close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Aktivis HAM yang juga dosen Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Robertus Robet (ketiga kiri) didampingi Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Pol Dedi Prasetyo (ketiga kanan) memberikan keterangan pers usai menjalani pemeriksaan di Bareskirm Mabes Polri, Ja
icon caption
Aktivis HAM yang juga dosen Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Robertus Robet (ketiga kiri) didampingi Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Pol Dedi Prasetyo (ketiga kanan) memberikan keterangan pers usai menjalani pemeriksaan di Bareskirm Mabes Polri, Ja
Nasional
Kamis, 07 Maret 2019 16:47

Penangkapan Robertus Robet alarm bahaya bagi demokrasi

Aktivis HAM dan dosen UNJ Robertus Robet menyanyikan plesetan lirik lagu “Mars ABRI” dalam Aksi Kamisan di depan istana negara.
swipe

Angkatan Bersenjata Republik Indonesia 
Tidak berguna bubarkan saja 
Diganti Menwa (Resimen Mahasiswa), kalau perlu diganti pramuka 
Naik bus kota enggak pernah bayar 
Apalagi makan di warung Tegal

Itu adalah penggalan lirik lagu dari plesetan “Mars ABRI” yang dinyanyikan oleh Aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) dan dosen Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Robertus Robet dalam Aksi Kamisan, Kamis (28/2), di depan istana negara. Video orasi Robert beredar luas, dan Rabu malam (6/3), Robertus Robert ditangkap di rumahnya atas delik UU ITE.

Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat Ricky Gunawan menilai lagu tersebut lazim dinyanyikan oleh aktivis mahasiswa tahun 1996 hingga 1998 untuk menolak dwifungsi ABRI/militer. Oleh karena itu, katanya, nyanyian tersebut tidak boleh dilepaskan dari konteks sejarahnya.

“Orasi Robert juga tidak mengandung ujaran kebencian. Tidak ada hasutan, ataupun propaganda menyebarkan kebencian,” katanya ketika dihubungi Alinea.id, Kamis (7/3).

Ia menilai penangkapan Robertus Robert adalah upaya berlebihan yang dilakukan oleh kepolisian, tidak berdasar dan mengancam kebebasan berekspresi.

“Penggunaan UU ITE untuk menjerat orasi Robert tidak tepat karena penyampaian pendapat dilakukan secara offline, bukan online sebagaimana intensi eksistensi UU ITE,” katanya.

Penggunaan Pasal 207 KUHP yaitu penghinaan terhadap penguasa juga dinilai tidak beralasan. Menurut Mahkamah Konstitusi (MK), pasal tersebut digunakan apabila terdapat pengaduan langsung dari penguasa.

“Artinya, jika TNI merasa terhina terhadap pernyataan Robet, Panglima TNI lah yang harus membuat pengaduan ke polisi,” tutur Ricky.

Ricky menilai, secara umum tindakan kepolisian seolah hendak menebar efek ketakutan (chilling effect), yang membungkam kemerdekaan berpendapat dan berekspresi.

“Tindakan kepolisian itu juga adalah alarm bagi kehidupan berdemokrasi kita,” tuturnya.

Sementara itu dukungan solidaraitas untuk Robertus Robert mengalir deras, sejumlah lembaga swadaya masyarakat dan media yang tergabung dalam Tim Advokasi Kebebasan Berekspresi, menilai Robert tidak sedikitpun menghina institusi TNI.

Dalam refleksinya Robet justru mengatakan mencintai TNI dalam artian mendorong TNI yang profesional. Menurut mereka penangkapan robert adalah ancaman sipil di masa reformasi. 

“Refleksi yang memberikan komentar apalagi atas kajian akademis atas suatu kebijakan tidak dapat dikategorikan sebagai kebencian atau permusuhan,” tulis keterangan rilis yang dikeluarkan Tim Advokasi, Kamis (7/3).

Pasal-pasal yang digunakan yaitu Pasal 207 KUHPidana dan pasal 28 ayat (2) jo, UU ITE untuk menjerat Robert, dinilai sering disalahgunakan untuk merepresi kebebasan berekspresi dan tidak tepat.

Untuk itu Tim Advokasi, memandang penangkapan Robertus Robert tidak beralasan dan menciderai negara hukum  dan demokrasi, dan oleh karenanya menuntut agar Robert segera dibebaskan. 

img
Nanda Aria Putra
Reporter
img
Sukirno
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan