Penembakan Rene Coenraad: Dibela Adnan Buyung, Brigpol Djani melawan di pengadilan
Pertandingan persahabatan sepak bola antara mahasiswa Institut Teknologi Bandung (ITB) dengan taruna AKABRI bagian kepolisian pada 6 Oktober 1970, malah berujung ricuh. Ketika itu, mahasiswa unggul 2-0. Taruna kesal diolok-olok.
Berada di waktu dan tempat yang salah, mahasiswa jurusan teknik elektro ITB, Rene Louis Coenraad menjadi korban. Pemuda berusia 22 tahun itu tak ikut pertandingan, hanya kebetulan lewat kampus ITB mengendarai sepeda motornya.
Namun, ia menjadi bulan-bulanan taruna AKABRI dan anggota Brimob yang turun dari truk, lantas tewas tertembus pelor. Menurut Aria Wiratma Yudhistira dalam buku Dilarang Gondrong! Praktik Kekuasaan Orde Baru terhadap Anak Muda Awal 1970-an (2010), tubuh Rene yang sudah lunglai, lalu dibawa masuk ke dalam mobil jip Nissan Patrol milik polisi.
Jenazah Rene ditemukan teman-teman yang mencarinya bukan di rumah sakit. Melainkan di Kantor Kobes 086 di Jalan Merdeka, Bandung.
Nahas Djani, dibela Adnan Buyung
Kematian Rene memicu amarah mahasiswa. Demonstrasi tak hanya terjadi di Bandung, tetapi juga di Jakarta, seiring pemulangan jenazah dari Bandung ke Kebayoran, Jakarta. Ibu Rene tak kuasa menahan emosi. Deputi Panglima Angkatan Kepolisian (Pangak) Awaloedin Djamin, yang merangkap jadi penjabat Kapolri mengganti sementara Hoegeng Iman Santoso yang tengah ke luar negeri, menjadi sasaran kemarahan ibu Rene.
“Beliau menuding-nuding hidung saya sambil berbicara agak keras dan pedas. Saya mengerti perasaan beliau. Anak satu-satunya yang sudah kuliah di ITB meninggal,” katanya dalam buku Awaloedin Djamin: Pengalaman Seorang Perwira Polri (1995).
Momen itu diabadikan dalam sebuah foto paling ikonik peristiwa penembakan Rene. Pada 8 Oktober 1970, sekitar 500-an mahasiswa ITB menyempatkan menemui Presiden Soeharto di Jalan Cendana, Jakarta untuk meminta keadilan.
“Kami menyayangkan, Rene ditemukan di dalam gudang penyimpan kendaraan tabrakan di kantor polisi. Mengapa tidak dibawa ke rumah sakit?” kata Ketua Dewan Mahasiswa (DM) ITB Sjarif Tando kepada Kompas, 9 Oktober 1970.
Sjarif pun kecewa, Soeharto menyatakan Rene tertembak. Bukan ditembak. Berdasarkan keterangan dokter Adjidarmo dari Institut Kesehatan (Itkes) Bandung, Rene tewas karena ditembus dua peluru jenis colt 38 dan chung.
Setelah mahasiswa sowan ke Soeharto, proses penyelidikan berlangsung cepat. Tim khusus dibentuk untuk mengungkap misteri kematian Rene. Hasil temuan tim khusus, diumumkan Kapolri Hoegeng dalam konferensi pers di Markas Besar Kepolisian (MABAK), Jakarta pada 26 Oktober 1970.
“Diketahui, Rene ditembak dari jarak setengah hingga 18 inci. Peluru yang mengenainya ada tiga butir, berasal dari senapan Karl Gustaf No. CG 42525,” tulis Kompas, 27 Oktober 1970.
Hoegeng menyebut, penembaknya bukan taruna AKABRI, tetapi seorang petugas piket, yakni Brigadir Polisi (Brigpol) II Djani Maman Surjaman. Djani adalah seorang anggota Brimob. Ia menjabat Wakil Komandan Regu II Peleton II Kompi A di Batalyon 204 Resimen II Jawa Barat.
Hoegeng menyatakan, tertuduhnya akan diseret ke pengadilan militer kepolisian di Bandung dan dinyatakan terbuka untuk publik. Djani mulai disidangkan di Mahkamah Kepolisian VII Langlangbuana, Bandung pada 11 November 1970.
Ekspres menyebut, pengusutan, pemeriksaan, dan perkara dibawa ke pengadilan masuk rekor. “Hanya dalam 36 hari saja,” tulis Ekspres, 4 Januari 1971.
Menurut Ekspres, oditur alias penuntut umum pengadilan itu adalah Kompol Harry Santoso dari Polri, dipimpin hakim ketua AKBP Sudjadi serta hakim anggota Kompol Lamintang dan Kompol R. Muchdin Gunadiningrat. Tak main-main, pembela Djani adalah pengacara kondang Adnan Buyung Nasution.
Dalam buku autobiografinya Pergulatan Tanpa Henti: Dirumahkan Soekarno, Dipecat Soeharto (2004), Buyung mengaku tak dibayar kala membela Djani. Ia berinisiatif karena merasa terpanggil membela orang kecil. Menurutnya pula, Djani sudah dikorbankan untuk kepentingan yang lebih besar, yaitu kepentingan ABRI.
“Khususnya Mabes ABRI yang mau melindungi para mahasiswa AKABRI,” ujar Buyung.
Walau menjadi aktor yang mengumumkan Djani sebagai pelaku, namun Hoegeng tetap mendukung Buyung jadi pembela Djani. Ia memberikan semangat secara langsung kepada Buyung.
“Go ahead, bela anak buah saya itu,” kata Hoegeng kepada Buyung, yang dikisahkan pendiri Lembaga Bantuan Hukum (LBH) tersebut di buku yang sama.
Buyung mengatakan, tampilnya dia sebagai pembela Djani dianggap mengganggu strategi dan kepentingan yang ingin diamankan ABRI, agar kasus Rene tak banyak ribut dan tak terekspos.
“Mereka ingin kasus Rene hilang begitu saja dan dilupakan orang,” tutur Buyung.
Buyung percaya, bukan Djani yang menembak Rene. Berdasarkan analisa dan penyelidikannya, Rene tertembak persis di samping bus para taruna AKABRI. Sedangkan Djani, berada di jarak 10 meter dari lokasi penembakan.
Ia yakin, peluru lepas dari atas bus yang berisi taruna AKABRI. Bahkan, katanya, ada beberapa peluru yang mengenai tembok.
Dalam buku Hoegeng: Polisi Idaman dan Kenyataan (1994), Hoegeng pun mengakui, kesalahan terberat dalam perkelahian itu adalah digunakannya senjata api.
“Tentunya oleh salah seorang taruna. Lagi pula penggunaan senjata api mengakibatkan meninggalnya orang lain,” kata Hoegeng di buku yang ditulis Abrar Yusra dan Ramadhan KH tersebut.
Di buku itu, Hoegeng sendiri mengakui, dirinya malu karena peristiwa penembakan itu dapat merusak citra kepolisian. “Khususnya merusak citra taruna dan AKABRI kepolisian,” kata dia.
“Nyanyi” Djani di persidangan
Sidang perdana Djani disesaki orang, sebagian besar mahasiswa dan pemuda. Buyung mengibaratkan, mirip kerumunan manusia di alun-alun. Sidang itu pun disiarkan langsung lewat radio.
Dalam sidang pertama, Buyung langsung membuat gebrakan. Ia bilang, berita acara perkara dipaksakan, palsu, dan tak punya nilai hukum. Sebab, terdakwa dipaksa mengakui dan menandatanganinya usai disiksa.
Buyung meminta izin kepada hakim agar Djani diperbolehkan membuka baju untuk membuktikan argumennya itu. Benar saja, tubuh Djani tampak bekas siksaan. Pengunjung persidangan pun dibuat tercengang.
Persidangan demi persidangan dibumbui perdebatan sengit antara oditur dan pembela. Oditur menuntut hukuman empat tahun penjara, mencabut hak terdakwa masuk angkatan perang, dan mencabut semua tanda jasa yang pernah diterima. Sedangkan pembela meminta Djani dibebaskan.
“Oditur mengatakan, pembela membuat mahkamah sebagai gelanggang pemilihan lurah desa dan mengucapkan kata-kata yang sadistis,” tulis Ekspres.
“Pembela mengatakan, oditur dalam usaha membuktikan kesalahan tertuduh, terlalu berat sebelah dan menekan banyak tertuduh.”
Djani juga membuka borok institusi. Dalam sidang, ia mengaku ketika dibuat berita acara perkara ditegur untuk tak memberatkan nama AKABRI. Ia tahu, yang memukul dan mengeroyok Rene adalah taruna AKABRI.
Djani mengatakan, di hari nahas itu, ia diperintah atasannya memimpin seksinya untuk tugas pengamanan di lokasi. Ketika itu, ia melihat Rene dikejar-kejar serta dipukuli dengan tangan dan gesper kopel oleh beberapa orang taruna AKABRI. Djani menghampiri untuk menolong, tetapi kena pukul.
“Saya yang justru datang menolong Rene dari pukulan-pukulan taruna AKABRI, kini justru saya yang dituntut dan dituduh seolah membunuh Rene,” kata Djani dikutip dari Ekspres.
Djani pun menuding saksi Nugroho Djajusman, yang saat peristiwa berdarah itu masih taruna AKABRI sudah berbohong. “Saya tahu, saksilah yang justru memukuli Rene dengan koppelriem (gesper kopel), bersama taruna AKABRI lainnya,” kata Djani.
Ia merasa heran, saksi mengaku tak memukul Rene sama sekali dan seolah melihat Djani menembak Rene. “Tetapi bapak hakim, saya hanya seorang yang bodoh, pendidikan saya rendah, tidak ada artinya sama sekali dibandingkan dengan saksi Nugroho Djajusman,” ujar Djani.
Dalam sebuah kesempatan jalannya sidang, Djani sempat meminta maaf kepada orang tua Rene. “Saya ingin mengatakan kepada orang tua Rene bahwa saya tidak menembak anak yang mereka cintai itu,” ujar Djani dilansir dari Ekspres.
Adanya spekulasi yang menyebut Djani dikorbankan, mengundang simpati pula dari mahasiswa. Menurut Farouk Arnaz dalam buku Dunia Hoegeng 100 Tahun Keteladanan (2021), hal itu memunculkan gerakan solidaritas mahasiswa Bandung.
“Dengan melansir dompet sumbangan bantuan bagi Djani di hampir seluruh perguruan tinggi Jawa Barat,” tulis Farouk.
Akhirnya, setelah sidang berjalan sekitar tiga bulan, Djani divonis lima tahun delapan bulan. Meski begitu, seturut Tempo edisi 5 Juni 1972, Mahkamah Kepolisian Tinggi (Mahakti) mengabulkan banding yang diajukan Buyung. Hukuman Djani diringankan menjadi hanya setahun enam bulan, potong masa tahanan.
Djani pun langsung bebas dari penjara. Setelah bebas, kariernya juga selamat. “Kariernya naik di Brimob,” ujar Buyung.
Dengan berakhirnya sidang dan hukuman bagi Djani, tak praktis membuat perkara habis. Pada November 1973, delapan perwira polisi diajukan ke Mahkamah Militer Priangan Bogor atas tuduhan terlibat terbunuhnya Rene.
Ketika peristiwa berdarah itu, delapan tertuduh masih berstatus taruna AKABRI bagian kepolisian. Menurut Kompas, 9 November 1973, lima orang di antaranya bertugas di Komdak Metro Jaya, tiga lainnya masing-masing bertugas di Komdak VIII Jawa Barat, Komdak I Aceh, dan Komdak X Jawa Timur.
Delapan perwira yang sudah berpangkat letnan itu, disebut jurnalis Rum Aly dalam buku Menyilang Jalan Kekuasaan Militer Otoriter (2004), antara lain Nugroho Djajusman, Dodo Mikdad, Sianturi Simatupang, Khaerul Bahar Muluk, Sugeng Widianto, Ahmad Arony Gumay, Riyadi, dan Nugroho Ostenrik.
“Dari 8 terdakwa, dalam requisitoir (surat tuntutan) oditur hanya dua orang yang tampaknya cukup ‘tersangkut’ dengan Rene, yakni terdakwa I Letnan (Inspektur) II Nugroho Djajusman dan terdakwa II Letnan I Dodo Mikdad,” tulis Rum.
Menurut Rum, Nugroho mengakui berpakaian PDL (pakaian dinas lapangan) saat peristiwa, tetapi tak disebut bawa pistol atau tidak. Lantas, dari atas truk, Nugroho melihat Rene lalu teringat tantangan yang dilontarkan Rene di lapangan sepak bola: “Siapa jagoan AKABRI?”
Oleh karenanya, tulis Rum, Nugroho turun dari truk dan mengejar Rene yang sedang lari, sembari berusaha memukulnya. “Tetapi menurut pengakuannya, tidak kena,” tulis Rum.
Sedangkan Dodo mengakui, saat berada di atas truk melihat Rene memukul seorang taruna yang berbadan kecil. Karena perkelahian tak seimbang, terdakwa turun untuk memisahkan, tetapi malah dipukul Rene, namun meleset. Ia lalu mengejar Rene. Saat jaraknya hanya sejangkauan tangan, Dodo memukul Rene, tetapi menurutnya tak kena.
“Pengakuan kedua terdakwa ini tidak diperkuat oleh kesaksian mana pun. Tak ada kesaksian yang pernah menyatakan melihat Rene justru aktif memukul taruna,” ujar Rum.
Sebagai catatan, disebut Rum, Nugroho Ostenrik adalah putra Jenderal Polisi Ostenrik. Sebelum diajukan ke pengadilan, seorang tertuduh sedang menjalani proses hukum untuk perkara lain.
“Seorang dari mereka, yakni Letda Pol Ch. B.M (Khaerul Bahar Muluk) dari Komdak Metro Jaya, bahkan masih berada dalam status hukuman,” tulis Kompas, 9 November 1973.
“Ch. B.M. oleh Mahkamah Militer Jakarta-Banten bulan Juli (1973) lalu dijatuhi hukuman 3 tahun penjara karena terbukti bersalah melakukan penganiayaan terhadap Marta Wibawa, seorang tahanan yang akhirnya meninggal akibat penganiayaan itu.”
Prosesnya berakhir antiklimaks. Pada 1974, delapan letnan polisi itu diputuskan tak bersalah lantaran tuduhan primer tak terbukti. “Oditur tak dapat mengajukan barang bukti senjata dan peluru yang menyebabkan matinya Rene,” tulis Kompas, 23 Januari 1974.
Kecuali Dodo, yang pernah mengalami penurunan pangkat karena pelanggaran dan Khaerul yang terlibat kasus penganiayaan, tampaknya perwira polisi lain melenggang dalam karier mereka. Misalnya, Nugroho Djajusman menjadi Kapolda Metro Jaya pada 1998-1999.
Terlepas dari misteri siapa penembak Rene dan segala kejanggalan yang terjadi, Hoegeng mengatakan, kasus tertembaknya Rene beralih ke isu pelaksanaan proses peradilan. Satu yang dipertanyakan adalah dasar hukum mahkamah kepolisian yang menyeret Djani. Kasus Rene, kata Hoegeng, merupakan salah satu yang mendorong timbulnya ajang pertukaran pendapat terkait proses dan undang-undang tentang KUHP.
“Terutama masalah yang berkaitan dengan pelaksanaan proses praperadilan yang saat itu hangat diperbincangkan masyarakat,” tutur Hoegeng dalam Hoegeng: Polisi Idaman dan Kenyataan.
---
*Artikel ini sudah mengalami perubahan pada 16 November 2022 pukul 11.12 WIB, dengan penambahan sumber.