Kembali munculnya kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat, termasuk penculikan belasan aktivis '98, pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 yang menyasar calon nomor urut 2, Prabowo Subianto, membuat simpatisannya geram. Mereka, yang tergabung dalam Kesatuan Aksi Pemuda & Mahasiswa Pendukung (KAPMP) Prabowo-Gibran, pun mengadakan aksi di depan Mabes Polri, Jakarta, pada Senin (18/12).
Dalam aksinya itu, puluhan massa KAPMP menuntut kepolisian memeriksa penulis Buku Hitam Prabowo Subianto, Azwar Furgudyama; bekas Panglima ABRI, Wiranto; dan eks Komandan Jenderal Komando Pasukan Khusus (Danjen Kopassus), Agum Gumelar. Sebab, ketiganya dinilai menyebar hoaks tentang Prabowo pelaku pelanggaran HAM berat.
Mereka menuntut demikian lantaran mengimani Prabowo pelanggar HAM adalah kabar bohong nan menyesatkan. Apalagi, isu ini mencoreng reputasi Ketua Umum Partai Gerindra itu pada Pilpres 2024, yang mencoba membangun citranya sebagai figur yang lucu dan menggemaskan (gemoy).
"Bukan hanya Wiranto [dan] Agum Gumelar, tetapi Azwar F sebagai penulis Buku Hitam Prabowo telah merusak citra dan nama baik Prabowo sebagai tokoh nasional dan capres 2024. Maka, dia harus bertanggung jawab dan polisi untuk segera memeriksanya," ucap koordinator aksi KAPMP, Pardong.
Agum Gumelar dan Wiranto masuk tim sukses (timses) Prabowo-Gibran. Kedua menjabat sebagai Pembina Tim Kampanye Nasional (TKN).
Penculikan bukan fiksi
Pernyataan KAPMP dibantah eks aktivis '98, Petrus Haryanto. Ia menegaskan, penculikan aktivis oleh Tim Mawar di bawah komando Prabowo bukan fiksi. Itu adalah kejadian nyata jelang kejatuhan rezim Soeharto.
Mantan Sekretaris Jenderal Partai Rakyat Demokratik (PRD) ini lantas menyinggung soal hasil penyelidikan Komnas HAM tentang penculikan aktivis '98 yang menyebutkan terjadinya pelanggaran HAM berat. Bahkan, telah diserahkan kepada Kejaksaan Agung (Kejagung).
Selain itu, sambung Petrus, Panitia Khusus (Pansus) Orang Hilang DPR merekomendasikan pembentukan pengadilan HAM ad hoc. Tujuannya, menuntaskan kasus secara tuntas sehingga para pelaku mendapatkan ganjaran dan korban menerima keadilan.
"Menjadi kesalahan para presiden, termasuk Jokowi, [karena] rekomendasi DPR RI tidak dijalankan [hingga kini] sehingga persoalannya berlarut-larut," jelasnya. Petrus pun menganggap mahasiswa anggota KAPMP keliru dalam membaca sejarah dan tuntutannya mengada-ada.
Dalam kesempatan yang sama, pakar hukum tata negara Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar, Fahri Bachmid, berpandangan, aksi KAPMP adalah hal wajar dengan harapan kasus pelanggaran HAM yang "menyandera" Prabowo tidak terus bergulir.
"Karena masyarakat ingin tudingan terhadap Prabowo terkait pelanggaran HAM tidak membuat nama Prabowo jelek karena pemberitaan tersebut," ujarnya.