close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Pengendara melintas di sekitar jejeran APK peserta Pemilu 2019 yang terpasang pada sisi jalan di Palu, Sulawesi Tengah, Kamis (11/4)/AntaraFoto
icon caption
Pengendara melintas di sekitar jejeran APK peserta Pemilu 2019 yang terpasang pada sisi jalan di Palu, Sulawesi Tengah, Kamis (11/4)/AntaraFoto
Nasional
Kamis, 11 April 2019 13:10

Pengamat sebut pemilu serentak sebabkan polarisasi

Relasi yang tidak sehat itu, memunculkan sejumlah skandal pribadi caleg yang beredar di media sosial.
swipe

Pengamat Politik Exposit Strategic, Arif Susanto melihat persaingan pemilu serentak, baik pemilihan legislatif atau pemilihan presiden, berdampak pada pembentukan polarisasi yang kuat. 

Akibatnya, munculah perkubuan politik yang mengarah pada relasi tidak sehat antarpendukung, dan relasi cenderung predatorisme antarcalon legislatif. 

"Akibat polarisasi itu, muncul pengungkapan skandal para caleg yang dimaksudkan untuk menjatuhkan lawan, ketimbang memberi informasi lebih utuh tentang caleg kepada calon pemilih," kata Arif saat dihubungi wartawan, Kamis (11/4). 

Relasi yang tidak sehat itu, memunculkan sejumlah skandal pribadi caleg yang beredar di media sosial. Terakhir, media sosial dihebohkan dengan foto-foto mesum caleg partai Demokrat berinisial FH, dan skandal yang melibatkan keluarga caleg partai gerindra berinisial S. 

"Tak hanya skandal pribadi, sejumlah kasus korupsi yang melibatkan caleg juga menjadi sorotan masyarakat," katanya. 

Arief berharap KPU dapat mendorong mekanisme agar para caleg mengembangkan transparansi. Misalnya, bekerja sama dengan KPK untuk mengumumkan laporan harta kekayaan negara. Selain itu, caleg juga perlu melibatkan diri bersama publik dalam kampanye dialogis sekaligus kritis. 

"Para caleg, juga dapat memanfaatkan media massa dan media sosial sebagai medium komunikasi politik berjangkauan luas," katanya.

Semakin informatif caleg memberikan datanya, akan semakin membuat masyarakat menjadi pemilih cerdas. Pasalnya, seorang caleg berkepentingan membuat pemilih semakin cerdas.

"Pemilih cerdas akan mengharapkan tawaran program bagus dan bersedia melakukan dialog kritis dengan caleg. Secara akumulatif, pilihan cerdas itu akan memberi pengaruh besar terhadap kebaikan bersama," katanya.

Di sisi lain, model kampanye seperti itu memberikan banyak keuntungan kepada caleg, di antaranya mengurangi biaya kampanye dan lebih dekat kepada pemilihnya.

"Model komunikasi politik semacam ini dapat mengurangi biaya kampanye dan berpeluang mendekatkan caleg dengan publik pemilih," katanya.

Sementara Pengamat politik Ujang Komarudin mengingatkan agar peserta pemilu dan masyarakat jangan melakukan politisasi agama dengan menyebarkan kebencian, padahal agama merupakan keselamatan bagi seluruh umat manusia.

"Agama itu menjadi keselamatan untuk menjaga pemilu berjalan dengan damai. Maka, jangan gunakan agama dan simbol-simbolnya untuk menyebar kebencian, tuduhan, dan fitnah untuk tujuan politik," kata Ujang, di Jakarta, Kamis.

Direktur Eksekutif Indonesia Political Review (IPR) ini pun menyayangkan masih adanya simbol agama yang digunakan untuk menyebar kebencian dan politik, seperti tidak adanya adzan, zikir, dan tahlil jika pasangan calon tertentu kalah atau menang di Pilpres 2019.

Adanya hoaks tersebut terjadi kepada kedua paslon, baik Joko Widodo-Ma'ruf Amin maupun Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.

"Masyarakat masih belum bisa membedakan mana fakta dan fiksi. Maka, dibutuhkan integritas peserta pemilu yang fokus dalam memaparkan visi dan misi, bukan justru ikut dalam permainan oknum tertentu yang ingin memecah persatuan masyarakat," katanya. (Ant)
 

img
Robi Ardianto
Reporter
img
Hermansah
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan