Rencana pemerintah membentuk Tim Hukum Nasional (THN) untuk mengawasi dan mengkaji pemikiran para tokoh yang dianggap berbahaya dinilai sebagai bentuk ketakutan pemerintah. Apabila rencana tersebut berjalan, dikhawatirkan dapat melanggar kebebasan berpendapat di masyarakat.
Pengamat politik dari Populi Center Usep S Ahyar menduga, pemerintah ketakutan berlebihan sehingga perlu membentuk Tim Hukum. Dari sisi aturan, kebebasan berpendapat masyarakat diatur jelas dalam UU No.9/1998. Juga UU No.11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Kedua UU ini membatasi orang untuk tidak melakukan ujaran kebencian dan pencemaran nama baik.
Pembentukan Tim Hukum potensial melanggar kebebasan berpendapat. Bagi Usep, ketimbang membentuk Tim Hukum, pemerintah sebaiknya mengefektifkan saluran-saluran hukum dan aturan-aturan yang ada.
"Misalnya bagaimana pers bekerja pada koridor sesuai dengan kaidah jurnalistik, kan ada Dewan Pers. Proses-proses itu menurut saya lebih diefektifkan saja. UU ITE juga menurut saya sudah lebih dari cukup," papar Usep kepada Alinea.id.
Bagi Usep, rencana pembentukan Tim Hukum hanya akan membuat gaduh. Pasalnya, apabila pemerintah takut atas ucapan para tokoh yang ingin menggerakan people power, seharusnya bisa diantisipasi dengan penegak hukum yang ada saat ini.
"People power itu kan kekuatan rakyat yang seharusnya bukan berasal dari elite. Ini hanya omongan elite saja yang berbicara soal people power dan bikin gaduh di media. Omongan elite tidak terlalu efektif terhadap masyarakat," tutur Usep.
Pengamat politik Universitas Telkom Dedi Kurnia Syah Putra memandang, upaya pembentukan Tim Hukum bisa mengacaukan sistem pemerintahan yang ideal atau ada kekuasaan yang dikontrol. Alih-alih membuka kontrol publik, pemerintah justru mengancam dengan tindakan otoritarian.
Menurut Dedi, Indonesia kini tengah menuju ke zaman diktator. Karena itu, ia mengingatkan kalau negara ini disepakati dengan bentuk republik. Artinya, kekuasaan tertinggi bermuara pada kepentingan publik, maka publik punya kebebasan dalam kehidupan negara.
"Kalau kemudian dibatasi dengan dalih ujaran kebencian, maka seharusnya inisiator Tim Hukum Nasional merumuskan ulang konsep republik menjadi reprivat (monarki)," tutur Dedi.
Dengan adanya Tim Hukum, kata Dedi, akan banyak regulasi yang tumpang tindih. Misalnya saja UU ITE atau UU terkait pencemaran nama baik, perbuatan tidak menyenangkan, dan lain sebagainya.
Seharusnya, menurut Dedi, pemerintah menjadi pereda konflik yang melibatkan publik. Bukan menekan hak publik berpendapat.
Kalaupun pembentukan Tim Hukum untuk mengantispasi tindakan people power, bagi Dedi, langkah itu terlalu berlebihan. Sebab, people power tidak lebih sebagai bagian dari unjuk rasa yang memang hak setiap warga negara.
"Kalau people power dimaknai sebagai tindakan makar, itu juga berlebihan. Menjadi tindakan makar kalau massa yang bergerak mendapat dukungan militer. Sementara ini tentu tidak demikian, sehingga pemerintah harus hadapi people power dengan bijak, tidak perlu berlebihan," ucap Dedi.
Koordinator Badan Pekerja Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Yati Andriyani menilai rencana pembentukan Tim Hukum tidak merepresentasikan ketidakpercayaan pemerintah terhadap mekanisme hukum.
Selain itu, menurut Yati, status dan tujuan pembentukan Tim Hukum terkesan sangat subjektif. Tim ini membuat pengritik terancam. Yati menilai, pembentukan Tim Hukum hanya bentuk kepanikan dan kekhawatiran pemerintah atas dinamika dan situasi politik yang muncul pascapemilu.
Seharusnya, kata dia, dinamika yang terjadi direspons secara proporsional, terukur dan akuntabel. Di antaranya dengan tetap mengedepankan prinsip demokrasi dan hak asasi manusia.
"Kebijakan yang dikeluarkan dalam menghadapi dinamika politik tidak boleh mencederai nilai-nilai demokrasi dan HAM yang menjamin hak kebebasan berpendapat, bereskpresi dan berkumpul," ucap Yati.