Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengimbau kepada orang tua untuk mengawasi anak-anaknya dalam menggunakan telepon seluler smartphone. Pasalnya, anak-anak yang kerap memainkan gim PlayerUnknown’s Battlegrounds atau PUBG yang menampilkan kekerasan dapat berdampak mengurangi rasa empati dan toleransi.
Komisioner KPAI, Retno Listyarti, mengatakan gim PUBG kini digandrungi bukan hanya oleh orang dewasa, tetapi juga anak-anak. Hal ini mengkhawatirkan karena gim yang identik dengan kekerasan tersebut dapat berdampak buruk bagi tumbuh kembang anak.
“Terkait hal ini, KPAI mendorong para orang tua untuk mengawasi anak-anaknya ketika bermain gadget, apalagi jika kerap mengakses gim kekerasan,” kata Retno di Jakarta pada Selasa, (26/3).
Seperti kasus penembakan yang terjadi di Masjid Al Noor, Christchurch, Selandia Baru, Retno menilai video insiden penembakan yang sempat viral di grup-grup WhatsApp itu sangat mirip dengan gim PUBG.
Karena itu, jika anak-anak menonton atau bahkan memainkan gim yang tidak sesuai tahapan usianya, maka akan timbul referensi yang salah. Sebab, anak-anak masih belum bisa membedakan antara fakta dan fiksi.
“Belajar dari kasus Smack Down, misalnya, pelaku yang masih kanak-kanak itu menganggap bahwa korbannya yang di-smack tidak akan kenapa-napa, karena begitulah yang ia lihat di TV," ujar Retno.
Retno menjelaskan, tayangan berbau kekerasan akan mengurangi rasa toleransi anak terhadap permasalahan atau rasa sakit yang diderita orang lain. Empatinya, kata Retno, juga berkurang karena tak mengerti dan mengalaminya sendiri. Selain itu, kata Retno, tayangan video gim kekerasan tak jarang terselip ungkapan verbal yang kasar.
"Umpatan-umpatan tak senonoh sering terdengar, bahkan di kalangan anak SD. Kata-kata atau ungkapan kasar ini juga bisa terselip di antara kartun. Misalnya, kata-kata dummy, don’t know and don’t care (untuk menunjukkan tak peduli), atau in your face!," tutur Retno.
Karena itu, Retno menyarankan kepada para orang tua untuk mempersilakan anak-anaknya untuk bermain bersama teman-temannya ketimbang bermain gim. Ini dilakukan agar anak-anak dapat belajar mengenal kekayaan dan kedalaman emosinya.
"Dengan bermain bersama teman-temannya, ia (anak-anak) bisa mengatur emosinya dalam menghadapi peristiwa atau hubungannya dengan orang lain," ujar Retno
Sebaliknya, kata Retno, salah kaprah jika orangtuanya melarang anak bermain hanya karena takut sedih, marah atau menangis karena diusili temannya. Justru itulah, kata Retno, saatnya mengajari anak untuk terampil menghadapi kenakalan teman-temannya.
"Emoticon tak bisa menggantikan emosi. Emosi orang jauh lebih banyak dari emoticon yang ada dalam gadget," tutur Retno.
Lebih lanjut, Retno menambahkan, jika anak terlalu banyak menonton TV dan bermain video gim bisa membuat keterampilan sosial dengan orang lain atau bergaul kurang terlatih, sehingga anak-anak berpotensi bermasalah dalam pergaulannya. Retno menuturkan, gim online sekarang ini memungkinkan anak bergaul dengan orang lain di dunia maya. Sayangnya, orang lain belum tentu memberi identitas sebenarnya.
"Bisa jadi, ia tidak benar-benar seusia anak tersebut. Tapi bisa jadi juga, anak-anak berinteraksi dengan orang palsu, dan bisa berpeluang menjadi sasaran bully di dunia maya dan pedofilia, maupun berpotensi jadi korban kejahatan lainnya," kata Retno.