close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi pengambilan jenazah Covid-19. Alinea.id/Dwi Setiawan.
icon caption
Ilustrasi pengambilan jenazah Covid-19. Alinea.id/Dwi Setiawan.
Nasional
Selasa, 16 Juni 2020 16:47

Pengambilan paksa jenazah PDP Covid-19: Cermin buruknya komunikasi

Di beberapa kota, terjadi pengambilan paksa jenazah PDP Covid-19. Ada masalah mendasar yang tak selesai dalam perkara ini.
swipe

Pada 8 Juni 2020, sekelompok orang mendatangi Rumah Sakit Mekar Sari, Bekasi, Jawa Barat. Mereka menjemput paksa jenazah yang berstatus pasien dalam pengawasan (PDP) Coronavirus disease 2019 (Covid-19).

Pasien tersebut dirawat sejak 3 Juni 2020 dengan diagnosis penyakit paru. Lalu dilakukan rapid test dan hasilnya negatif. Rapid test kedua dilakukan pada 5 Juni 2020 dengan hasil negatif. Keluarga pasien menolak pemakaman menggunakan protokol Covid-19 dan memaksa mengambil jenazah.

Wali Kota Bekasi sekaligus Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 Kota Bekasi Rahmat Effendi tak banyak berkomentar atas peristiwa yang sempat viral di media sosial itu. Ia meminta agar kejadian tersebut tak diungkit lagi lantaran pihak keluarga sudah meminta maaf.

“Tata cara sudah jelas. Proses pemulasaran sudah jelas,” katanya saat dihubungi reporter Alinea.id, Minggu (14/6).

Bukan hanya di Bekasi. Kejadian serupa terjadi pula di beberapa kota, seperti Makassar, Manado, dan Surabaya. Makassar adalah kota dengan kasus pengambilan paksa jenazah PDP Covid-19 paling banyak. Peristiwan itu terjadi di Rumah Sakit Khusus Daerah (RSKD) Dadi pada 3 dan 10 Juni 2020, Rumah Sakit Labuang Baji pada 5 Juni 2020, serta Rumah Sakit Stella Maris pada 7 Juni 2020.

Peristiwa serupa terjadi di Surabaya pada 4 Juni 2020. Sekelompok orang membawa jenazah PDP Covid-19 dari Rumah Sakit Paru Karang Tembok. Di Manado, pihak keluarga membawa paksa jenazah PDP Covid-19 dari Rumah Sakit Pancaran Kasih pada 1 Juni 2020.

Karena tindakan nekat itu, beberapa orang ditetapkan sebagai tersangka. Di Makassar, polisi menetapkan 12 tersangka kasus pengambilan paksa jenazah Covid-19 di beberapa rumah sakit. Di Surabaya, polisi menetapkan empat orang sebagai tersangka.

Protokol yang kurang dipahami

Petugas pemakaman menurunkan peti jenazah pasien COVID-19 di TPU Pondok Ranggon, Jakarta, Senin (30/3/2020).Foto Antara/Muhammad Adimaja.

Menurut juru bicara tim dokter pasien Covid-19 sekaligus dokter spesialis paru Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Persahabatan, Jakarta, Erlina Burhan, pengambilan jenazah PDP Covid-19 dari rumah sakit karena kurangnya pemahaman masyarakat terhadap protokol kesehatan dan pemulasaraan jenazah.

“Pasien-pasien yang memang Covid-19 itu sudah ada protokol pemulasaraan jenazahnya kalau sudah meninggal,” ujarnya saat dihubungi, Minggu (14/6).

Erlina menjelaskan, protokol tidak bermaksud untuk menghalangi keluarga almarhum, tetapi pertimbangan kehati-hatian. Ia pun memastikan, jenazah pasien Covid-19 diurus sesuai agama masing-masing.

“Contohnya agama Islam. Jenazah akan dibersihkan, dimandikan, dikafani, dan disalatkan,” katanya.

Ia menambahkan, di beberapa rumah sakit, pihak keluarga juga ditawarkan untuk ikut menyalatkan jenazah, dengan menerapkan protokol kesehatan, seperti menjaga jarak fisik dan mengenakan masker.

“Seharusnya masyarakat tidak usah khawatir, ini sudah diselenggarakan sesuai (protokol) dan aman buat keluarga. Karena kita ingin tidak terjadi penularan,” ucapnya.

Menurutnya, pasien yang meninggal dunia karena Covid-19 saja yang menerapkan protokol khusus. “Penyebab (kematian) lainnya tidak,” ujarnya.

Ahli epidemiologi dari Universitas Indonesia (UI) Syahrizal Syarif mengatakan, ada dua protokol yang dipakai pemerintah untuk urusan pemulasaran jenazah pasien Covid-19.

Pertama, protokol yang dikeluarkan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mengacu pada pedoman World Health Organization (WHO). Lalu, protokol yang dibuat Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, dikuatkan dengan fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI).

“Pedoman WHO sendiri mengacu pada pemulasaraan jenazah kasus ebola,” tuturnya saat dihubungi, Senin (15/6).

Syahrizal mengatakan, Kemenkes menggunakan protokol yang sangat ketat. Protokol Kemenkes dikeluarkan pada 27 Maret 2020 dalam Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Covid-19.

Ada 12 langkah pemulasaraan jenazah dalam protokol Kemenkes itu. Hal ini berlaku pula untuk jenazah dengan status PDP yang belum mendapatkan hasil pemeriksaan laboratorium.

Lantas, kata Syahrizal, tim Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 juga menerbitkan protokol lain, yang mengacu pada fatwa MUI dan Kementerian Agama (Kemenag).

Pedoman pemulasaran jenazah MUI diterbitkan dalam fatwa Nomor 18 Tahun 2020 tentang Pedoman Pengurusan Jenazah (Tajhiz Al-Jana’iz) Muslim yang Terinfeksi Covid-19. Di dalam fatwa tersebut diatur pedoman memandikan, mengafankan, menyalatkan, serta memakamkan jenazah pasien Covid-19. Sedangkan di pedoman Kemenkes, tak ada tata cara tersebut.

Sementara Kemenag juga mengeluarkan Surat Edaran Nomor: P-002/DJ.III/Hk.00.7/03/2020 tentang Imbauan dan Pelaksanaan Protokol Penanganan Covid-19 pada Area Publik di Lingkungan Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam. Kemenag pun menerbitkan protokol pemulasaraan untuk jenazah Covid-19 beragama Kristen, Katolik, dan Buddha.

Syahrizal mengatakan, protokol Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 dan Kemenkes itu yang sampai ke rumah sakit rujukan Covid-19 atau bukan.

“Sampainya ke rumah sakit itu berbeda-beda. Ada rumah sakit yang mengacu kepada protokol kesehatan Kemenkes, ada yang mengacu kepada Gugus Tugas,” ujarnya.

“Biasanya yang mengacu kepada Gugus Tugas itu relatif tidak banyak masalah. Tapi yang mengacu kepada Kemenkes, ini sering kali jadi masalah. Misalnya, soal bagaimana keterlibatan keluarga di kamar jenazah ketika dimandikan.”

Syahrizal menilai, terlalu berlebihan bila pihak keluarga tidak diizinkan mendekat ke makam saat penguburan jenazah. Sebab, kata dia, jenazah sudah dikafani, dilapisi kantong, dan dimasukkan ke dalam peti yang sebelumnya disemprot disinfektan.

“Sebenarnya menyalatkan jenazah di kuburan bisa juga,” ucapnya.

Ia menjelaskan, secara umum pasien Covid-19 yang telah meninggal dunia tidak akan menularkan virus, jika tak disentuh. Alasannya, virus masih ada di saluran pernapasan selama beberapa jam.

“Catatan itu pada prinsipnya berlaku untuk semua penyakit menular,” tuturnya.

Komunikasi adalah kunci

Sejumlah petugas medis memakamkan jenazah pasien positif COVID-19 dengan menggunakan alat pelindung diri (APD) lengkap di Padang, Sumatera Barat, Sabtu (28/3/2020). Foto Antara/Iggoy el Fitra.

Syahrizal menyarankan, komunikasi pihak rumah sakit dengan keluarga perlu dilakukan secara intensif, agar pengambilan jenazah secara paksa tidak terulang kembali. Terutama untuk pasien Covid-19 berstatus PDP, yang hasil pemeriksaan swab-nya belum keluar.

“Dari awal harus dijelaskan bahwa memang protokolnya begitu. Walaupun hasil belum keluar karena semua harus dianggap Covid-19, sampai ada pembuktian," ucapnya.

Ia yakin, pihak keluarga pasien tidak akan keberatan jika diajak bicara dan diberi pemahaman dari awal. “Komunikasi merupakan kunci,” ujarnya.

Erlina pun tak membantah, peristiwa pengambilan jenazah PDP Covid-19 terjadi karena adanya masalah komunikasi, baik pemerintah dengan masyarakat maupun antara rumah sakit dengan pihak keluarga dari jenazah. Komunikasi, kata Erlina, juga harus dilakukan Gugus Tugas Covid-19 tingkat nasional maupun daerah.

“Sehingga keluarga juga tidak terprovokasi dengan isu-isu, (misalnya) ini sengaja dimasukkan peti karena organnya diambil. Itu tidak benar sama sekali. Tidak ada indikasinya atau prosedur yang membolehkan hal itu,” ujarnya.

Sementara itu, sosiolog dari Universitas Indonesia (UI) Rissalwan Habdy Lubis mengatakan, adanya warga yang mengambil paksa jenazah PDP Covid-19 karena ketiadaan nilai. Ia menuturkan, kondisi itu membuat informasi yang dipercaya, dihadapi, dan didapatkan berbeda.

“Tiga-tiganya ini enggak nyambung dalam kondisi kebanyakan di beberapa tempat. Jadi, orang melihat hasil tesnya enggak ada, kenapa harus diperlakukan dengan protokol itu?” ujarnya saat dihubungi, Minggu (14/6).

Ia mencontohkan, masyarakat percaya seseorang yang meninggal dunia adalah sebuah kewajaran. Namun, yang dihadapi adalah ketidakmampuan pihak rumah sakit dalam mengkomunikasikan adanya protokol yang harus diterapkan. Sedangkan yang diperoleh adalah informasi dari pemerintah, yang diterbitkan di media massa.

Sementara pemerintah daerah yang punya kewenangan dalam memberikan informasi, dianggap tidak mampu menengahi perbedaan persepsi antara rumah sakit dan pihak keluarga pasien. Dalam hal ini, Rissalwan mengingatkan agar pemerintah pusat ikut campur.

“Misalnya, memastikan hasil tesnya cepat, jangan nunggu sampai dua minggu. Orang mau dikubur segera, masa harus nunggu dua minggu. Kan itu yang terjadi dalam praktiknya di lapangan,” ujarnya.

Minimnya sosialisasi terkait protokol pemulasaraan jenazah Covid-19, kata dia, juga mengakibatkan masyarakat tidak paham. Ia tak sepakat jika orang yang membawa paksa jenazah Covid-19 dianggap bodoh.

Ia mengatakan, dalam aksi membawa paksa jenazah, pemerintah secara tidak langsung ikut berperan melalui kebijakan yang diterapkan. Hal itu, berkaca dari data yang transparan penyebab kematian pasien.

“Masalah mendasarnya di situ,” katanya.

Infografik pengambilan paksa jenazah Covid-19. Alinea.id/Dwi Setiawan.

Dalam kasus pengambilan paksa jenazah Covid-19, Rissalwan menyimpulkan, kesalahan ada di dua level. Pertama, negara yang tidak jelas dalam menjalankan aturan. Kedua, pihak rumah sakit yang tidak mampu menjelaskan kepada keluarga pasien.

“Ini sebetulnya reaksi dari ketidakmampuan negara. Mereka ambil (jalan) sendiri, mereka enggak tahu, tapi memang mereka enggak dikasih tahu,” katanya.

Meski begitu, ia memahami situasi yang terjadi tak mengenakan semua pihak. Hanya saja, ia mengingatkan, dalam kasus pengambilan paksa jenazah, sebaiknya tidak menuding, menyalahkan, bahkan melakukan pidana kepada keluarga pasien.

“Iya keluarga (memang) salah, tapi kesalahan itu dipicu oleh ketidakjelasan aturan yang dibuat pemerintah dan rumah sakit,” ujarnya.

“Orang kalau bereaksi sedikit, pemerintah langsung ‘cuci tangan’. Apalagi aparat keamanan. Reaktif sekali. Langsung dipidana.”

img
Akbar Ridwan
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan