketua DPRD Kota Depok yang juga politikus PDI-P Hendril Tangke Allo, raperda itu ditolak karena religiusitas merupakan hal yang bersifat sangat pribadi, terkait hubungan manusia dengan manusia dan manusia dengan Tuhan. Bukan kewenangan pemkot.
Sementara itu, intelektual muda Nahdlatul Ulama (NU) sekaligus politikus PDI-P Zuhairi Misrawi mengatakan, istilah Perda Syariah ataupun Perda Injil yang muncul di beberapa daerah, hanya istilah akademis. Apa pun aturan yang ada di daerah, menurutnya, tetap menjadi ranah perda provinsi maupun kabupaten.
"Yang harusnya menjadi perhatian itu bagaimana perda-perda yang disebut Perda Syariah atau Perda Injil itu posisinya diskriminatif, ini yang harusnya dievaluasi," ujar Zuhairi ketika dihubungi, Selasa (16/7).
Menurutnya, selama perda-perda yang menarik dasar aturan agama tidak merugikan pihak-pihak tertentu, harusnya tidak dipermasalahkan.
"Perda-perda itu kan sudah disahkan oleh pemerintah daerah. Itu kan kewenangannya ada di Kementerian Hukum dan HAM, kemudian Menteri Dalam Negeri dan Mahkamah Konstitusi juga sudah mengatakan bahwa sebuah kebijakan yang dilahirkan parlemen, dalam hal ini DPRD, ya harus dilaksanakan," tuturnya.
Ke depan, Zuhairi berharap, pemerintah daerah yang menjabat bisa lebih berhati-hati dalam mengesahkan sebuah kebijakan baru, supaya tak timbul kesalahpahaman di masyarakat.
"Karena perda-perda itu tidak ditulis secara eksplisit menyebut kata syariah atau Injil, maka menurut saya perlu perhatian lebih agar tidak ada diskriminasi terhadap perempuan, kelompok minoritas, maupun secara parsial," ucapnya.