close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi jaminan hari tua. Foto Pixabay.
icon caption
Ilustrasi jaminan hari tua. Foto Pixabay.
Nasional
Selasa, 15 Februari 2022 18:45

Pencairan JHT tunggu 56 tahun, negara tak peka terhadap kebutuhan pekerja

Penolakan aturan baru datang, terutama dari kalangan serikat pekerja.
swipe

Polemik mengenai pencairan Jaminan Hari Tua (JHT) BPJS Ketenagakerjaan di usia 56 terus bergulir. Peraturan yang tertuang dalam Permenaker Nomor 2 Tahun 2022 itu dinilai tidak peka terhadap kebutuhan pekerja. Sebelumnya dalam Permenaker Nomor 19 Tahun 2015 pekerja hanya perlu menunggu satu bulan untuk mencairkan JHT secara tunai. Penolakan aturan pun datang, terutama dari kalangan serikat pekerja.

Pakar Kebijakan Publik yang juga Pengajar Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta dan juga pendiri Narasi Institute, Achmad Nur Hidayat menilai perubahan permenaker tersebut tidak tepat dilakukan saat pemutusan hari kerja (PHK) meningkat di tengah pandemi Covid-19.

JHT yang tidak dapat dicairkan segera akan mencekik buruh yang terkena PHK. Tren ini sejalan dengan angka PHK yang meningkat tajam sepanjang 2021. Ditjen Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) dan Jamsos mencatat 143.065 pekerja kehilangan pekerjaan. Covid-19 menyebabkan 2.819 perusahaan berpotensi tutup dan 1,07 juta orang dirumahkan.

“Bila pekerja harus dirumahkan mungkin mereka berniat mencari pekerjaan lain, namun ketika pekerjaan tidak bisa ditemukan, pencairan JHT akan membantu mereka bertahan hidup dan membuka usaha mandiri,” kata Achmad dalam keterangan resminya, Selasa (15/2).

Penundaan JHT sampai usai 56 tahun menyebabkan para pekerja berpotensi menjadi beban pemerintah dan masyarakat karena mereka tidak memiliki penghasilan untuk menghidupi diri dan keluarga. Menurut Achmad pencairan JHT berbasis Permenaker No 19 Tahun 2015 sudah tepat di saat krisis ekonomi.

JHT uang milik pekerja, bukan dana pemerintah

Peraturan JHT yang baru ini mengesankan seolah-olah negara memiliki kemampuan pengelolaan dana JHT yang lebih baik ketimbang pekerja. Negara juga sangat otoriter jika menganggap rakyat tidak bisa mengelola dengan baik dana JHT-nya sendiri.

Padahal iuaran JHT adalah iuran para pekerja atas kerja mereka. Dalam konteks kebijakan, negara seharusnya bersifat netral dan mengizinkan setiap orang untuk mengelola sendiri dana JHT-nya. Landasan ini sebelumnya sudah digunakan dalam menetapkan Permenaker Nomor 19 Tahun 2015. Dana milik pekerja selayaknya kembali kepada pekerja.

Sebaliknya, Permenaker terbaru memiliki arogansi dan mengakomodasi superioritas negara atas individu. Padahal, ujarnya, tidak ada rujukan teoritis dan filosofis yang standar terkait JHT. Umumnya individu yang mengikuti program perencanaan hari tua juga bisa mengambil dana asuransinya kapanpun. Oleh sebab itu, Permenaker Nomor 2 Tahun 2022 harus dibatalkan.

Permenaker ini juga dinilai kontradiktif dengan semangat kewirausahaan dan kemandirian masyarakat karena dana JHT yang bisa digunakan untuk modal wirausaha justru ditahan oleh pemerintah. Menurutnya, pemerintah yang tengah ngebut melakukan pemulihan ekonomi nasional (PEN) justru meneken kebijakan yang menghambat modal pekerja membuka usaha atau bisnis usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).

Ilustrasi pekerja. Foto Pixabay.

Lebih lanjut peraturan baru ini justru mengisyaratkan pemerintah sedang memiliki keterbatasan likuid serta memiliki agenda investasi lain yang tidak berpihak kepada pekerja. Padahal pemerintah mengeklaim JHT memiliki beberapa manfaat di antaranya akumulasi iuran dari pengembangan, serta peserta dengan keanggotaan sepuluh tahun akan memperoleh nilai klaim 30% untuk kebutuhan perumahan ditambah 10% lain untuk kebutuhan di luar perumahan. Di lain sisi, Permenaker tersebut bisa menahan dana sekitar Rp387,45 triliun milik pekerja untuk mengatasi keterbatasan likuid pemerintah atau akan diinvestasikan lain untuk proyek-proyek infrastruktur.

"Tuduhan tersebut cukup beralasan karena defisit APBN 2021 mencapai Rp787 triliun dan Bank Indonesia tidak diizinkan lagi membeli Surat Utang Negara (SUN) untuk menutupi defisit APBN tersebut." ujarnya.

Tuduhan penahanan dana ini sejalan dengan total investasi yang dikelola BPJS Jamsostek yang mencapai Rp553,5 triliun hingga akhir 2021. Mayoritas dana tersebut atau sekitar 63% digunakan ditempatkan di surat utang. Lalu, 19% di deposito, 11% di saham, 6,5% di reksa dana, dan 0,5% sisanya merupakan investasi langsung. Bila dana investasi JHT (70%) Rp387,45 triliun dapat dikelola sampai pekerja berusia 56 tahun maka pemerintah memiliki dana likuid yang cukup besar untuk dimanfaatkan.

JKP bukan solusi tepat untuk gantikan JHT

Dia bilang, pemerintah berlindung di balik mekanisme Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) untuk menahan dana JHT para pekerja. Dana JKP ini akan diberikan kepada pekerja ter-PHK dengan besaran sesuai iuran yang dibayarkan di BP Jamsostek.

Selain itu, ujarnya, pemerintah berdalih keberadaan JKP di PP Nomor 37 Tahun 2021 atau turunan UU Nomor 11 Tahun 2022 sudah cukup memberikan solusi pekerja yang kehilangan pekerjaan.

"Namun, kesimpulan ini tidaklah tepat. JKP tidak bisa menjawab kebutuhan pekerja untuk akan sulitnya mencari pekerjaan di masa pandemi Covid-19 karena jumlahnya yang terlalu kecil." katanya.

Pasalnya, JKP memberikan manfaat berupa uang tunai, akses ke informasi kerja, bimbingan dan konseling karier, serta pelatihan kerja.

"JKP tidak efektif karena selain uang tunainya kecil juga tidak banyak manfaat dari kegiatan pelatihan dan bimbingan kerja saat pekerjaan sulit ditemukan. Selain uang tunai hanya cukup 1-2 bulan karena hilang pekerjaan, pencairan JKP juga sulit dan rumit," tuturnya.

img
Nadia Lutfiana Mawarni
Reporter
img
Satriani Ari Wulan
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan