Pengamat Tata Kota Nirwono Yoga mengakui, peristiwa kebakaran Depo Integrated Terminal Jakarta, Plumpang, Tanjung Priok, Jakarta Utara adalah tamparan keras bagi pemerintah. Kebakaran terjadi pada Jumat (3/3) malam.
Nirwono mengatakan, pemerintah telah melakukan pelanggaran ketika pengendalian dan penertiban pemanfaatan ruang di sekitar depo terus dibiarkan Pemerintah DKI Jakarta. Apalagi pertumbuhan permukiman tersebut terjadi secara bertahap dan tidak tiba-tiba, maka seharusnya bisa dicegah sejak awal.
"Kejadian ini akibat kelalaian Pemda DKI dalam mengendalikan dan menertibkan pemanfaatan ruang yang sebenarnya sudah diatur dengan ketat sejak dulu. Bukan malah dibiarkan dan difasilitasi atau dilegalkan (legalitas sertifikat lahan, KK, KTP, air bersih, listrik, telpon)," kata Nirwono kepada Alinea.id, Minggu (5/3).
Nirwono menyebut, pelanggaran terjadi dalam dua kali periode. Pertama periode 1985-1998 dan 2000-sekarang.
Pelanggaran itu dilakukan dengan pemutihan atau pelegalan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah/RTRW DKI Jakarta 2000-2010 dan RTRW DKI Jakarta 2010-2030. Saat itu, RTRW DKI Jakarta disahkan berdasarkan Peraturan Daerah (Perda).
"Misal Perda 1/2012 tentang RTRW DKI Jakarta 2010-2030 dan Perda 1/2014 tentang RDTR DKI Jakarta (yang sudah direvisi dengan Pergub 31/2022 tentang RDTR DKI Jakarta 2030)," ujarnya.
Menurutnya, pembangunan depo BBM di Plumpang yang berjarak 5 km dari Pelabuhan Tanjung Priok sejatinya sudah sesuai Rencana Induk Djakarta 1965-1985. Kala itu di sekitar depo masih tanah kosong dan rawa, yang sekarang dikenal Rawa Badak, dan tidak ada permukiman;
"Dalam Rencana Umum Tata Ruang DKI Jakarta 1985-2005 pun keberadaan Depo Plumpang masih dipertahankan dan dilindungi sebagai fasilitas penting nasional," ucapnya.
Baginya, keberadaan depo berskala besar tentu memancing kedatangan para pekerja dan pendukung kebutuhan pekerja. Sebut saja, warung makan, tempat tinggal sementara atau kos-kosan, warung atau kios bahkan pasar yang menjamur.
Hal ini seakan perlahan tetapi pasti membentuk permukiman ilegal dan legal yang memadati ke arah depo dan sekitar, terutama pada periode 1985-1998 dan 2000-sekarang.
Kini pemerintah diperingatkan untuk menata ulang kawasan tersebut, dengan demikian permukiman padat yang notabene melanggar tata ruang harus ditertibkan dan ditata kembali. Penetapan jarak aman ideal objek penting tersebut dan membenahi permukiman padat menjadi kawasan hunian vertikal terpadu adalah cita-cita mulia.
"Kini saatnya untuk menata ulang kawasan Depo Plumpang sebagai obyek penting nasional yang harus dilindungi oleh negara," katanya menjelaskan.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menginstruksikan jajarannya untuk segera mencari solusi terkait kebakaran Terminal Bahan Bakar Minyak (TBBM) Pertamina Plumpang. Instruksi tersebut disampaikan Kepala Negara usai meninjau posko pengungsian di Ruang Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA) Rasela, Rawa Badak Selatan, Jakarta, Minggu (5/3).
“Saya sudah perintahkan kepada Menteri BUMN dan juga Gubernur DKI untuk segera mencari solusi dari kejadian yang terjadi di Plumpang. Terutama karena ini memang zona yang bahaya, tidak bisa lagi ditinggali, tetapi harus ada solusinya,” ujar presiden, seperti dilansir dari laman resmi Setkab.
Menurut presiden, ada sejumlah pilihan yang dapat diambil untuk mengatasi kejadian tersebut, mulai dari relokasi TBBM hingga relokasi warga sekitar TBBM Pertamina. Presiden pun menyerahkan keputusan tersebut diambil oleh pihak terkait dalam waktu dekat.
“Ini segera diputuskan sehari, dua hari ini, oleh Pertamina dan Gubernur DKI sehingga solusinya menjadi jelas.,” ungkap presiden.
Tidak hanya TBBM Pertamina Plumpang, presiden juga menegaskan bahwa seluruh zona berbahaya yang ada di Indonesia juga harus dilakukan evaluasi dan audit. Hal tersebut penting dilakukan karena berkaitan dengan keselamatan masyarakat.
“Harus dievaluasi semuanya karena menyangkut nyawa. Jadi sudah saya perintahkan semuanya mengenai itu,” tutur presiden.
Presiden menuturkan bahwa sebelumnya sudah ada rencana terkait adanya jarak (buffer zone) antara permukiman warga dengan TBBM Pertamina Plumpang, Jakarta Utara, selebar 50 meter. Namun, rencana tersebut belum terwujud karena belum memberikan solusi bagi para penduduk sekitar.
“Tanah Merah ini kan padat dan penuh, semuanya harus carikan solusi. Saya kira keamanan masyarakat, keselamatan masyarakat harus menjadi titik yang utama,” tandasnya.