Khairul Fahmi, pengamat militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), menilai seruan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) agar TNI/Polri menyerang balik Kriminal Sipil Bersenjata (KKSB) pascagugurnya Briptu Heidar adalah ungkapan yang keliru.
Menurutnya, penggunaan istilah serangan balik memberikan kesan emosional dan seolah-olah tidak ada aktivitas. Padahal, operasi yang dilakukan pihak keamanan Indonesia di Papua sudah berlangsung lama.
"Kalau bicara serangan balik, seolah-olah tidak ada aktivitas. Kesannya anggota kita diserang, sehingga kita marah dan membalasnya. Kesannya seperti itu," kata Khairal saat berbincang dengan Alinea.id, Rabu (14/8).
Khairul meminta JK segera meluruskan pernyataan dengan konteks adalah upaya pengejaran, penangkapan, dan melakukan tindakan hukum terhadap pelaku pembunuhan Briptu Heidar. Hal tersebut dilakukan demi penegakan hukum, penegakan keamanan, dan penegakan kedulatan.
"Jadi, bukan serangan balik, justru itu upaya penegakan hukum. Dalam konteks ini bukan perang. Harus diingat, ini bukan perang yang ada yang menyerang kemudian ganti balas menyerang. Tidak seperti itu," ujarnya.
Sebelumnya, Wapres JK menyerukan adanya pembalasan kepada penyerang aparat. Baginya, memberantas saparatisme bukanlah tindakan yang melanggar hak asasi manusia (HAM), melainkan upaya mempertahankan kedaulatan.
Seperti diketahui, penyerangan aparat di Papua kembali terjadi. Pekan ini Brigadir Polisi Satu Heidar tewas ditembak oleh kelompok bersenjata.
Pendekatan Humanis
Di sisi lain, Khairul menilai aksi yang dilakukan dengan pendekatan kekerasan secara militer sudah berlangsung sejak lama. Maka perlu dievaluasi apalagi masalah yang ada di Papua tidak kunjung selesai.
"Menurut saya yang harus dilakukan evaluasi yang lebih dikedepankan. Pendekatan kemanusian yang dibarengi dengan penegakan hukum yang tegas," kata Khairul.
Berkaitan dengan pendekatan hukum, Ia mengatakan salah satu masalah di Papua adalah terkait dana otonomi khusus (otsus) yang kabarnya acap kali dibajak para elite politik lokal.
Hal tersebut, menurut Khairul, perlu ditindak karena masyarakat Papua yang dirugikan. Pendekatan kemanusian pada masyarakat mesti dibarengi dengan pendekatan hukum bagi yang bersalah, ketimbang melalui pendekatan kekerasan.
Apabila memilih pendekatan kekerasan kepada kelompok separatis, kata Khairul, cara tersebut belum pernah berhasil dilakukan. "Dan dalam banyak kasus di dunia, pendekatan kekerasan terhadap kelompok separatis belum berhasil. Jadi mestinya ini dibarengi pendekatan yang lebih humanis dan mengindahkan hukum," pungkasnya.