Penanganan terorisme oleh Korps Bhayangkara tertuang dalam buku berjudul Radikalisme Terorisme dan Deradikalisasi di Indonesia. Buku ini mengabadikan kerja keras Polri dan pihak-pihak terkait dalam menangani terorisme.
Asisten Kapolri bidang Sumber Daya Manusia (As SDM) Dedi Prasetyo mengatakan, dalam penanganan terorisme di Indonesia dibutuhkan intervensi untuk mencegah perkembangan paham radikalisme. Sebab, Indonesia merupakan negara yang memiliki heterogenitas tinggi adanya intoleransi yang dapat melahirkan paham radikal dan dapat berujung pada aksi terorisme.
“Buku ini mengabadikan kerja keras Polri dan pihak-pihak terkait dalam menangani terorisme, mengupas tentang terorisme dan soft deradikalisasi untuk memperkaya pemahaman pembaca,” kata Dedi dalam keterangan, Rabu (12/7).
Menurutnya, salah satu bentuk intervensi yang dapat dilakukan adalah pencegahan melalui pengembangan kearifan lokal yang kontra ideologi radikalisme dan terorisme.
“Untuk merealisasikan hal ini, dibutuhkan kerja sama dan dukungan dari seluruh elemen masyarakat,” ujarnya.
Sementara itu, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komjen Rycko Amelza Dahniel menilai, buku ini menunjukkan kepedulian dan kontribusi positif untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat bahwa terorisme adalah kejahatan yang dapat memecah belah NKRI.
"Bibitnya berasal dari tindakan intoleran, radikal, ekstremisme. Ini adalah kejahatan serius dan dapat memecah belah NKRI. Kenapa? Karena intoleran tidak bisa menerima perbedaan, sedangkan Indonesia dibangun dari berbagai perbedaan-perbedaan kebangsaan, perbedaan fitrah manusia di bumi," ujarnya.
Mengutip Survei GTI 2022 dan 2023, Rycko menyatakan, Indonesia berada di peringkat ke-24 dari 163 negara di dunia yang paling terdampak terorisme. Sementara di 2020, Indonesia berada di urutan 37.
Baginya, hal itu disebabkan karena kelompok kriminal bersenjata (KKB) di Papua dimasukkan ke dalam kategori teror. Indikatornya, serangan atau insiden, korban luka dan meninggal, sandera, kerusakan properti, dan dampak ekonomi yang ditimbulkan.
"Kita tidak bisa menanggulangi terorisme sendiri. Terdapat 81 organisasi masyarakat sipil dan sejumlah mitra pembangunan internasional yang ikut terlibat dalam pencegahan-kotra radikalisasi di tingkat nasional, regional, dan global," jelasnya.
Oleh karena itu, membangun kesadaran publik penting dilakukan. Salah satunya melalui buku 'Radikalisme, Terorisme, dan Deradikalisasi di Indonesia' ini.