Pada awal 2022, tepatnya 2 Januari 2022, melalui akun Twitter resminya, lembaga Eijkman, mengucapkan kalimat perpisahan yang menyedihkan publik Indonesia.
Peneliti Eijkman menuliskan kalimat perpisahan yang menyayat perasaan publik, setelah 33 tahun lembaga tersebut berkiprah dalam pengembangan penelitian Biologi Molekuler Kesehatan dan Obat di Indonesia dan dunia.
Lebih menyedihkannya lagi, peleburan Eijkman ke Badan Riset dan Teknologi (BRIN) berujung pada PHK-nya 100 peneliti Eijkman. Lalu bagaimana sebenarnya persoalan tata kelola kelembagaan dan birokrasi kepegawaian BRIN? dan bagaimana masa depan research center Indonesia?
Cendikiawan Indonesia Azyumardi Azra mengungkapkan, penciptaan BRIN yang kemudian mengintegrasikan dan menglikuidasi berbagai Lembaga Penelitian Non Kementerian (LPNK) itu menjadi malapetaka untuk riset dan inovasi Indonesia. Karena menurutnya, dengan dilikuidasinya Eijkman, maka terjadilah dekonstruksi kelembagaan dan juga sumber daya manusia, sehingga menjadi tercerai-berai.
“Pak Jokowi bilang kita mengeluarkan dana APBN Rp30 triliun untuk penelitian di berbagai lembaga riset dan kementerian, hasilnya apa? Saya bilang Pak Jokowi keliru melihatnya, karena kalau Rp30 triliun dibangun untuk jalan raya/tol jelas kelihatanya. Tetapi kalau untuk riset, apalagi riset misalnya vaksin Merah Putih itu tidak jelas. Jadi cara pandang yang dipakai dalam melihat peneliti/riset dan inovasi ini dengan melihat infrastrukturistik itu tidak cocok,” jelas dia dalam kegiatan zoominari kebijakan publik “Tata Kelola BRIN dan Masa Depan Penelitian Indonesia”, Jumat (7/12).
Ia mengatakan, bahwa ini menjadi salah satu gejala yang menonjol dalam pemerintahan saat ini yaitu, resentralisasi.
“Jadi resentralisasi bukan hanya soal mengancam otonomi daerah. Tetapi juga sumber daya daerah ditarik semua ke Jakarta, serta kerusakan lingkungan yang penting investor masuk. Itu yang terjadi akibat resentralisasi. Dan dua tahun kedepan resentralisasi itu menghilangkan kuasa rakyat atau daulat rakyat,” ujarnya.
Bahkan ia menyebutkan hal itu sebagai malapetaka kemanusiaan.
“Kita sama sekali tidak manusiawi. Mereka itu dipecat tanpa pesangon, dan diberikan alternatif yang tidak mungkin ditempuh oleh para peneliti itu. Padahal lembaga-lembaga penelitian itu memerlukan orang-orang kualifikasi seperti itu. Tidak harus semua S3. Tidak harus semua profesor/doktor, yang SMA kita perlukan juga, atau mungkin tamatan politeknik itu juga kita perlukan. Yang seperti ini saya kira menjadi malapetaka, dan ini saya kira akan terus berlanjut,” tutur dia.
Lebih lanjut, ia juga mengatakan bahwa hal ini patut disesalkan, bahkan menjadi bencana terhadap riset dan inovasi Indonesia.
"Karena riset dan inovasi membutuhkan ekosistem, arsitektur lingkungan yang paling bagus. Saya baca belakang yang paling bagus itu lembaga Eijkman. Ada saling menghormati dan menghargai. Jadi tidak birokratis seperti pada lembaga-lembaga yang lain,” tutup dia.
Hal serupa juga diungkapkan, Kepala Eijkman for Molecular Biology 2020-2021 Amin Soebandrio. Dia tidak bisa memungkiri bahwa dirinya juga merasa kecewa karena peleburan tersebut.
“Pengalaman saya di Eijkman, waktu itu kebijakan yang saya ambil adalah memberikan kesempatan dan dorongan buat para peneliti semuanya. Tidak harus S3, profesor, yang masih S1 pun kalau memang ia sudah melakukan penelitian dan bisa menulis mereka bisa publish. Dan apa yang terjadi di tahun berikutnya jumlah penelitian naik drastis menjadi 50,” kata dia.
Sehingga, dari situ dia melihat, jika peneliti muda diberikan kesempatan pasti bisa perform.
“Intinya teman-teman yang sudah bekerja di lembaga Eijkman itu memang sudah sangat berjasa, integritas mereka sangat tinggi,” paparnya.