Akademisi dari Univesitas Nasional Ismail Rumadan menilai, penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja merupakan sebuah pembodohan publik. Mengingat tidak ada alasan kegentingan sebagai persyaratan terbitnya perppu.
Menurut Ismail, pemerintah seakan tidak peduli dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) untuk merevisi UU Cipta Kerja. Apalagi menurut MK, UU Cipta Kerja bertentangan dengan UUD 1945 atau inkonstitusional bersyarat.
"Putusan MK ini mengisyaratkan agar pemerintah mendapat kesempatan selama dua tahun untuk memperbaiki UU Ciptaker agar sesuai dengan UUD 1945," ujar Ismail di Jakarta, Minggu (1/1).
Tetapi yang terjadi, kata Ismail, perintah putusan MK tidak diindahkan oleh pemerintah dan malah menerbitkan perppu sebagai peraturan pengganti UU Cipta Kerja. Pemerintah berdalih adanya keadaan darutan yang disandarkan pada perang Ukraina-Rusia.
"Apa hubungannya ya? Ini alasan yang sunggu memberikan pelajaran yang keliru bagi publik. Publik seakan merasa dibodohi oleh pemerintah dengan logika yang menyesatkan dalam penerbitan perppu tersebut," ucap Ketua Umum Pemuda ICMI ini.
Sementara itu, Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (Aspek Indonesia) dalam refleksi akhir 2022 menyampaikan, dampak buruk Omnibus Law Undang Undang Cipta Kerja, terus menyasar dan memiskinkan kelas pekerja dan rakyat Indonesia.
Aspek Indonesia menilai, pemerintah belum bersungguh-sungguh dalam malaksanakan amanat Undang Undang Dasar (UUD) 1945.
Terkait perjuangan upah minimum misalnya, Kementerian Ketenagakerjaan, telah mengumumkan rata-rata kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) 2022 sebesar 1,09% jauh di bawah inflasi ataupun pertumbuhan ekonomi.
Pemerintah menetapkan kenaikan upah minimum berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan, yang merupakan aturan turunan dari Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Namun, dalam PP Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan, ada tambahan formula baru yang ditetapkan sepihak oleh pemerintah, yang tidak diatur dalam UU Cipta Kerja, yaitu penyesuaian nilai upah minimum ditetapkan dalam rentang nilai batas atas dan batas bawah.
Kenaikan upah minimum 2022 hasilnya justru di bawah inflasi ataupun pertumbuhan ekonomi. Padahal, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pertumbuhan ekonomi tertinggi didapat oleh Maluku Utara dengan kenaikan 12,76%, dan inflasi tertinggi adalah Bangka Belitung 3,29%.
Aspek Indonesia juga mengkritisi hilangnya ketentuan Upah Minimum Sektoral provinsi dan kabupaten/kota, sebagai dampak buruk UU Cipta Kerja.
Aspek Indonesia juga mencatat selama 2022, banyak terjadi pemutusan hubungan kerja yang dilakukan secara sepihak oleh perusahaan. UU Cipta Kerja yang telah memudahkan pemutusan hubungan kerja (PHK) dengan kompensasi pesangon yang jauh lebih sedikit dibandingkan ketentuan dalam UU Ketenagakerjaan, telah berdampak pada terjadinya badai PHK massal di seluruh Indonesia, dengan dalih efisiensi perusahaan.
"Semakin mudahnya sistem kerja outsourcing dan sistem kerja kontrak hingga seumur hidup, telah menghilangkan jaminan kepastian pekerjaan, jaminan kepastian upah dan jaminan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia," kata Presiden Aspek Indonesia Mirah Sumirat, dalam keterangan pers, Minggu.