Mahkamah Konstusi (MK) memutuskan menolak permohonan uji materi tentang Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional Untuk Pertahanan Negara (UU PSDN), termasuk tentang rekrutmen komponen cadangan (komcad), Senin (31/10).
Co-Founder Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi, menilai, keputusan tersebut tepat dan bijak. Pertimbangannya, penggunaan kata "wajib" dalam konteks komcad berbeda dan tidak dapat disamakan dengan wajib militer, yang merujuk keikutsertaa warga negara dalam komponen utama (komput), yaitu TNI, secara wajib.
"Sampai saat ini, soal wajib militer sebagaimana tercantum UU 3/2002 belum memiliki UU yang mengatur pelaksanaannya," katanya kepada Alinea.id, Selasa (1/11).
Adapun prinsip dasar keikutsertaan warga negara dalam komcad, sambungnya, bersifat sukarela. Prinsip baru menjadi wajib kala mengikuti pelatihan, penyegaran, dan dimobilisasi saat negara menghadapi ancaman militer maupun hibrida.
Fahmi menambahkan, komcad adalah implementasi sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta (sishankamrata) yang diamanatkan konstitusi. Sesuai UU 34/2004, sishankamrata adalah sistem pertahanan yang melibatkan seluruh warga negara, wilayah, dan sumber daya nasional (SDN) lainnya serta dipersiapkan secara dini oleh pemerintah dan diselenggarakan secara total hingga berkelanjutan demi menegakkan kedaulatan negara dan mempertahankan NKRI.
Sementara itu, UU PSDN mengatur pengelolaan potensi SDN, mulai dari sumber daya manusia (SDM), alam (SDA), dan buatan hingga sarana prasarana nasional (saprasnas) yang dibutuhkan untuk pertahanan negara. Komcad, yang merupakan salah satu SDN, disiapkan untuk dikerahkan melalui mobilisasi guna memperbesar dan memperkuat kekuatan dan kemampuan komput dalam menghadapi ancaman militer dan hibrida.
"Jadi, selaras dengan konsepsi pertahanan negara yang bersifat semesta, komcad disiapkan di masa damai untuk kemudian dapat dimobilisasi sewaktu-waktu ketika terjadi perang, yang dalam UU disebutkan sebagai ancaman militer dan hibrida," tuturnya.
Oleh sebab itu, Fahmi berpendapat, komcad yang direkrut dari berbagai potensi SDN adalah solusi yang disiapkan sebagai pelaksanaan sishankamrata guna mempersempit disparitas militer konvensional, terutama dalam penanganan sumber-sumber ancaman yang relatif tak dikuasai militer konvensional.
Menurutnya, pertahanan negara yang bersifat semesta diselenggarakan berdasarkan kesadaran atas hak dan kewajiban warga negara serta keyakinan pada kekuatan sendiri. "Komcad adalah wadah yang menampung hak warga negara untuk ikut serta dalam usaha pertahanan negara di luar komponen utama."
Perang, baginya, juga harus diasumsikan selalu mungkin terjadi sehingga upaya pencegahan dan antisipasi atas ancaman mesti dilakukan pada masa damai. Langkah-langkah tersebut memerlukan pembangunan postur pertahanan ideal, yang bertumpu pada pemenuhan standar efek deterens, menuntut terwujudnya modernisasi alat utama sistem senjata (alutsista), serta pengembangan dan pemanfaatan potensi SDN secara efektif dan efisien.
Di sisi lain, Fahmi menjelaskan, hukum militer berlaku bagi komcad kala yang bersangkutan mengikuti penyegaran dan dimobilisasi. Dengan demikian, perlu penyesuaian dan perubahan UU 31/1997 tentang Peradilan Militer, termasuk berkaitan dengan hukum acara.
"MK telah memerintahkan agar pembuat UU segera melakukan perubahan. Perintah itu sebenarnya dapat dikatakan telah membuka jalan bagi berlanjutnya agenda reformasi peradilan militer yang lebih menyeluruh.
Dalam sidang putusan atas perkara nomor 27/PUU-XIX/2021, Senin (31/10) siang, MK memutuskan menolak uji materi UU PSDN, termasuk soal komcad. Permohonan diajukan Imparsial, KontraS, Elsam, Public Virtue Research Institute, SETARA Institute, LBH Jakarta, PBHI, BEM UI, LBH Pers, Ikhsan Yosarie, Gustika Jusuf Hatta, dan Leon Alvinda Putra.
Ada beberapa pertimbangan hakim dalam menolak penghapusan komcad. Misalnya, sishankamrata merupakan bagian dari perjuangan rakyat mewujudkan kemerdekaan, pendaftaran bersifat sukarela, sebagai bentuk kesiapsiagaan negara jika ada ancaman, dan menimbulkan kekosongan hukum apabila dibatalkan.
"Oleh karenanya, dibutuhkan komponen cadangan yang siap sedia, baik dari segi kemampuan dasar militernya maupun kemampuan kesediaan ketika terjadi ancaman," kata Hakim Konstitusi, Arief Hidayat, dalam persidangan.