close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Polisi disebut punya dua opsi menghadapi napiter di Mako Brimob./Antara Foto
icon caption
Polisi disebut punya dua opsi menghadapi napiter di Mako Brimob./Antara Foto
Nasional
Rabu, 09 Mei 2018 16:57

Pengamat: Polisi punya dua opsi hadapi napiter Mako Brimob

Polisi harus menyadari bahwa semua napiter di Mako Brimob memendam kebencian kepada polisi.
swipe

Pengamat terorisme Harits Abu Ulya memprediksi kericuhan semalam di Mako Brimob bisa kembali terjadi jika proses negosiasi mengalami jalan buntu. Polisi punya opsi yaitu berdamai atau malah melakukan tindakan represif. 

Ada kemungkinan dua yang terjadi untuk mengakhiri kerusuhan di sel Mako Brimob. Pertama, napi meletakkan dan menyerahkan semua senjata tanpa kompensasi atau dengan kompensasi memenuhi permintaan mereka. 

Hanya saja kompensasi bisa diberikan apabila dinilai logis atau masuk akal. Kedua, opsi represif alias aparat terpaksa perang dengan mereka.

Harits menjelaskan, publik butuh penjelasan transparasi kepolisian bagaimana kronologi para narapidana teroris alias napiter bisa menguasai senjata api dalam jumlah yang cukup banyak dan amunisi ratusan, apakah memang ada unsur kelalaian atau ada penyebab lain. “Rutan yang dianggap maksimum security aspek keamanannya justru bobol kan aneh," tukas Harits.

Pemicu lain terjadinya kericuhan ini diyakini Harits bukan semata-mata persoalan makanan. Ada hal lain yang menjadi pemicunya.

Hal yang perlu disadari, menurut dia, pada dasarnya semua napiter yang di rutan Mako Brimob memendam kebencian kepada polisi. Apabila ada momen dan pemantiknya, maka dengan mudah napiter akan melakukan aksi-aksi nekat menyerang aparat.

"Mulai dari soal sepele urusan makanan atau kasus di luar rutan yg menimpa kawan-kawan mereka atau figur mereka disidang lagi kasus Bom Thamrin, semua bisa jadi pemantik,” ujar Harits kepada Alinea.id, Rabu (9/5). 

Maka dari itu, yang terjadi di Mako Brimob harus dijelaskan secara transparan oleh polisi kepada publik. Apakah kasus itu spontanitas atau karena ada pemicu yang sengaja dibuat dari pihak napiter atau aparat. Kemungkinan lain karena gesekan yang tidak disengaja kemudian menajdi pemantik kemarahan napiter.

Karena logikanya tidak mudah napiter di Mako Brimob bisa menyandera atau bahkan merampas senjata. Maka, perlu diinvistigasi adakah unsur kelalaian dari pihak aparat. 

Pengamat terorisme Al Chaidar berpendapat sama dengan Harits. Pasalnya, Chaidar menanggapi kasus tersebut karena adanya masalah manajemen rutan dan polisi harus menerapkan maximum security prison.

Sementara Hendardi, Ketua Setara Institute mengatakan, peristiwa tersebut menunjukkan penanganan narapidana dan lembaga pemasyarakatan terorisme tidak bisa menggunakan standar biasa. Narapidana teroris masuk kategori high risk dan perlu penanganan khusus. Pemerintah harus memberikan dukungan penguatan lapas untuk jenis-jenis kejahatan serius. 

Selain itu, penyerangan napi terorisme menunjukkan kekuatan kelompok teror masih eksis dan efektif berjejaring dan terus menjadi ancaman bagi keamanan. “Peristiwa ini mengingatkan semua pihak untuk tidak berkompromi dengan radikalisme dan terorisme yang mengancam keamanan dan ideologi bangsa.”

Menurut Hendardi, penyikapan atas terorisme harus terus dilakukan dan dimulai dari hulu terorisme, yakni intoleransi. Kata dia, semua pihak harus menghentikan politisasi isu intoleransi dan radikalisme hanya untuk kepentingan politik elektoral 2018 dan 2019, yang justru memberikan ruang bagi kebangkitan kelompok ekstremis.

img
Eka Setiyaningsih
Reporter
img
Mona Tobing
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan