close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Anggota Ombudsman, Robert Na Endi Jaweng, menilai pengawasan produksi hingga distribusi obat sirop, yang menyebabkan gagal ginjal akut, oleh BPOM tidak efektif hingga ke tingkat pedagang eceran. Dokumentasi Ombudsman
icon caption
Anggota Ombudsman, Robert Na Endi Jaweng, menilai pengawasan produksi hingga distribusi obat sirop, yang menyebabkan gagal ginjal akut, oleh BPOM tidak efektif hingga ke tingkat pedagang eceran. Dokumentasi Ombudsman
Nasional
Rabu, 08 Februari 2023 11:15

Ombudsman: Pengawasan BPOM tak efektif hingga level pedagang eceran

BPOM diminta tak cuma bekerja sesuai standar, tetapi juga melakukan kontrol di lapangan.
swipe

Kasus gagal ginjal akut progresif atipikal (GGAPA) kembali muncul di Indonesia. Dari dua kasus baru, satu pasien diketahui sempat mengonsumsi obat sirop penurun demam merek Praxion.

Terkait temuan ini, Ombudsman RI memandang Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) belum optimal dalam melakukan kontrol atau pengawasan, dari tahap produksi hingga distribusi obat-obatan. Terlebih, Praxion merupakan salah satu obat yang sebelumnya masuk daftar obat yang aman dikonsumsi.

"Ini, kan, dia (pasien, red) mengonsumsi obat sirop yang dijual di warung. Yang begini ini artinya kinerja Badan POM dalam rangka pengawasan itu tidak efektif untuk bisa menjangkau sampai pada level pedagang eceran yang tingkat bawah, yaitu di warung atau di kios," kata Anggota Ombudsman, Robert Na Endi Jaweng, kepada Alinea.id, Rabu (8/2).

Sebelumnya, Ombudsman menemukan tindakan malaadministrasi oleh BPOM terkait kasus gagal ginjal akut. Pangkalnya, tidak mengawasi peredaran obat sirop yang mengadung cemaran etilen glikol (EG)/dietilen glikol (DEG).

Ombudsman pun memberikan tindakan korektif kepada Kepala BPOM, Penny Lukito, agar mendata volume penjualan dan area persebaran obat sirop mengandung bahan EG/DEG. Ombudsman juga telah melakukan pemantauan atas tindak lanjut dari tindakan korektif itu.

Robert mengungkapkan, BPOM belum optimal menjalankan tindakan korektif yang diajukan Ombudsman. Sebab, dengan adanya temuan 2 kasus baru, menurutnya, proses produksi obat-obatan yang dijalankan produsen farmasi bisa jadi masih belum sesuai ketentuan.

"Atau kemungkinan kedua, adalah [obat] yang terdistribusi dan yang terjual di warung-warung eceran itu berarti masih merupakan hasil produksi yang lama, tetapi belum dicabut atau belum dilarang peredarannya," sambungnya.

BPOM telah menghentikan sementara produksi dan distribusi obat sirop Praxion, yang sebelumnya sempat dinyatakan aman. Terkait ini, Robert meminta BPOM tidak cuma bekerja berdasarkan standar acuan yang dibuat, tetapi melakukan kontrol atau pengawasan langsung di lapangan dari tahap produksi hingga distribusi.

"Untuk itulah pengawasan, monitoring, dan kontrol di lapangan sejak proses produksi sampai pada distribusi, pre-market control, hingga post-market control itu harus dilakukan secara komprehensif," tuturnya.

Robert menambahkan, Ombudsman masih dalam tahap pemantauan atas tindak lanjut terhadap tindakan korektif kepada BPOM dalam penanggulangan kasus gagal ginjal akut dan pengawasan obat sirop. Tidak menutup kemungkinan Ombudsman meningkatkannya menjadi pemberian rekomendasi jika tak ditindaklanjuti dengan optimal.

"Saat ini, masih kita monitoring. Kalau nanti tidak signifikan proses tindak lanjutnya, apa boleh buat, kita naikkan rekomendasi ke Presiden," kata Robert.

Sebelumnya, PT Pharos Indonesia secara sukarela menarik produk obat demam sediaan sirop merek Praxion batch tertentu dari pasaran (voluntary recall). Selain itu, seluruh mitra distribusi tak menjual produk tersebut sementara waktu.

"PT Pharos Indonesia telah meminta seluruh mitra distribusi dan penjualan untuk sementara waktu tidak menjual produk Praxion sampai ada pemberitahuan lebih lanjut," kata Director of Corporate Communication PT Pharos Indonesia, Ida Nurtika dalam keterangan resmi, Selasa (7/2).

Sementara itu, BPOM mengeluarkan perintah penghentian sementara produksi dan distribusi obat yang dikonsumsi pasien. Penghentian sementara ini dilakukan hingga proses investigasi terkait temuan kasus ini selesai dilaksanakan.

"BPOM juga telah melakukan pemeriksaan ke sarana produksi terkait Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB)," kata BPOM dalam keterangan resmi, Senin (6/2).

BPOM telah melakukan investigasi atas sampel produk obat dan bahan baku baik dari sisa obat pasien, sampel dari peredaran dan tempat produksi. Hal in juga telah dilakukan pengujian di laboratorium Pusat Pengembangan Pengujian Obat dan Makanan Nasional (PPPOMN).

Kemudian, BPOM bekerja sama dengan Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), epidemiologi, farmakolog, dan berbagai pihak lainnya untuk memastikan penyebab pasti dan faktor risiko yang menyebabkan kasus gagal ginjal akut kembali muncul.

Adapun Kemenkes kembali mengeluarkan surat kewaspadaan kepada seluruh dinas kesehatan (dinkes), fasilitas pelayanan kesehatan, dan organisasi profesi kesehatan terkait kewaspadaan tanda klinis gangguan ginjal akut progresif atipikal dan penggunaan obat sirop.

img
Gempita Surya
Reporter
img
Fatah Hidayat Sidiq
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan