close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nasir dan Presiden Partai Keadilan Sejahtera Sohibul Iman di Gedung Dakwah Muhammadiyah, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (4/12). Alinea.id/Rizki Febianto
icon caption
Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nasir dan Presiden Partai Keadilan Sejahtera Sohibul Iman di Gedung Dakwah Muhammadiyah, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (4/12). Alinea.id/Rizki Febianto
Nasional
Kamis, 05 Desember 2019 13:09

Pendataan majelis taklim dinilai tak nyambung dan diskriminatif

"Kebijakan itu kalau dikaitkan dengan radikalisme memang berlebihan, tidak nyambung juga."
swipe

Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nasir menilai kebijakan pemerintah untuk mendata majelis taklim, tidak berhubungan dengan tujuan kebijakan itu, yaitu memberantas radikalisme. Haedar juga beranggapan kebijakan yang tercantum dalam Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 29 tahun 2019 tentang Majelis Taklim, sebagai aturan yang diskriminatif.

"Kebijakan itu kalau dikaitkan dengan radikalisme memang berlebihan, tidak nyambung juga. Pada saat yang sama kebijakan itu tidak boleh diskriminatif. Kalau ada problem radikalisasi yang punya potensi intoleran, kekerasan, dan membenarkan kekerasan, ekstrem, maka muaranya kan jangan satu institusi," kata Haedar di Gedung Dakwah Muhammadiyah, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (4/12)

Pernyataan tersebut disampaikan setelah Haedar setelah menerima kunjungan Presiden Partai Keadilan Sejahtera Sohibul Iman. Pendataan majelis taklim ini, juga sempat dibahas oleh kedua belah pihak dalam pertemuan tersebut.

Haedar menyarankan pemerintah sebaiknya menyasar akar radikalisme, bukan justru mengawasi semua majelis taklim. Menurutnya, pendataan majelis taklim sangat tendesius menempatkan umat Islam sebagai sumber radikalisme. 

Karena itu, bagi dia, keberadaan aturan tersebut diyakini akan mengecilkan ruang-ruang demokrasi. Hal ini lantaran ada batasan dalam aktivitas sosial masyarakat.

"Jadi saya pikir ada hal yang kita berdemokrasi itu tidak harus lewat regulasi-regulasi, aturan, yang sifatnya praktis seperti itu. Tetapi harus menjadi tugas-tugas tertentu saja dari mendekatkan ketertiban sosial," ujarnya.

Senada, Sohibul Iman juga menyampaikan penolakan terhadap beleid tersebut. Menurutnya, aturan tersebut merupakan kebijakan berlebihan yang dilakukan pemerintah.

"Ini mengingatkan kita pada dulu zaman orde baru, fenomenanya seperti itu," ujarnya.

Sohibul menjelaskan, kebijakan tersebut akan menempatkan kembali Indonesia pada kesalahan yang pernah terjadi. Bagi dia, aturan pendataan majelis taklim tersebut merupakan bentuk intervensi pemerintah, pada aktivitas sosial keagamaan masyarakat. Karena itu, Sohibul berharap pemerintah dapat meninjau kembali peraturan tersebut. 

Wakil Menteri Agama Zainut Tauhid Saadi mengatakan, PMA Nomor 29 tahun 2019 diterbitkan untuk memfasilitasi layanan publik dan mengatur basis data registrasi Kemenag.

Dalam aturan tersebut, masyarakat dapat mengetahui tata cara untuk membentuk majelis taklim. Kemenag juga memiliki data majelis taklim dengan baik.

Menurutnya, Kemenag akan lebih mudah melakukan koordinasi dan pembinaan jika majelis taklim yang ada terdaftar di kementerian tersebut. Pembinaan yang dia maksud, dapat berupa penyuluhan dan pembekalan materi dakwah, penguatan manajemen dan organisasi, peningkatan kompetensi pengurus, pemberdayaan jamaah dan lain sebagainya.

"Termasuk juga pemberian bantuan pemerintah, baik melalui APBN maupun APBD. Untuk keperluan tersebut PMA ini bisa dijadikan dasar atau payung hukumnya," kata Zainut di Jakarta, Selasa (3/12).

img
Rizki Febianto
Reporter
img
Gema Trisna Yudha
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan