Polri masih melakukan perburuan tersangka kasus penistaan agama Saifuddin Ibrahim yang diduga berada di Amerika Serikat (AS). Upaya ini juga memberikan dua opsi bagi Saifuddin untuk penyelesaian kasus ini.
Kabag Penum Divisi Humas Polri, Kombes Gatot Repli Handoko mengatakan, opsi pertama adalah Saifuddin Ibrahim diminta menyerahkan diri untuk pulang ke Indonesia. Jika tidak mau, masih ada opsi kedua, yaitu pihaknya telah bekerja sama dengan FBI untuk menangkap tersangka di Amerika Serikat.
"Kita masih berkoordinasi dengan FBI untuk proses pemulangan antara dia menyerahkan diri atau diamankan oleh FBI," kata Gatot dalam keternagan, Sabtu (14/5).
Ia menuturkan, pihaknya juga masih menunggu hasil koordinasi antara Hubinter Mabes Polri dengan FBI, khususnya mengenai rencana pengembalian tersangka dari AS.
"Jadi intinya kepolisian masih berkoordinasi dengan FBI dalam hal ini pihak Hubinter terkait dilakukan proses pemulangan," ujarnya.
Sebelumnya, Direktorat Tindak Pidana Siber (Dittipidsiber) Bareskrim Polri menetapkan pendeta Saifuddin Ibrahim sebagai tersangka kasus dugaan penistaan agama. Saifuddin sempat meminta 300 ayat di dalam Al-Qur'an dihapus melalui video di YouTube.
"Yang bersangkutan sudah ditetapkan sebagai tersangka oleh penyidik siber," kata Kadiv Humas Mabes Polri, Irjen Dedi Prasetyo, saat dikonfirmasi, Rabu (30/3).
Berdasarkan hasil penyelidikan awal, penyidik menduga Saifuddin berada di Amerika Serikat (AS). Dedi mengatakan, penyidik akan berkoordinasi dengan Ditjen Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Luar Negeri, hingga Federal Bureau Of Investigation (FBI).
"Dugaan keberadaan saudara SI di Amerika Serikat," ujarnya.
Di sisi lain, kata Dedi, penyidik juga telah melakukan pemeriksaan terhadap sejumlah ahli. Di antaranya ahli bahasa, ahli sosiologi hukum, ahli agama Islam, dan ahli hukum pidana.
Menteri Koordinator Politik Hukum dan HAM (Menko Polhukam), Mahfud MD, meminta penegak hukum agar mendalami penghapusan 300 ayat Al-Qur'an oleh pendeta Saifuddin Ibrahim. Pendalaman dilakukan guna menemukan unsur pidana terkait penistaan agama.
Mahfud lalu mengutip UU Nomor 5 Tahun 1969 tentang Pernyataan Berbagai Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden sebagai UU yang merupakan pembaruan dari UU Nomor 1/PNPS/1965. Menurutnya, kedua perundang-undangan ini tidak lepas dari perlindungan umat beragama di Indonesia yang berlaku sampai sekarang dan pelaku terancam pidana lebih dari 5 tahun.