close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Terdakwa kasus dugaan kepemilikan 50 Kg sabu, Ade Kurniawan (kiri) diancam hukuman mati.AntaraFoto
icon caption
Terdakwa kasus dugaan kepemilikan 50 Kg sabu, Ade Kurniawan (kiri) diancam hukuman mati.AntaraFoto
Nasional
Kamis, 10 Oktober 2019 19:34

Pencalonan Indonesia sebagai Dewan HAM PBB dipertanyakan

Gufron menilai indikator utama HAM di Indonesia tidak berjalan dengan baik, karena masih adanya vonis hukuman mati kepada narapidana.
swipe

Wakil Direktur Imparsial Gufron Mabruri mempertanyakan keinginan pemerintah untuk kembali mencalonkan diri sebagai salah satu anggota Dewan Hak Asasi Manusia (DHAM) untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

"Gimana caranya bicara kondisi HAM di negara lain, tapi di negara sendiri masih amburadul," ujar Gufron di kantor Imparsial, Jakarta pada Kamis (10/10).

Gufron menilai indikator utama HAM di Indonesia tidak berjalan dengan baik, karena masih adanya vonis hukuman mati kepada narapidana.

Dari catatan Imparsial, tiga gelombang eksekusi hukuman mati terhadap 18 orang telah dilakukan dari 2014 sampai 2019. 221 vonis hukuman mati juga telah dijatuhi pengadilan selama periode itu.

Hukuman mati dianggap Gufron telah mencederai HAM yang tercantum di UUD 45, yakni hak setiap manusia untuk hidup. Hukuman mati juga dianggap menutup ruang koreksi bagi narapidana, karena tidak mempunyai kesempatan memperbaiki kesalahan yang telah mereka buat.

Selain itu, Gufron juga menyatakan hukuman mati tidak mempunyai hubungan objektif terhadap naik atau turunnya angka kejahatan di Indonesia. Dari catatan Imparsial, pada periode 2014-2019 angka vonis hukuman mati sangat tinggi. Tetapi angka kejahatan sebelum 2014 jauh lebih kecil ketimbang periode 2014-2019, padahal vonis hukuman mati sebelum 2014 tidak sebanyak sekarang.

"Tidak ada bukti objektif bahwa HAM punya korelasi terhadap naik turunnya angka kejahatan, justru sebelum 2014 itu angka kejahatan kecil, padahal vonis hukuman matinya sedikit," ujar Gufron.

Itulah sebabnya Gufron berpendapat Indonesia belum cocok menjadi salah satu anggota dewan HAM PBB, atau jika tetap ingin mencalonkan diri kembali, maka harus ada banyak perubahan dipelaksanaan HAM di Indonesia.

Tuntutan seperti hukuman mati harus dihapuskan dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana, dan memberlakukam moratorium hukuman mati serta menghapus pidana mati dalam sistem hukum di Indonesia.

"Kami menuntut diberlakukannya moratorium, serta pidana mati dihapus dalam sistem hukum di Indonesia," ujarnya.

Untuk diketahui sebelumnya, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi melaporkan rencana pencalonan Indonesi sebagai anggota Dewan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa periode 2020-2022 kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada September.

 Indonesia pernah menjadi anggota Dewan HAM sebanyak empat kali, yaitu pada tahun 2006-2007 (founding member), 2007-2010, 2011-2014, dan 2015-2017.

Menlu percaya dipercayanya Indonesia sebagai anggota Dewan HAM PBB, tidak saja memungkinkan Indonesia untuk berpartisipasi secara aktif dan menentukan arah pembahasan suatu isu, namun juga secara langsung memperjuangkan kepentingkan nasional, termasuk memagari kedaulatan NKRI. Kepercayaan masyarakat internasional terhadap Indonesia ini merupakan pengakuan terhadap kredibilitas Indonesia dalam upaya pemajuan dan perlindungan HAM di berbagai tingkatan.

 

 

 

img
Rizki Febianto
Reporter
img
Hermansah
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan