Pernyataan Plt. Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) Tjitjik Sri Tjahjandarie tentang pendidikan tinggi yang sifatnya tersier dan pilihan menimbulkan gaduh. Beberapa waktu lalu, ia menyampaikan itu terkait banyaknya kritik uang kuliah tunggal (UKT) yang melambung tinggi.
Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji menilai, ucapan Tjitjik melukai anak bangsa dan mencederai mimpi warga negara untuk duduk di bangku kuliah. Apalagi, menurut Badan Statistik Nasional (BPS) dalam Statistik Pendidikan 2023, hanya 10,15% penduduk usia 15 tahun ke atas di Indonesia yang tamat perguruan tinggi.
“Pernyataan yang tidak ada rasa empati,” kata Ubaid kepada Alinea.id, Minggu (19/5).
Pernyataan Tjitjik seakan membuat kuliah menjadi barang mewah, sehingga tak bisa digapai semua orang. “Seharusnya pendidikan adalah public goods,” kata Ubaid. “Sebab itu milik semua orang. Sementara pemerintah punya amanah untuk menyediakan layanan pendidikan tersebut.”
Pola pikir pendidikan sifatnya tersier, ujar Ubaid, dapat dimaknai sebagai bussiness mindset, bukan education mindset. Dengan demikian, maka pemerintah telah mengkhianati amanah UUD 1945 untuk mencerdaskan kehidupan anak bangsa.
“Jadi Bu Tjitjik salah besar,” ucap Ubaid.
Sementara itu, pengamat pendidikan dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jejen Musfah meminta agar pemerintah tidak membiarkan biaya UKT melambung tinggi. Sebab, kata Jejen, jika dibiarkan sama saja pemerintah melarang warga miskin untuk kuliah. Padahal, menjadi sarjana merupakan pintu kesuksesan dan meningkatkan sumber daya manusia (SDM).
“Mentang-mentang kuliah bukan bagian dari wajib belajar,” ujar Jejen, Minggu (19/5).
“Karena tidak wajib (belajar) bukan berarti pemerintah membiarkan biaya PTN (perguruan tinggi negeri) sangat mahal bagi warga menengah dan bawah secara ekonomi.”
UKT merupakan komponen biaya kuliah yang dibayarkan mahasiswa setiap semester untuk digunakan dalam proses pembelajaran. Kebijakan mengenai UKT tercantum dalam Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbud Ristek) Nomor 2 Tahun 2024 tentang Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi pada Perguruan Tinggi Negeri di Lingkungan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Aturan ini telah mengalami beberapa kali revisi.
UKT merupakan sistem pembayaran pendidikan, yang fungsinya memberi subsidi silang. Berdasarkan beleid Permendikbud Ristek 2/2024, besaran UKT ditetapkan pimpinan PTN setiap jalur penerimaan mahasiswa. Tarif UKT lebih besar dari besaran BKT bagi mahasiswa yang masuk dari semua jalur penerimaan. Besaran UKT terbagi dalam beberapa kelompok.
Jejen pun menekankan, pernyataan Tjitjik yang menyebut dana pemerintah terbatas, menunjukkan pemerintah tak memprioritaskan pendidikan tinggi. “Karena seharusnya pemerintah menyediakan pendidikan tinggi terjangkau, minimal di PTN,” kata dia.
Terpisah, pengamat pendidikan dari Komnas Pendidikan Andreas Tambah mengingatkan pemerintah untuk menjamin pendidikan. Karena hal itu adalah kebutuhan. Terlebih lagi, negara bertanggung jawab jika SDM penduduk rendah.
“Belum lagi, Indonesia kini standar pendidikannya, rata-rata kelas 2 SMP,” ujar Andreas, Minggu (19/5).