close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi Pemuda Pancasila. Alinea.id/Firgie Saputra.
icon caption
Ilustrasi Pemuda Pancasila. Alinea.id/Firgie Saputra.
Nasional
Sabtu, 04 Desember 2021 14:13

Pemuda Pancasila: Dibentuk militer, dekat dengan Orde Baru

Di masa Orde Baru, Pemuda Pancasila dekat dengan Golkar dan militer.
swipe

Organisasi kemasyarakatan (ormas) Pemuda Pancasila menjadi sorotan kembali usai beberapa anggotanya mengeroyok Kepala Bagian Operasional Direktorat Lalu Lintas Polda Metro Jaya Ajun Komisaris Besar Dermawan Karosekali, ketika mereka tengah berunjuk rasa di depan Gedung DPR/MPR, Jakarta, pada Kamis (25/11).

Demonstrasi itu digelar menuntut bertemu anggota DPR dari fraksi PDI-P, Junimart Girsang. Anggota Pemuda Pancasila tak terima dengan pernyataan Junimart, yang mendesak Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) untuk tak memperpanjang dan mencabut izin ormas yang meresahkan.

Pernyataan itu dilontarkan Junimart, yang Wakil Ketua Komisi II DPR pada Senin (22/11), merespons bentrokan antara anggota ormas Forum Betawi Rempug (FBR) dengan Pemuda Pancasila di Ciledug, Tangerang pada Jumat (19/11).

Pemuda Patriotik ke Pemuda Pancasila

Jika ditarik ke belakang, Pemuda Pancasila secara tak langsung lahir dari kekecewaan Abdul Haris Nasution, yang dibebastugaskan dari jabatannya sebagai Kepala Staf Angkatan Darat (KASAD), usai peristiwa 17 Oktober 1952.

Menurut Muryanto Amin dalam Politik Layar Terkembang: Lintasan Sejarah Pemuda Pancasila Sumatera Utara dalam Kekuasaan (2013), pemantik peristiwa 17 Oktober 1952 adalah dipensiunkannya 80.000 dari 200.000 tentara, menyusul diterimanya mosi Manai Sophiaan oleh parlemen pada 16 Oktober 1952. Mosi tersebut menyatakan keharusan diadakannya reorganisasi dan mutasi di lingkungan Angkatan Perang dan Kementerian Pertahanan.

Tentara dan bekas Pembela Tanah Air (PETA) merasa disudutkan dan menganggap parlemen terlalu campur tangan. Akibatnya, demonstrasi besar-besaran menuntut pembubaran parlemen dan mendesak pemerintah menggelar pemilu terjadi pada 17 Oktober 1952.

Konsekuensinya, selain Kolonel Abdul Haris Nasution, pemerintah membebastugaskan Letkol S. Parman dari Corp Polisi Militer (CPM) dan Letkol Sutoko dari Markas Besar Angkatan Darat (Mabad).

Ketua MPR/DPR yang diwakili KH Masyur menerima Dewan Pimpinan Wilayah Pemuda Pancasila, yang menyampaikan pokok pikiran dan bahan pertimbangan dalam sidang umum MPR pada 30 Januari 1978./Foto khastara.perpusnas.go.id

“Banyak pengamat yang menghubungkan peristiwa 17 Oktober 1952 ini dengan lahirnya ide di kalangan perwira tentara yang mendukung peristiwa tersebut untuk membentuk sebuah ikatan,“ tulis Muryanto.

Nasution bersama Gatot Subroto, didukung Ahmad Yani, kemudian membentuk Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI) pada 20 Mei 1954. Pemuda Pancasila dibentuk pada 28 Oktober 1959, sebagai sayap pemuda IPKI. Namun, pembentukannya ada beragam versi.

Sebelum ada Pemuda Pancasila, ada Pemuda Patriotik. Ketua Umum Pemuda Pancasila sejak 1981, Japto Soerjosoemarno dalam buku Percikan Pemikiran Yapto S. Soerjosoemarno (1993) menyebut, dalam kongres IPKI ke IV pada 1964, nama Pemuda Patriotik diubah menjadi Pemuda Pancasila.

Sementara Loren Ryter dalam tulisannya “Pemuda Pancasila: The Last Loyalist Free Men of Suharto’s Order“ di buku Violence and the State in Suharto’s Indonesia (2001) menyebut, bisa jadi Pemuda Patriotik dan Pemuda Pancasila organisasi berbeda. Ryter menjabarkan beberapa versi.

Menurutnya, Pemuda Patriotik dibentuk mantan Ketua IPKI, Soegirman yang menolak Ketua IPKI hasil kongres di Surabaya pada Juli 1961, Ratu Aminah Hidayat. Ratu Aminah mengaku pengagum Bung Karno dan disebut sebagai seseorang yang dekat dengan Moskow.

Sedangkan kelompok Ratu Aminah, sebut Ryter, mengatakan ada organisasi bernama Pemuda Patriotik sebelumnya, dan membubarkan diri pada 1959. Kemudian menjadi bagian Pemuda Pancasila, yang keberadaannya tak diformalkan hingga kongres IPKI 1961.

“Para pendiri Pemuda Patriotik mengatakan mereka baru berkumpul pada tahun 1960 atas permintaan Nasution, dan bahwa Pemuda Pancasila tidak pernah ada sebelum mereka menyetujui perubahan nama di kongres Surabaya,“ tulis Ryter.

Versi lainnya, Pemuda Pancasila dibentuk Spego Goni. Hal itu ia ungkapkan dalam Sejarah Singkat Lahirnya Pemuda Pancasila (1993)—buku yang tak pernah disahkan Pengurus Pusat Pemuda Pancasila. Terbentuknya Pemuda Pancasila versi Spego ini cukup unik, berawal dari polemik Miss Indonesia.

Bermula ketika Spego ingin mengadakan Miss Indonesia pertama pada Desember 1961. Padahal, saat itu, Sukarno berseru memobilisasi massa dalam usaha membebaskan Irian Barat dari Belanda.

Menurut Ryter, usai Sukarno secara terbuka mencela kontes kecantikan itu karena tak sesuai karakter bangsa, Pemuda Rakyat—sayap pemuda Partai Komunis Indonesia (PKI) di seluruh Jakarta merobohkan poster-poster dan spanduk-spanduk publikasi kontes tersebut.

Di tengah kekecewaan Spego kemudian mengajukan gagasan pembentukan Pemuda Pancasila—sebuah pasukan siap tempur—dan menawarkan dikirim ke Irian Barat.

Terlepas dari ragam versi itu, tak bisa dimungkiri Pemuda Pancasila menjelma menjadi kekuatan organisasi pemuda baru saat itu. Menurut Kanjeng Raden Tumenggung H. Hardi Mulyono Kartonegoro Surbakti, yang pernah menjadi Ketua Pemuda Pancasila Medan Sunggal (2001-2007) dalam buku biografinya Kanjeng Raden Tumenggung H. Hardi Mulyono Kartonegoro Surbakti: Langkah Cermat Anak Kebon (2020), Pemuda Pancasila dibentuk untuk mengimbangi Pemuda Rakyat.

Menurut dia, ketika Pemuda Pancasila berdiri, Pemuda Rakyat sangat dominan dan aktif merekrut para pemuda sebagai kader dan sumber kekuatan PKI.

“Sehingga Pemuda Pancasila kala itu sulit berkembang. Bahkan Pemuda Pancasila mendapat tekanan dari Pemuda Rakyat yang memiliki massa jauh lebih banyak,“ tulis Hardi Mulyono.

Dalam kuasa Orde Baru

Menurut Muryanto, setelah kongres IPKI di Surabaya pada Juli 1961, dilakukan upaya pemekaran Pemuda Pancasila di seluruh Indonesia. Pemuda Pancasila wilayah Sumatera Utara, termasuk salah satu yang militan. Organisasi ini banyak merekrut anak jalanan dan preman di Medan.

Pada Juli 1963, Effendi Nasution terpilih menjadi Ketua Dewan Pimpinan Wilayah Pemuda Pancasila Sumatera Utara. Di bawah Effendi, Pemuda Rakyat di Medan makin kuat.

Sebelum terjadi tragedi 30 September 1965, Pemuda Pancasila dan Pemuda Rakyat di Medan seringkali terlibat pertikaian.

 Presiden Joko Widodo (empat kiri) bersama Ketua MPR yang juga Wakil Ketua Umum Majelis Pimpinan Nasional (MPN) Pemuda Pancasila (PP) Bambang Soesatyo (ketiga kiri), Ketua DPD La Nyalla Mattalitti (kedua kiri), Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh (kiri) dan Ketua Umum MPN PP Japto Soerjosoemarno (kelima kiri) menghadiri peresmian pembukaan Musyawarah Besar (Mubes) X dan Perayaan HUT ke-60 Pemuda Pancasila di Jakarta, Sabtu (26/10/2019). /Foto Antara/Reno Esnir.

“Satu peristiwa terjadi antara tahun 1964–1965, seorang anggota Pemuda Pancasila, Yan Paruhum Lubis atau Ucok Majestik, diculik Pemuda Rakyat. Sebagai gantinya Pemuda Pancasila mengambil Ketua Pemuda Rakyat wilayah Medan Barat,“ tulis Muryanto.

Usai tersiar kabar berita tentang pembunuhan para jenderal di Jakarta melalui corong RRI pada 2 Oktober 1965, anggota Pemuda Pancasila di Medan bergerak tanpa arahan menyerang kantor dan rumah anggota PKI.

Pada 29 Oktober 1965 dibentuk gerakan komando aksi atas prakarsa Pemuda Pancasila untuk menumpas PKI. Usai demonstrasi di Kantor Konsulat Republik Rakyat Tiongkok (RRT) pada 10 Desember 1965, yang menyebabkan seorang peserta aksi tewas tertembak, kerusuhan rasial pecah.

“Tak kurang 150 orang Tionghoa Medan tewas dalam peristiwa berdarah itu,“ tulis Muryanto.

Menurut Ryter, Pemuda Pancasila di Medan dan Aceh bisa dibilang mengambil peran utama pembantaian komunis, seperti yang dilakukan Pemuda Ansor Nahdlatul Ulama (NU) di sebagian Jawa dan Partai Nasional Indonesia (PNI) di Bali.

Di Jakarta, sebut Ryter, Pemuda Pancasila ikut menggerebek Kantor Komite Sentral PKI di Jalan Raden Saleh dan kantor Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia (Baperki)—yang dituduh terkait PKI.

Pascatragedi 1965 ini Pemuda Pancasila makin digdaya, sebagai organisasi antikomunis paling militan. Pada awal 1980-an, ketika ada Operasi Celurit atau dikenal dengan penembakan misterius (petrus) untuk memberantas kejahatan jalanan dengan menembak para preman, anggota Pemuda Pancasila selamat dari masa-masa itu.

Menurut Ian Douglas Wilson dalam buku Politik Jatah Preman: Ormas dan Kuasa Jalanan di Indonesia Pasca Orde Baru (2018) kunci bertahan hidup dari petrus bagi preman, dengan cara berorganisasi dan menyatakan kesetiaan kepada Golkar, militer, dan Presiden Soeharto.

“Dengan ciri khas seragam loreng oranye-hitam, Pemuda Pancasila sukses menerjemahkan logika jago ke dalam format organisasi modern. Sebuah mekanisme jarak pun tercipta, yang membuat aksi-aksi dan ekses-ekses individual bisa disangkal sebagai berbuatan oktum,” tulis Wilson.

Japto—yang tulis Ryter merupakan sepupu jauh dari Tien Soeharto—terpilih menjadi Ketua Umum Pemuda Pancasila pada 1981. Menurut Abdul Arif dalam skripsinya Pemuda Pancasila dan Rezim Represif Orde Baru (2013), ormas ini mulai merekrut kalangan pelajar hingga sarjana. Selain para “penjaga keamanan” bioskop, pasar, dan parkir liar.

Pemuda Pancasila pun mendekatkan diri dengan Golkar dan militer. “Kedekatan Pemuda Pancasila dan Golkar menghasilkan banyak anggotanya menjadi anggota MPR dan DPR,” tulis Abdul.

Sedangkan kedekatan dengan militer, sebut Abdul, terlihat kala Pemuda Pancasila ikut dalam pengerahan massa ke Kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat, yang saat itu dikuasai pendukung Megawati Soekarnoputri pada 27 Juli 1996—dikenal dengan peristiwa Kudatuli.

Menurut Wilson, Pemuda Pancasila yang mendominasi sepanjang 1980-an dan awal 1990-an, berada dalam persaingan langsung dengan formasi baru kelompok yang secara perlahan mulai merangkak naik di jalanan Jakarta pada 1998.

“Berbeda dengan para pendahulu mereka yang bersumpah setia sampai mati kepada negara dan Golkar, garda baru preman ini dicirikan oleh rujukan kepada identitas yang secara khas bersifat lokal,” tulis Wilson.

Sementara menurut Ryter, usai peristiwa Mei 1998, kontrak untuk Pemuda Pancasila di “proyek preman” mulai mengering, dengan kekuasaan bergeser mendukung preman yang berorientasi agama. Pascareformasi inilah, Pemuda Pancasila mulai mendapat “lawan” sepadan dari ormas berbasis agama dan identitas etnis.

img
Fandy Hutari
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan